Saturday, March 15, 2025

Cerpen Lomba | Lalu Khairil Azmi | Gelombang yang Tertahan: Jerit Sunyi dari Desa Ketapang

Langit fajar menyingsing perlahan di cakrawala, menyapukan semburat jingga ke seluruh ufuk. Di atas perairan yang tenang, bayangan perahu-perahu kecil mulai tampak, satu per satu meluncur meninggalkan pantai Desa Ketapang. Di antara mereka, Kholid, seorang nelayan berusia empat puluhan, mendayung perahu tuanya dengan tenang. Setiap kayuhan membawa kenangan akan masa-masa ketika laut masih menjadi sahabat setia, bukan musuh yang tak kasat mata.

Laut adalah segala-galanya bagi Kholid. Sejak kecil, ia telah diajarkan oleh ayahnya bagaimana membaca arah angin, menandai tempat berkumpulnya ikan, hingga memahami kapan gelombang akan datang membawa badai. Setiap hembusan angin yang mengelus wajahnya adalah pesan dari alam yang ia terjemahkan dengan insting terlatih. Bagi Kholid, laut bukan hanya ruang fisik, melainkan sebuah dunia yang sarat dengan kearifan, tradisi, dan kehidupan. Tapi kini, laut tak lagi seakrab dulu.

Di kejauhan, garis gelap mulai muncul di batas cakrawala. Sebuah pagar bambu, berdiri kokoh dan membentang panjang, seakan-akan membelah laut menjadi dua dunia yang terpisah. Awalnya, tiang-tiang bambu itu tampak seperti batas sederhana, mungkin untuk konservasi, pikir Kholid. Namun, seiring waktu, pagar itu tumbuh menjadi penghalang sejauh tiga puluh kilometer, membatasi jalur para nelayan dan mencuri kebebasan yang selama ini mereka nikmati.

"Kholid, kita harus mendayung lebih jauh sekarang," keluh Hamdan, sahabat lamanya, suaranya berat oleh kelelahan yang kian mengakar.

Kholid hanya mengangguk. Ia tahu betul apa arti tambahan perjalanan itu. Setiap kilometer ekstra berarti lebih banyak bahan bakar, lebih sedikit waktu untuk memancing, dan risiko yang lebih besar saat badai datang tiba-tiba. Lebih buruk lagi, tangkapan ikan semakin menurun, seolah-olah pagar itu tak hanya memotong jalur, tetapi juga menghalau rezeki yang seharusnya mengalir bebas.

Suatu malam, di antara percakapan sunyi di tepi dermaga, Hamdan menatap sahabatnya dengan pandangan yang suram. "Berapa lama lagi kita bisa bertahan? Anak-anakku mulai bertanya kenapa kita jarang makan ikan hasil laut sendiri."

Kholid terdiam. Hatinya terasa berat. Ia tahu, bukan hanya Hamdan yang merasa demikian. Seluruh desa mulai merasakan dampak dari pagar yang membelenggu laut. Ombudsman Banten melaporkan bahwa kerugian ekonomi akibat pagar ini mencapai Rp8 miliar per tahun— angka yang mungkin tak berarti bagi para penguasa, tapi di Desa Ketapang, angka itu berarti hidup atau mati.

Frustrasi yang terpendam mulai mengalir menjadi tindakan. Kholid dan sekelompok nelayan memutuskan untuk menemui pihak yang membangun pagar. Mereka menuntut keadilan, hak hidup yang telah direnggut secara perlahan namun pasti.

"Kami hanya ingin akses kembali," ujar Kholid dengan suara yang bergetar, bukan karena takut, tetapi karena emosi yang meluap-luap. "Laut ini adalah kehidupan kami. Jangan rampas hak yang telah diwariskan leluhur kami."

Namun, yang mereka terima hanyalah janji-janji kosong. Para pembangun berjanji membuka celah selebar lima meter di pagar yang membentang sejauh tiga puluh kilometer itu. Tapi janji itu hanya menjadi gema kosong yang tenggelam di tengah ombak.

Kholid merasa dikhianati, tapi tekadnya justru menguat. Bersama Hamdan dan tokoh masyarakat lain, ia membentuk kelompok advokasi untuk memperjuangkan hak nelayan.

"Kita bukan hanya melawan pagar bambu," seru Kholid di depan rapat desa. "Kita melawan ketidakadilan yang merampas masa depan anak-anak kita."

Sosok Kholid mulai dikenal luas. Suaranya menggema di berbagai platform media sosial, membangkitkan simpati dari seluruh penjuru negeri. Tapi ketenaran itu datang dengan risiko. Ancaman mulai bermunculan dari pihak-pihak yang merasa terancam oleh perlawanan para nelayan.

