Saturday, March 15, 2025

Cerpen Lomba | Lathifah Syakirah Wibowo | Kami Hanya Seorang Nelayan yang Tidak Mengerti Akan Kekuasaan


Agustus 2024

“Coba lah kau cari ikan yang benar. Jangan hanya bengong saja di rumah, Bad!”

Sore itu, emak meneriaki ku yang sedang asik menonton orang bertengkar di jalan. Aku lelah sekali setelah seharian di terkena matahari laut dengan keringat berjatuhan. “Nggak bisa loh mak, susah sekali dapat ikan. Sekalinya dapat, ikan kecil macam kecebong,” ah, susah sekali menjelaskan ke Emak betapa lelahnya diriku belakangan ini. 


Pagi tadi, aku berangkat pukul 3 dini hari untuk mencari ikan–yang memang pekerjaan kami sebagai nelayan. Mataku yang sangat berat memelas untuk terus tertidur, namun ku ayunkan tanganku untuk menampar-nampar pipiku agar terbangun. Adik terbangun saat aku akan berangkat. Namun, tak lama, Adik tertidur pulas kembali. Aku bersama Edi dan Sarip berkelana ke lautan pada dini hari dengan penerangan seadanya yang kami bawa. Angin kencang menerpa rambutku yang masih berantakan akibat bangun tidur. Kami mulai mengambil posisi untuk memancing. Terkadang, kami juga bingung, mengapa kami memilih profesi ini. Sudah memakan waktu lama untuk menunggu ikan, terkadang pun masuk angin karena terus ditampar angin kencang. Tapi, ya sudahlah mungkin memang inilah jalan kami. Kami mulai bersantai sambil menunggu ikan datang menggerakkan pancingan kami. Suasana langit perkotaan memang dipenuhi debu. Tidak biru seperti postingan orang di sosial media. 


Krincing. Krincing


Wah, alangkah kabar baiknya bunyi suara itu. Pancingan Edi bergerak menandakan ada sesuatu yang menggerakkannya dari bawah air. 

“ANGKAT ED!” Aku dan Sarip berseru. Edi pun langsung menarik pancingannya dan terbengong. Disitu, tampaklah ikan kecil macam kecebong yang menggeliat untuk mencari udara. Mungkin, pada saat itu, kami semua bergumam hal yang sama, ikan macam apa ini? Apakah kami bisa memakan ikan sekecil ini? Tak apa, kami tidak menyerah. Hal-hal seperti ini sudah biasa kami hadapi. Mana mungkin tidak dapat ikan sama sekali?

Benar saja.

Hingga sore hari, tidak ada ikan layak makan yang kami temukan. Kami memutuskan untuk kembali ke rumah kami masing-masing dan beristirahat.


Keesokan harinya, aku menemukan sekelompok orang sedang ribut di depan dermaga. Aku yang baru saja terbangun pun bertanya-tanya apa yang yang terjadi. 

“Masa iya sih pak, kita gak dapet apa-apa dari minggu kemarin? Tolong dong, pak diselidiki, ini sebenernya karena apa ikan-ikan pada kabur begini?”. “Iya pak, kemaren saya sampe gak makan loh pak karena sudah seminggu saya gak dapet penghasilan dari nangkep ikan,” Begitulah seruan beberapa warga kepada Pak Kades. 


“Sabar ya, bapak-bapak. Besok saya akan ngomong deh ke DKP Banten biar diselidiki.”

Kasihan Pak Kades, pagi-pagi sudah diserbu oleh puluhan nelayan yang kesulitan mencari ikan. Walaupun aku juga khawatir Emak dan Adik akan makan apa jika seminggu kedepan tetap tidak ada ikan. Pagi itu, mungkin sekitar jam 8 pagi, Sarip mengajakku berkeliling mencari udara segar dengan perahu. Baiklah, karena tidak ada ikan, kami beristirahat sejenak menikmati secangkir kopi hitam di atas perahu, membiarkan perahu mengambang diatas air.


“Bad, saya tuh baru sadar. Apa ya fungsi pagar-pagar bambu di depan sana itu? Sudah dari lama kan ya ada yang bertanya ke Pak Kades, itu untuk apa. Tapi kok belum ada dampak apa-apa ya ke kita?”. Tanya Sarip tiba-tiba. Aku sedikit menjulurkan kepala ke depan untuk melihat lebih jelas apa yang sedang dibahas oleh Sarip. “Ohh.. Itu mah buat ngurangin dampak gelombang besar yang bisa ngerusak bangunan atuh Rip.” Ujarku santai. 


