Subarkah tak pernah mengira, laut maha luas yang
menghampar di dekat rumah kecilnya itu kini telah dipancang tiang-tiang dari
bambu yang di susun berjajar sepanjang puluhan kilo meter dan dijadikan sebagai
pagar pembatas untuk melarang siapa saja yang akan melintas.
Jika saja itu terjadi di daratan, mungkin Subarkah tak
akan merasa seheran ini. Dahulu, dia selalu yakin bahwa membuat pagar di lautan
adalah sebuah tindakan yang mustahil untuk dilakukan. Tetapi kini dia sadar,
hal yang mustahil untuk dilakukan itu ternyata bisa dilakukan hanya dengan
modal satu, yaitu keserakahan.
Dia dan juga para warga lainnya tak pernah tahu jika
pagar bambu itu akan menjadi belenggu untuk kebebasan para nelayan seperti dirinya
dan yang lainnya untuk menangkap ikan-ikan laut sebagai sumber penghidupannya. Kini,
tak ada pilihan lain baginya dan nelayan lainnya selain melakukan perlawanan.
“pergilah melaut saja, Pak! Tak usah ikut-ikut melawan
seperti yang lain.” Marni mengingatkan suaminya malam itu ketika akan berangkat
keluar tetapi bukan untuk melaut, melainkan akan datang ke lokasi pertemuan
dengan pihak yang mematok laut untuk melakukan diskusi, dan dia siap meski
nanti diskusinya akan berlangsung sepanas apa pun nantinya, dengan mereka yang
mencaplok hak para nelayan. Jadi dia pergi untuk memperjuangkan apa yang dulu tak
pernah terbatasi oleh yang namanya hak kepemilikan.
“kau sendiri merasakan, apa yang kita dapatkan semakin
hari semakin berkurang,” Subarkah menjelaskan untuk ke sekian kalinya. “Mereka harus membongkar
pagar itu, laut bukan milik seorang, laut milik semua orang!” Ada sedikit nada
geram yang bukan ditujukan pada istrinya itu ketika Subarkah berkata-kata tadi.
“Aku khawatir terjadi apa-apa nantinya.” Jelas ada
kegusaran di dalam lontaran suara Marni, “Bagaimana kalau terjadi apa-apa
padamu nanti, pada kita.” Selepas berkata itu, Marni membelai perutnya yang
tengah mengandung lima bulan usia calon anak mereka.
“Jika kau tak ingin terjadi apa-apa, maka tak akan ada
yang terjadi, tetapi agar tak terjadi apa-apa, maka kita jangan melakukan
apa-apa, dan itu tak bisa. Jika kita berharap tak ada yang terjadi, mereka akan
semakin menjadi-jadi.”
Marni memang belum lama menjalani hidup bersama dengan
suaminya, tetapi dia tahu sifatnya memang sekeras karang laut. Tak pernah ada
kata surut ketika harus memperjuangkan apa pun sekalipun taruhannya adalah
maut.
“Kita syukuri saja yang sedikit itu, mereka
orang-orang kuat. Kita tak akan sanggup melawan.” Marni mencoba lagi meski dia
tahu itu tak akan ada hasil.
Subarkah tak menjawab. Dia hanya meminta diambilkan
jaket usangnya yang biasa dia pakai untuk menahan angin laut agar tubuhnya tidak
terkena tamparan angin secara langsung ketika mencari ikan. Meski Subarkah tahu
Marni menuruti permintaannya dengan berat, dia tetap saja berangkat.
Tetapi, sebelum benar-benar pergi, Subarkah
mendekatkan wajahnya ke wajah istrinya yang baru ia nikahi tujuh bulan yang
lalu itu, “Aku akan pulang, tenanglah. Dan akan kubawakan ubi rebus kesukaanmu
itu.” Marni menatap sepasang mata suaminya, mata yang tak pernah membohonginya,
dan dengan melihat mata itu, keraguan Marni lenyap menguap ke tempat yang Marni
tak tahu.
“Ini harus diakhiri!” Di lokasi perlawanan Subarkah
berkata dengan suara menantang dan wajah garang. “Bagaimana mungkin kalian bisa
menguasai laut? Jelas kalian bukan Dewa Laut! Ini bukan daratan yang boleh
diperjual belikan!” Semua yang mencari nafkah di laut setuju dengan Subarkah.
Tetapi tidak semua berani menentang
sekeras seperti dirinya.
