Langit fajar menyingsing perlahan di
cakrawala, menyapukan semburat jingga ke seluruh ufuk. Di atas perairan yang
tenang, bayangan perahu-perahu kecil mulai tampak, satu per satu meluncur
meninggalkan pantai Desa Ketapang. Di antara mereka, Kholid, seorang nelayan
berusia empat puluhan, mendayung perahu tuanya dengan tenang. Setiap kayuhan
membawa kenangan akan masa-masa ketika laut masih menjadi sahabat setia, bukan
musuh yang tak kasat mata.
Laut adalah
segala-galanya bagi Kholid. Sejak kecil, ia telah diajarkan oleh ayahnya
bagaimana membaca arah angin, menandai tempat berkumpulnya ikan, hingga
memahami kapan gelombang akan datang membawa badai. Setiap hembusan angin yang
mengelus wajahnya adalah pesan dari alam yang ia terjemahkan dengan insting
terlatih. Bagi Kholid, laut bukan hanya ruang fisik, melainkan sebuah dunia
yang sarat dengan kearifan, tradisi, dan kehidupan. Tapi kini, laut tak lagi
seakrab dulu.
Di kejauhan, garis gelap mulai muncul di
batas cakrawala. Sebuah pagar bambu, berdiri kokoh dan membentang panjang,
seakan-akan membelah laut menjadi dua dunia yang terpisah. Awalnya, tiang-tiang
bambu itu tampak seperti batas sederhana, mungkin untuk konservasi, pikir
Kholid. Namun, seiring waktu, pagar itu tumbuh menjadi penghalang sejauh tiga
puluh kilometer, membatasi jalur para nelayan dan mencuri kebebasan yang selama
ini mereka nikmati.
"Kholid, kita harus
mendayung lebih jauh sekarang," keluh Hamdan, sahabat lamanya, suaranya
berat oleh kelelahan yang kian mengakar.
Kholid hanya mengangguk.
Ia tahu betul apa arti tambahan perjalanan itu. Setiap kilometer ekstra berarti
lebih banyak bahan bakar, lebih sedikit waktu untuk memancing, dan risiko yang
lebih besar saat badai datang tiba-tiba. Lebih buruk lagi, tangkapan ikan
semakin menurun, seolah-olah pagar itu tak hanya memotong jalur, tetapi juga
menghalau rezeki yang seharusnya mengalir bebas.
Suatu malam, di antara percakapan sunyi di
tepi dermaga, Hamdan menatap sahabatnya dengan pandangan yang suram.
"Berapa lama lagi kita bisa bertahan? Anak-anakku mulai bertanya kenapa
kita jarang makan ikan hasil laut sendiri."
Kholid terdiam. Hatinya
terasa berat. Ia tahu, bukan hanya Hamdan yang merasa demikian. Seluruh desa
mulai merasakan dampak dari pagar yang membelenggu laut. Ombudsman Banten melaporkan bahwa
kerugian ekonomi akibat pagar ini mencapai Rp8 miliar per tahun— angka yang
mungkin tak berarti bagi para penguasa, tapi di Desa Ketapang, angka itu
berarti hidup atau mati.
Frustrasi yang terpendam
mulai mengalir menjadi tindakan. Kholid dan sekelompok nelayan memutuskan untuk
menemui pihak yang membangun pagar. Mereka menuntut keadilan, hak hidup yang
telah direnggut secara perlahan namun pasti.
"Kami hanya ingin akses kembali," ujar Kholid dengan suara yang
bergetar, bukan karena takut, tetapi karena emosi yang meluap-luap. "Laut
ini adalah kehidupan kami. Jangan rampas hak yang telah diwariskan leluhur
kami."
Namun, yang mereka terima hanyalah janji-janji kosong. Para pembangun
berjanji membuka celah selebar lima meter di pagar yang membentang sejauh tiga
puluh kilometer itu. Tapi janji itu hanya menjadi gema kosong yang tenggelam di
tengah ombak.
Kholid merasa
dikhianati, tapi tekadnya justru menguat. Bersama Hamdan dan tokoh masyarakat
lain, ia membentuk kelompok advokasi untuk memperjuangkan hak nelayan.
"Kita bukan hanya
melawan pagar bambu," seru Kholid di depan rapat desa. "Kita melawan
ketidakadilan yang merampas masa depan anak-anak kita."
Sosok Kholid mulai dikenal luas. Suaranya menggema di berbagai platform
media sosial, membangkitkan simpati dari seluruh penjuru negeri. Tapi ketenaran
itu datang dengan risiko. Ancaman mulai bermunculan dari pihak-pihak yang
merasa terancam oleh perlawanan para nelayan.