“Iya kali ya..”. Aku memperhatikan wajah Sarip. Aduh, sepertinya ini anak sedang memikirkan sesuatu yang tidak masuk akal. “Kau berpikir apa sih Rip? Sampe alismu mengkerut begitu,” “Ngebayangin aja kapan kita dapet ikan kayak hari-hari kemaren.”

Kami berdua terdiam, berkutat dengan pikiran masing-masing. Hingga azan Zuhur berkumandang, kami memutuskan untuk kembali ke dermaga. 


September 2024

Setelah beberapa lama waktu berselang, kami semakin susah mendapatkan ikan. Entah ada hubungannya atau tidak, area pagar-pagar bambu semakin meluas. Pak Kades telah berbicara kepada DKP Banten, dan Dinas Perikanan Kabupaten Tangerang serta Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) pun telah ikut berpartisipasi dalam penyelidikan ‘pagar laut’.


Setelah beberapa pemeriksaan, pagar-pagar bambu di area kami itu disebut-sebut sebagai ‘pagar laut misterius di Tangerang’. Kebanyakan nelayan tak peduli dengan sebutan itu, bahkan tidak terlalu mempedulikan berita mengenai hal tersebut . Asalkan kami bisa menangkap ikan dan menjualnya, itu sudah lebih dari cukup. Sayangnya, belum ada hasil dari protes kami kepada pak Kades. Semakin banyak orang yang akhirnya pindah rumah untuk mencari pekerjaan lain. Namun, Emak memutuskan untuk tetap tinggal di area itu. Kata Emak, Insya Allah sebentar lagi akan ada reaksi dan tanggapan dari pemerintah. Baiklah, aku percayakan pada pihak berwajib.


Januari 2025

Berita mulai beredar. Katanya, keberadaan pagar laut ini dianggap merugikan nelayan serta mengancam ekosistem pesisir. Bahkan katanya, nelayan lokal seperti kami jadi kesulitan mencari ikan karena akses kami dibatasi. Pantas tidak ada ikan yang datang, ikan nya kabur semua melihat pagar-pagar bambu. Aku tak paham banyak kata yang diucapkan beberapa nelayan lain–karena aku tidak sekolah, namun katanya pagar-pagar bambu ini juga mempercepat sedimentasi. 


Besoknya, ada pihak yang tiba-tiba mengungkapkan bahwa pagar tersebut sebenarnya dibangun oleh masyarakat setempat. Kami yang mendengar merasa kebingungan. Tak ada satupun dari kami, para nelayan yang memasang pagar-pagar bambu tersebut. Mana mungkin kami menghalangi penghasilan kami sendiri?


"Pagar laut yang membentang di pesisir utara Kabupaten Tangerang ini sengaja dibangun secara swadaya oleh masyarakat. Ini dilakukan untuk mencegah abrasi," Begitu katanya.


Selang beberapa hari setelahnya, dikabarkan bahwa sedang ada rombongan TNI AL yang tiba-tiba saja datang dengan alasan akan membongkar pagar-pagar laut. Para nelayan yang tentu tertarik dengan berita ini langsung mengajukan diri untuk bergabung dalam rencana.

"Ini adalah perintah secara langsung dari Presiden melalui Kepala Staf Angkatan Laut yang utama," ucap salah satu pemimpin mereka. Syukurlah, Presiden pun sudah mengetahui kesengsaraan kami.


Jumlah mereka sangat banyak. Dari pengamatanku, kurang lebih terdapat 600 pasukan TNI AL yang dibagi menjadi beberapa kelompok untuk investigasi dan pembongkaran pagar laut. Investigasi sendiri menghabiskan waktu cukup lama karena banyak yang harus dipastikan. Mereka tidak berbicara mengenai hasil investigasi kepada kami, namun itu tidak jadi masalah bagi kami karena memang itu bukan urusan kami, para nelayan.


Beberapa dari pasukan TNI AL sempat terkejut dengan betapa panjangnya pagar bambu yang telah dibangun di lautan. Dari pembicaraan mereka, mereka menyebut-nyebut angka 30,16 kilometer. Setahuku, itu wilayah yang sangat luas. 


