Saturday, March 15, 2025

Cerpen Lomba - Latatu Nandemar - Lelaki Karang yang Dihanyut Maut

 



Subarkah tak pernah mengira, laut maha luas yang menghampar di dekat rumah kecilnya itu kini telah dipancang tiang-tiang dari bambu yang di susun berjajar sepanjang puluhan kilo meter dan dijadikan sebagai pagar pembatas untuk melarang siapa saja yang akan melintas.

Jika saja itu terjadi di daratan, mungkin Subarkah tak akan merasa seheran ini. Dahulu, dia selalu yakin bahwa membuat pagar di lautan adalah sebuah tindakan yang mustahil untuk dilakukan. Tetapi kini dia sadar, hal yang mustahil untuk dilakukan itu ternyata bisa dilakukan hanya dengan modal satu, yaitu keserakahan.

Dia dan juga para warga lainnya tak pernah tahu jika pagar bambu itu akan menjadi belenggu untuk kebebasan para nelayan seperti dirinya dan yang lainnya untuk menangkap ikan-ikan laut sebagai sumber penghidupannya. Kini, tak ada pilihan lain baginya dan nelayan lainnya selain melakukan perlawanan.

“pergilah melaut saja, Pak! Tak usah ikut-ikut melawan seperti yang lain.” Marni mengingatkan suaminya malam itu ketika akan berangkat keluar tetapi bukan untuk melaut, melainkan akan datang ke lokasi pertemuan dengan pihak yang mematok laut untuk melakukan diskusi, dan dia siap meski nanti diskusinya akan berlangsung sepanas apa pun nantinya, dengan mereka yang mencaplok hak para nelayan. Jadi dia pergi untuk memperjuangkan apa yang dulu tak pernah terbatasi oleh yang namanya hak kepemilikan.

“kau sendiri merasakan, apa yang kita dapatkan semakin hari semakin berkurang,” Subarkah menjelaskan untuk  ke sekian kalinya. “Mereka harus membongkar pagar itu, laut bukan milik seorang, laut milik semua orang!” Ada sedikit nada geram yang bukan ditujukan pada istrinya itu ketika Subarkah berkata-kata tadi.

“Aku khawatir terjadi apa-apa nantinya.” Jelas ada kegusaran di dalam lontaran suara Marni, “Bagaimana kalau terjadi apa-apa padamu nanti, pada kita.” Selepas berkata itu, Marni membelai perutnya yang tengah mengandung lima bulan usia calon anak mereka.

“Jika kau tak ingin terjadi apa-apa, maka tak akan ada yang terjadi, tetapi agar tak terjadi apa-apa, maka kita jangan melakukan apa-apa, dan itu tak bisa. Jika kita berharap tak ada yang terjadi, mereka akan semakin menjadi-jadi.”

Marni memang belum lama menjalani hidup bersama dengan suaminya, tetapi dia tahu sifatnya memang sekeras karang laut. Tak pernah ada kata surut ketika harus memperjuangkan apa pun sekalipun taruhannya adalah maut.

“Kita syukuri saja yang sedikit itu, mereka orang-orang kuat. Kita tak akan sanggup melawan.” Marni mencoba lagi meski dia tahu itu tak akan ada hasil.

Subarkah tak menjawab. Dia hanya meminta diambilkan jaket usangnya yang biasa dia pakai untuk menahan angin laut agar tubuhnya tidak terkena tamparan angin secara langsung ketika mencari ikan. Meski Subarkah tahu Marni menuruti permintaannya dengan berat, dia tetap saja berangkat.

Tetapi, sebelum benar-benar pergi, Subarkah mendekatkan wajahnya ke wajah istrinya yang baru ia nikahi tujuh bulan yang lalu itu, “Aku akan pulang, tenanglah. Dan akan kubawakan ubi rebus kesukaanmu itu.” Marni menatap sepasang mata suaminya, mata yang tak pernah membohonginya, dan dengan melihat mata itu, keraguan Marni lenyap menguap ke tempat yang Marni tak tahu.

“Ini harus diakhiri!” Di lokasi perlawanan Subarkah berkata dengan suara menantang dan wajah garang. “Bagaimana mungkin kalian bisa menguasai laut? Jelas kalian bukan Dewa Laut! Ini bukan daratan yang boleh diperjual belikan!” Semua yang mencari nafkah di laut setuju dengan Subarkah. Tetapi tidak semua  berani menentang sekeras seperti dirinya.