Suatu malam, di depan rumah Kholid, seseorang meninggalkan pesan ancaman di atas secarik kertas. "Hentikan perlawananmu, atau keluargamu yang akan menderita."

Namun, ancaman itu tidak mematahkan semangatnya. Justru, rasa takut itu menjadi bahan bakar yang membakar semangatnya untuk terus maju. Di balik keberanian itu, Kholid sering kali termenung, membayangkan wajah anaknya, Hana, yang bertanya dengan polos, "Ayah, kenapa sekarang kita jarang makan ikan?"

Kholid hanya bisa memeluk putrinya, menahan air mata yang hampir jatuh. Bagaimana ia bisa menjelaskan bahwa laut yang selama ini menjadi sumber kehidupan mereka telah diambil paksa oleh kepentingan yang tak berpihak pada rakyat kecil?

Akhirnya, pada 22 Januari 2025, titik terang mulai muncul. Pemerintah, melalui Menteri Kelautan dan Perikanan, memerintahkan pembongkaran pagar laut. TNI Angkatan Laut bersama masyarakat nelayan memulai proses pencabutan pagar bambu yang telah tertancap selama berbulan-bulan.

Namun, pekerjaan itu tidak mudah. Gelombang tinggi, cuaca buruk, dan kedalaman pagar yang mencapai dua meter menjadi tantangan besar. Meski demikian, dalam waktu satu minggu, 18,7 kilometer pagar berhasil dibongkar. Meski sebagian besar sudah dihancurkan, sisa 11,46 kilometer masih berdiri, menjadi simbol ketidakadilan yang belum sepenuhnya sirna.

Di balik pembongkaran itu, muncul dugaan korupsi terkait penerbitan Hak Guna Bangunan (HGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) di atas wilayah perairan. Kejaksaan Agung membuka investigasi, memanggil pejabat yang terlibat, termasuk lima kepala desa yang diduga berperan dalam penerbitan izin ilegal.

Kholid menjadi saksi dalam salah satu sidang yang diadakan. Di ruang sidang yang sunyi, ia berdiri dengan tegar.

"Laut ini bukan hanya sumber penghidupan," ucapnya dengan suara lantang, "tapi warisan yang seharusnya kita jaga untuk generasi mendatang. Bukan untuk diperjualbelikan demi keuntungan segelintir orang."

Kholid kembali melaut. Kali ini, tanpa pagar yang membatasi jalurnya. Ia menatap hamparan laut yang seolah-olah menghembuskan napas lega. Namun, perjuangan belum sepenuhnya selesai.

Masyarakat masih menunggu keadilan ditegakkan. Proses hukum berjalan lambat, dan korupsi yang selama ini terpendam di balik pagar bambu masih membayangi kehidupan mereka.

Kholid merenung di tepi perahu, menatap cakrawala yang perlahan diselimuti senja. Laut ini mengajarkan banyak hal—tentang ketahanan, perjuangan, dan keberanian melawan arus yang lebih besar.

Malam itu, Kholid duduk di tepi pantai, mendengar deburan ombak yang kini terdengar seperti lagu kemenangan. Di kejauhan, bulan memantulkan sinarnya ke permukaan laut, seolah menghapus luka yang telah lama terukir.

"Perjuangan ini bukan hanya untukku," bisiknya pelan. "Tapi untuk semua nelayan, untuk setiap anak yang percaya bahwa laut ini adalah ruang kebebasan."

Cerita Kholid bukan sekadar tentang seorang nelayan yang melawan pagar bambu di tengah laut. Ini adalah kisah perjuangan masyarakat pesisir yang menolak dibungkam, melawan demi keadilan, dan mempertahankan hak hidup mereka. Ini adalah seruan yang mewakili suara-suara kecil yang selama ini terpinggirkan, suara dari laut yang berbisik tentang kebebasan, harapan, dan keberanian.

Cerita ini mengajarkan bahwa laut bukan hanya ruang bagi kehidupan biologis, tetapi juga ruang bagi kebebasan manusia untuk mencari nafkah, menjaga warisan budaya, dan mempertahankan hak hidup yang setara. Laut menjadi cermin dari keseimbangan antara alam dan manusia, di mana ketidakadilan sekecil apa pun dapat menciptakan gelombang besar yang mengguncang kehidupan. Perjuangan melawan ketidakadilan bukanlah tugas satu orang, tetapi tanggung jawab bersama untuk melindungi ruang hidup yang menjadi hak semua makhluk, agar masa depan yang lebih adil dapat terwujud bagi generasi mendatang.