Cerpen Lana Agmaluna Binura
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Malam itu, hujan turun perlahan saat Reksa menemukan sebuah surat tua di halaman belakang rumahnya. Kertasnya sudah menguning, tetapi tulisan di atasnya masih jelas terbaca.
“Jika kau menemukan surat ini, berarti waktunya telah tiba. Portal menuju Elysia akan terbuka di tempat rahasia. Kau harus datang sebelum terlambat.”
Tidak ada nama pengirim. Hanya ada simbol aneh di sudut kertas—sebuah lingkaran dengan pola bintang di tengahnya.
Reksa merasakan dadanya berdebar. Ia tidak tahu apa itu Elysia, tetapi ada sesuatu dalam surat ini yang memanggilnya. Suatu perasaan yang sulit ia jelaskan, seolah dunia ini menawarkan sebuah rahasia yang harus ia pecahkan.
Keesokan harinya, ia menunjukkan surat itu kepada Sena, sahabatnya sejak kecil.
“Menurutmu ini apa?” tanya Reksa.
Sena membaca surat itu dengan kening berkerut. “Kamu yakin ini bukan lelucon? Elysia? Kayak nama dunia fantasi.”
“Tapi aku merasa ini bukan sekadar surat biasa,” kata Reksa. “Aku ingin mencarinya.”
Sena ragu. “Hati-hati, Sa.”
Namun, Reksa tetap nekat. Mereka mengikuti petunjuk samar dari surat itu, yang akhirnya membawa mereka ke reruntuhan tua di tepi hutan. Di sana, di tengah lantai batu yang retak, mereka menemukan simbol yang sama seperti di surat—lingkaran dengan pola bintang.
Saat Reksa menyentuh simbol itu, udara di sekelilingnya bergetar. Cahaya biru keemasan muncul di udara, membentuk pusaran yang semakin besar. Sebelum Sena sempat menariknya pergi, Reksa tersedot ke dalam portal, tanpa sempat mengucapkan sepatah kata pun.
Reksa jatuh di atas rerumputan yang lembut. Ia merasa seperti terlempar ke dalam mimpi. Saat ia bangkit, matanya membelalak melihat sekeliling.
Dunia ini sungguh berbeda. Langit berwarna ungu keemasan, dan pepohonan bercahaya tumbuh tinggi di sekelilingnya. Di kejauhan, tampak kota dengan menara-menara menjulang, diselimuti kabut keperakan.
“Inikah… Elysia?” bisiknya.
Belum sempat ia memahami semuanya, suara lembut menyapanya dari belakang.
“Kau dari dunia lain?”
Reksa menoleh dan melihat seorang gadis berdiri di sana. Rambutnya sehalus sutra berwarna perak, dan matanya bersinar lembut seperti bintang. Ia mengenakan jubah putih dengan hiasan emas di bagian bahu.
“Aku Elara,” katanya. “Dan kau… sepertinya bukan berasal dari dunia ini.”
Hari-hari berlalu, dan Reksa mulai memahami dunia Elysia. Dunia ini penuh dengan keajaiban, tetapi juga rahasia. Elara membantunya beradaptasi, memperkenalkannya pada kehidupan di sana. Reksa merasa seolah-olah dia sedang berada di dunia yang penuh dengan keindahan yang tak terjangkau, seperti mimpi yang hadir dalam kenyataan.
Tanpa sadar, Reksa mulai jatuh hati. Elara bukan hanya cantik, tetapi juga cerdas dan penuh kelembutan. Kehadirannya membuat Reksa merasa tenang, meskipun dunia ini sangat asing baginya.
Suatu malam, mereka berdiri di bawah pohon cahaya yang kelopak-kelopaknya bersinar redup.
“Elara, aku ingin kau ikut denganku ke duniaku,” kata Reksa. “Kita bisa pergi bersama.”
Elara tersenyum sedih. “Aku ingin, Reksa… tapi aku tidak bisa. Aku terikat dengan dunia ini. Jika aku meninggalkan Elysia, aku akan menghilang.”
Reksa terdiam, kebingungannya mulai tumbuh. “Tapi aku akan mencari cara,” katanya mantap. “Aku tidak ingin kehilanganmu.”
Elara menatapnya dengan mata penuh keraguan dan harapan. “Kadang, kita harus menerima kenyataan, Reksa.”
Suatu hari, Reksa menemukan sesuatu yang aneh—sebuah lukisan tua di perpustakaan kota Elysia. Lukisan itu menggambarkan seorang gadis yang sangat mirip dengan Elara, berdiri di tengah lingkaran bintang, dengan cahaya portal di sekelilingnya
Yang mengejutkan, di sebelah gadis itu ada seseorang yang juga familiar.
Sena.
Jantung Reksa berdetak kencang. Ini bukan kebetulan. Ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini.
Ia segera menemui Elara. “Aku menemukan sesuatu… Kau terlihat sangat mirip dengan seseorang di duniaku.”
Elara tampak terkejut. “Apa maksudmu?”
Reksa mengeluarkan foto lama yang ia simpan di dompetnya—foto dirinya dan Sena saat kecil. Ia menunjukkan wajah Sena pada Elara.
Elara memandang foto itu lama, sebelum akhirnya berbisik, “Aku… aku merasa mengenalnya.”
Dan saat itu, semuanya menjadi jelas bagi Reksa.
Elara adalah Sena, tetapi di dunia yang berbeda. Sebuah dunia yang penuh dengan keajaiban dan misteri.
Reksa mengingat semua momen bersama Sena—sahabatnya yang selalu ada, yang mengenalnya lebih baik dari siapa pun. Dan sekarang, di dunia lain, ia jatuh cinta pada sosok yang sama, tetapi dalam versi yang berbeda.
Mungkin inilah alasan ia dipanggil ke dunia ini.
“Elara… Atau Sena… Aku tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi,” kata Reksa. “Tapi aku tahu satu hal—aku tidak ingin kehilanganmu di dunia mana pun.”
Air mata menetes di pipi Elara. “Aku juga, Reksa.”
Tetapi takdir sudah digariskan. Portal menuju dunia Reksa semakin melemah. Jika ia tidak kembali sekarang, ia mungkin akan terjebak di Elysia selamanya.
“Aku akan kembali,” janji Reksa. “Aku akan menemukanmu lagi, di dunia mana pun.”
Elara tersenyum, meski air matanya jatuh.
Saat Reksa melangkah ke dalam portal, suara lembut Elara bergema di telinganya.
“Temukan aku, Reksa… di dunia yang lain.”
Dan saat cahaya portal memudar, Reksa tersadar—di dunia asalnya, Sena sedang menunggunya.