Suatu malam, di depan
rumah Kholid, seseorang meninggalkan pesan ancaman di atas secarik kertas.
"Hentikan perlawananmu, atau keluargamu yang akan menderita."
Namun, ancaman itu tidak mematahkan semangatnya. Justru, rasa takut itu
menjadi bahan bakar yang membakar semangatnya untuk terus maju. Di balik keberanian itu,
Kholid sering kali termenung, membayangkan wajah anaknya, Hana, yang bertanya
dengan polos, "Ayah, kenapa sekarang kita jarang makan ikan?"
Kholid hanya bisa
memeluk putrinya, menahan air mata yang hampir jatuh. Bagaimana ia bisa
menjelaskan bahwa laut yang selama ini menjadi sumber kehidupan mereka telah
diambil paksa oleh kepentingan yang tak berpihak pada rakyat kecil?
Akhirnya, pada 22
Januari 2025, titik terang mulai muncul. Pemerintah, melalui Menteri Kelautan
dan Perikanan, memerintahkan pembongkaran pagar laut. TNI Angkatan Laut bersama
masyarakat nelayan memulai proses pencabutan pagar bambu yang telah tertancap
selama berbulan-bulan.
Namun, pekerjaan itu
tidak mudah. Gelombang tinggi, cuaca buruk, dan kedalaman pagar yang mencapai
dua meter menjadi tantangan besar. Meski demikian, dalam waktu satu minggu,
18,7 kilometer pagar berhasil dibongkar. Meski sebagian besar sudah
dihancurkan, sisa 11,46 kilometer masih berdiri, menjadi simbol ketidakadilan
yang belum sepenuhnya sirna.
Di balik pembongkaran itu, muncul dugaan
korupsi terkait penerbitan Hak Guna Bangunan (HGB) dan Sertifikat Hak Milik
(SHM) di atas wilayah perairan. Kejaksaan Agung membuka investigasi, memanggil
pejabat yang terlibat, termasuk lima kepala desa yang diduga berperan dalam
penerbitan izin ilegal.
Kholid menjadi saksi
dalam salah satu sidang yang diadakan. Di ruang sidang yang sunyi, ia berdiri
dengan tegar.
"Laut ini bukan
hanya sumber penghidupan," ucapnya dengan suara lantang, "tapi
warisan yang seharusnya kita jaga untuk generasi mendatang. Bukan untuk
diperjualbelikan demi keuntungan segelintir orang."
Kholid kembali melaut.
Kali ini, tanpa pagar yang membatasi jalurnya. Ia menatap hamparan laut yang
seolah-olah menghembuskan napas lega. Namun, perjuangan belum sepenuhnya
selesai.
Masyarakat masih menunggu keadilan
ditegakkan. Proses hukum berjalan lambat, dan korupsi yang selama ini terpendam
di balik pagar bambu masih membayangi kehidupan mereka.
Kholid merenung di tepi
perahu, menatap cakrawala yang perlahan diselimuti senja. Laut ini mengajarkan
banyak hal—tentang ketahanan, perjuangan, dan keberanian melawan arus yang
lebih besar.
Malam itu, Kholid duduk
di tepi pantai, mendengar deburan ombak yang kini terdengar seperti lagu
kemenangan. Di kejauhan, bulan memantulkan sinarnya ke permukaan laut, seolah
menghapus luka yang telah lama terukir.
"Perjuangan ini
bukan hanya untukku," bisiknya pelan. "Tapi untuk semua nelayan,
untuk setiap anak yang percaya bahwa laut ini adalah ruang kebebasan."
Cerita Kholid bukan
sekadar tentang seorang nelayan yang melawan pagar bambu di tengah laut. Ini
adalah kisah perjuangan masyarakat pesisir yang menolak dibungkam, melawan demi
keadilan, dan mempertahankan hak hidup mereka. Ini adalah seruan yang mewakili
suara-suara kecil yang selama ini terpinggirkan, suara dari laut yang berbisik
tentang kebebasan, harapan, dan keberanian.
Cerita ini mengajarkan
bahwa laut bukan hanya ruang bagi kehidupan biologis, tetapi juga ruang bagi
kebebasan manusia untuk mencari nafkah, menjaga warisan budaya, dan
mempertahankan hak hidup yang setara. Laut menjadi cermin dari keseimbangan
antara alam dan manusia, di mana ketidakadilan sekecil apa pun dapat
menciptakan gelombang besar yang mengguncang kehidupan. Perjuangan melawan
ketidakadilan bukanlah tugas satu orang, tetapi tanggung jawab bersama untuk
melindungi ruang hidup yang menjadi hak semua makhluk, agar masa depan yang
lebih adil dapat terwujud bagi generasi mendatang.