Kata-kata Subarkah begitu keras. Bahkan tak kalah oleh
deru angin dan ombak malam di mana mereka melakukan pertemuan itu.
Mereka yang berada di pihak pemagar laut jadi begitu
mudah mengingat wajah Subarkah. Tanpa Subarkah sadari, lima sampai enam orang
berbadan tinggi dan besar yang seumur-umur tak pernah dilihat oleh Subarkah di
lingkungan itu berdiri memperhatikan dirinya.
Beberapa pihak pemagar mencoba memberi argumen dan memberi
penjelasan. Mereka juga mengatakan bahwa mereka tak pernah berniat menjadikan
lautan sebagai milik mereka.
“Bohong...!” Subarkah kembali marah ketika mendengar
kata-kata dusta itu. “Saya sendiri merasakan langsung kalian mengusir saya dan
yang lainnya ketika kami tengah mencari ikan dan memasuki kawasan pagar bambu
itu!” Subarkah berkata dengan keras. Sementara mereka yang di belakangnya
mengangguk-angguk mendukung apa pun yang dikatakan Subarkah, sosok yang
akhirnya mereka anggap sebagai pemimpin perlawanan.
Malam itu tak berakhir dengan penyelesaian. Subarkah
hanya kembali mendapatkan janji-janji bahwa apa yang mereka sampaikan akan
didiskusikan. Itu hanya jawaban basa-basi busuk yang mengambang seperti bulan
yang mengambang di langit malam itu, indah namun terlihat menakutkan.
Selepas pertemuan itu, Subarkah memacu langkahnya
untuk pulang. Dia memang tak memiliki kendaraan darat, uang tabungannya sudah
dia pakai untuk membeli perahu agar ia tak terus menjadi nelayan yang tak
memiliki kendaraan laut untuk mencari ikan.
Sebelum pulang Subarkah menyempatkan untuk membeli ubi
rebus sebagai bentuk penuntasan janji kepada istrinya di rumah, itu sebabnya
dia berbelok terlebih dahulu ketika langkahnya tiba di sebuah pertigaan. Tetapi
dia tak pernah sadar bahwa malam itu ternyata dia akan berbelok arah untuk
selamanya.
Setelah dia berhasil mendapatkan apa yang dia cari,
Subarkah berjalan kembali menuju arah pulang, tetapi sepasang lengan menyergap
Subarkah ketika dia melewati pohon besar yang dilupakan cahaya lampu dan juga
dilupakan cahaya bulan. Pemilik lengan itu terlalu kuat untuk bisa Subarkah
berontak, menyeretnya ke suatu tempat yang lebih gelap lagi. Di sana sudah
menunggu beberapa orang yang tadi hadir di tempat Subarkah dan yang lainnya
menentang keberadaan pagar laut.
Mereka membekap mulutnya. Dan kemudian, untuk meredam
suara Subarkah, mereka membelit mulutnya dengan lakban, menganiaya
sejadi-jadinya. Di bawah siksaan itu Subarkah tak bisa apa-apa.
Teriakannya bahkan tidak sampai pada tenggorokannya. Tubuhnya
meronta tetapi tak bisa lepas. Entah sudah berapa luka menganga di tubuhnya? Subarkah
tak sempat menyadari itu. Dia terkulai lebih dulu.
Kantung plastik berisi ubi rebus yang akan dia berikan
kepada istrinya terkena noda darah dan terjatuh ke atas tanah. Salah satu dari
mereka menginjak hingga koyak bungkusan tersebut dengan sepenuh kebencian yang
dimilikinya.
“Kita bawa mayatnya ke tempat tadi dia menentang kita,
biarkan mayatnya mengambang di tempat
yang mudah terlihat, biar semua yang menentang tahu, inilah akhir bagi siapa
saja yang berani menentang pagar laut bos kita.” Salah seorang yang paling
mendominasi memberi instruksi. Yang lainnya menyambut dengan mengangguk.
Malam itu, malam di mana mayat Subarkah diangkut
menuju tempat di mana mereka melihat Subarkah untuk pertama kalinya di lokasi
diskusi tadi, di sebuah rumah mungil yang masih jauh untuk dikatakakan
sederhana, Marni masih duduk menunggu di atas kursi kayu. Menunggu suaminya
yang akan membawakannya ubi rebus kesukaannya.
Dia sangat yakin suaminya akan datang, karena selama
ini Subarkah, suaminya, tak pernah berbohong kepadanya. Telapak tangan kanannya
terus-menerus membelai perutnya yang tengah mengandung anak mereka.