Kata-kata Subarkah begitu keras. Bahkan tak kalah oleh deru angin dan ombak malam di mana mereka melakukan pertemuan itu.

Mereka yang berada di pihak pemagar laut jadi begitu mudah mengingat wajah Subarkah. Tanpa Subarkah sadari, lima sampai enam orang berbadan tinggi dan besar yang seumur-umur tak pernah dilihat oleh Subarkah di lingkungan itu berdiri memperhatikan dirinya.

Beberapa pihak pemagar mencoba memberi argumen dan memberi penjelasan. Mereka juga mengatakan bahwa mereka tak pernah berniat menjadikan lautan sebagai milik mereka.

“Bohong...!” Subarkah kembali marah ketika mendengar kata-kata dusta itu. “Saya sendiri merasakan langsung kalian mengusir saya dan yang lainnya ketika kami tengah mencari ikan dan memasuki kawasan pagar bambu itu!” Subarkah berkata dengan keras. Sementara mereka yang di belakangnya mengangguk-angguk mendukung apa pun yang dikatakan Subarkah, sosok yang akhirnya mereka anggap sebagai pemimpin perlawanan.

Malam itu tak berakhir dengan penyelesaian. Subarkah hanya kembali mendapatkan janji-janji bahwa apa yang mereka sampaikan akan didiskusikan. Itu hanya jawaban basa-basi busuk yang mengambang seperti bulan yang mengambang di langit malam itu, indah namun terlihat menakutkan.

Selepas pertemuan itu, Subarkah memacu langkahnya untuk pulang. Dia memang tak memiliki kendaraan darat, uang tabungannya sudah dia pakai untuk membeli perahu agar ia tak terus menjadi nelayan yang tak memiliki kendaraan laut untuk mencari ikan.

Sebelum pulang Subarkah menyempatkan untuk membeli ubi rebus sebagai bentuk penuntasan janji kepada istrinya di rumah, itu sebabnya dia berbelok terlebih dahulu ketika langkahnya tiba di sebuah pertigaan. Tetapi dia tak pernah sadar bahwa malam itu ternyata dia akan berbelok arah untuk selamanya.

Setelah dia berhasil mendapatkan apa yang dia cari, Subarkah berjalan kembali menuju arah pulang, tetapi sepasang lengan menyergap Subarkah ketika dia melewati pohon besar yang dilupakan cahaya lampu dan juga dilupakan cahaya bulan. Pemilik lengan itu terlalu kuat untuk bisa Subarkah berontak, menyeretnya ke suatu tempat yang lebih gelap lagi. Di sana sudah menunggu beberapa orang yang tadi hadir di tempat Subarkah dan yang lainnya menentang keberadaan pagar laut.

Mereka membekap mulutnya. Dan kemudian, untuk meredam suara Subarkah, mereka membelit mulutnya dengan lakban, menganiaya sejadi-jadinya. Di bawah siksaan itu Subarkah tak bisa apa-apa.

Teriakannya bahkan tidak sampai pada tenggorokannya. Tubuhnya meronta tetapi tak bisa lepas. Entah sudah berapa luka menganga di tubuhnya? Subarkah tak sempat menyadari itu. Dia terkulai lebih dulu.

Kantung plastik berisi ubi rebus yang akan dia berikan kepada istrinya terkena noda darah dan terjatuh ke atas tanah. Salah satu dari mereka menginjak hingga koyak bungkusan tersebut dengan sepenuh kebencian yang dimilikinya.

“Kita bawa mayatnya ke tempat tadi dia menentang kita, biarkan  mayatnya mengambang di tempat yang mudah terlihat, biar semua yang menentang tahu, inilah akhir bagi siapa saja yang berani menentang pagar laut bos kita.” Salah seorang yang paling mendominasi memberi instruksi. Yang lainnya menyambut dengan mengangguk.

Malam itu, malam di mana mayat Subarkah diangkut menuju tempat di mana mereka melihat Subarkah untuk pertama kalinya di lokasi diskusi tadi, di sebuah rumah mungil yang masih jauh untuk dikatakakan sederhana, Marni masih duduk menunggu di atas kursi kayu. Menunggu suaminya yang akan membawakannya ubi rebus kesukaannya.

Dia sangat yakin suaminya akan datang, karena selama ini Subarkah, suaminya, tak pernah berbohong kepadanya. Telapak tangan kanannya terus-menerus membelai perutnya yang tengah mengandung anak mereka.