Kata pak Haji di samping rumah, pembongkaran pagar laut ini sempat mendapat pertentangan dari Menteri Kelautan dan Perikanan. Beliau meminta pembongkaran pagar laut dihentikan dengan alasan masih dalam proses investigasi. Langsung saja Emak berkomentar, “Loh, ini dari kemarin bukannya sedang ada proses investigasi?” “Kok jadi ada dua pihak begini ya?” “Emak harus percaya yang mana?”. Begitulah kami. Karena tidak pintar akibat tidak sekolah, kami sering kebingungan mencari mana yang harus dipercaya. Oleh karena itu, masalah pagar laut ini banyak kami serahkan kepada Pak Kades. 


Untungnya, pada hari itu juga, salah satu pemimpin pasukan TNI memastikan kepada kami bahwa pembongkaran tetap akan berlanjut. Hasil dari investigasi singkat mereka, dikatakan bahwa tidak seharusnya pagar laut dibangun di batas tersebut. Karena sudah melewati batas privat properti. Pasukan investigasi sedang berusaha keras siapa yang sebenarnya terlibat dalam masalah pagar laut ini. Hingga saat ini, para nelayan belum bisa menangkap ikan karena area laut masih penuh sesak dengan kapal-kapal TNI. Terkadang, ada beberapa pasukan TNI yang menawarkan kami untuk makan bersama atau bahkan membungkuskan kami nasi padang tempat mereka biasanya makan siang bersama untuk keluarga kami di rumah. Tentu saja, Emak sangat terharu dengan sikap mereka terhadap kami yang belum memiliki penghasilan selama beberapa minggu. Kami pun sempat ikut berpikir, kapan masalah ini tuntas dan segera kembali ke masa dimana kami bisa menangkap ikan dengan leluasa. Bahkan terkadang kami ikut berpikir siapa dalang dibalik kesengsaraan kami.

Pada Hari Senin, diketahui ada salah satu pihak yang terlibat dalam hak kepemilikan pagar laut. Saat itu, kami para nelayan sungguh senang dan sedikit lega karena kami hanya tinggal menunggu pihak tersebut diadili oleh polisi. Namun, ternyata kebahagiaan kami hanya sementara.


"Itu tidak ada kaitan dengan kita, nanti selanjutnya oleh kuasa hukum yang akan menyampaikan dengan tindak lanjut," kata pihak tersebut. Yah, gagal sudah rencana memancing sore hari ini oleh Edi dan Sarip. Memang sebaiknya kami seharusnya jangan terlalu senang dahulu. Di rumah, Adik seringkali mengeluh kelaparan, juga kepanasan–kami sudah tidak pernah menyalakan kipas demi menghemat tagihan listrik. Aku sering menghibur Adik dengan berjalan-jalan keliling pantai menggunakan sepeda yang biasa dipakai Emak untuk ke pengajian. Daerah kami sungguh indah bila tak ada polusi. Suara ombak yang menenangkan, ditambah angin sepoi-sepoi yang cocok dinikmati pada sore hari sambil menatap senja. Seketika, aku terlupa akan masalah keuangan kami yang sedang diambang kesengsaraan. Aku memeluk tubuh Adik sambil berdoa kepada Tuhan yang mungkin sedang menatap kami berdua dari tempat-Nya. Semoga kami tetap bisa seperti ini, tetap bisa bahagia, dan semoga besok ada kabar membahagiakan bagi kami.


Petir menggelegar menyerukan akan ada hujan turun sebentar lagi. Langit sudah berwarna abu. Aku menutup jendela dan duduk disamping Emak yang sedang menonton berita di televisi dengan raut wajah serius. Aku ikut melihat ke arah mata Emak memandang. Aduh, masalah ini sungguh tak ada habisnya membuat kami tercengang.


“...Bareskrim Polri telah menetapkan total empat orang tersangka dalam kasus pemalsuan dokumen SHGB-SHM di wilayah pagar laut Tangerang. Keempat tersangka itu kades Kohod, Ujang Karta selaku Sekdes Kohod, serta SP dan CE selaku penerima kuasa…”


Bahkan orang yang kami percaya pun buta akan kekuasaan. Kami, rakyat tak mampu dan tak berpendidikan harus percaya pada siapa?