Monday, March 3, 2025

Cerpen Lomba | Luthfia Faradilla | Emas yang Tenggelam di Pelukan Laut

Cerpen Luthfia Faradilla



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


Kala itu, laut berbisik pada angin, menyebarkan mitos yang menyelinap ke seluruh desa seperti asap kayu yang perlahan menusuk penciuman. Ombak menggeliat gelisah, membawa kabar yang bergulung-gulung ke tepian, seakan ingin membisikkan rahasia kepada siapa saja yang sudi mendengar. Konon, di dasar laut, terkubur berton-ton emas, harta karun yang berkilau dengan kesombongan, menantang siapa pun yang cukup berani dan rakus merengkuhnya. Kabar ini menyebar lebih cepat dari angin yang mencuri dedaunan dari rantingnya, menelusup ke setiap sudut desa bak api yang melahap dedaunan kering.


Sudah hampir sebulan desas-desus itu berhembus di desa Di satu sisi, warga penasaran dan bertanya-tanya pada dasar laut yang konon menyimpan berton-ton emas, harta karun yang berkilau di antara karang-karang sunyi. Mereka membayangkan kejayaan yang mungkin didapat, kekayaan yang bisa mengubah nasib. Namun, di sisi lain, menyelusup sebersit keraguan. Laut tak pernah memberi tanpa meminta kembali. Dan perasaan itu kian lama kian kuat.


Matahari menyeringai kejam di atas kepala saat investor dari kota mulai berdatangan. Sinar teriknya menusuk kulit tanpa ampun, seolah ikut menertawakan niat mereka. Mereka datang dengan jas rapi, kacamata hitam, dan sepatu mengilap yang langsung penasaran keberadaan harta karun itu di mana. Dengan suara berlapis madu, mereka berkata, “Kami akan membawa kemakmuran ke desa ini!”


Tak butuh waktu lama, para investor mulai merajai lautan dengan angka-angka yang menghipnotis. Mereka membeli petakan demi petakan tanah laut dari nelayan dan warga sekitar, menggenggam sertifikat seakan menggenggam nyawa laut itu sendiri. Nilai ratusan juta bahkan miliaran, angka yang menari begitu indah di benak penduduk desa seperti mantra pemanggil mimpi. Beberapa nelayan tergiur, membayangkan kehidupan yang lebih megah seperti rumah yang menantang langit, perahu yang menderu gagah, dan masa depan yang berkilau seperti emas di dasar laut itu.


Tak berhenti di sana, investor mulai memasang pagar bambu di sepanjang garis pantai. Alasan mereka sederhana,yakni karena laut terlalu dalam, arus terlalu ganas, dan ombak terlalu liar untuk dibiarkan tanpa kendali. Mereka menanam batang demi batang bambu, membentuk batas antara desa dan samudra, seakan ingin menjinakkan sesuatu yang tak bisa dikendalikan.

 

Nelayan yang biasa melaut kini terhalang pagar, dipaksa mencari jalan lain, atau lebih buruknya dipaksa berhenti. Anak-anak yang dulu bebas bermain air di tepi pantai kini hanya bisa mengintip dari balik bilah bambu, seperti burung dalam sangkar yang kehilangan langitnya. Laut yang dulu terbuka, kini terasa sesak, seperti paru-paru yang dijejali asap.


"Pak Karto, kalau Bapak jual tanah laut ini, Bapak bisa beli kapal baru," bujuk seorang investor berjas abu-abu.


Pak Karto mengelus dagunya. "Tapi laut ini sudah memberi makan keluargaku sejak dulu. Bagaimana kalau nanti tidak ada ikan lagi?"


Investor lain menepuk pundaknya. "Bapak pikirkan saja keuntungannya. Emas yang kami gali akan membuat desa ini makmur."


Percakapan serupa terjadi di banyak rumah. Ada yang langsung menerima tawaran itu dengan wajah berbinar, ada juga yang ragu. Joko, seorang nelayan muda, hanya bisa menghela napas panjang melihat betapa mudahnya warga menyerahkan laut mereka.


“Kalau ada emas di laut, kenapa ikan-ikan masih milih berenang daripada buka toko emas?” Joko menorehkan kekesalannya ke Parjo, sahabatnya.


Namun, janji-janji manis para investor lebih menarik daripada suara seorang nelayan muda. Kapal-kapal besar mulai berdatangan, membawa mesin-mesin raksasa yang siap mengeruk dasar laut. Penggalian pun dimulai. Mesin-mesin besar mendengung, mengebor, dan menyedot air laut dengan semangat lebih besar daripada anak kecil yang minum es teh saat siang bolong.


Hari demi hari berlalu, tetapi emas yang dijanjikan tak kunjung ditemukan. Yang mereka dapatkan hanyalah pasir, batu karang, beberapa ikan yang sudah mati, dan sandal jepit tua. Sementara itu, laut mulai merintih. Terumbu karang hancur seperti kaca yang terinjak tanpa sengaja. Ikan-ikan pergi mencari tempat yang lebih aman. Ombak yang biasanya menari lembut kini berdebur marah seperti petir yang menyambar di tengah malam, menggelegar penuh amarah.


Joko hanya bisa menghela napas. "Kan sudah aku bilangin dari awal..."

 

Investor yang semula penuh percaya diri kini panik. Uang mereka habis, emas tak ditemukan, dan masyarakat desa sadar telah menjual laut demi harapan kosong. Satu per satu investor angkat kaki dengan wajah kecewa, seperti musafir yang mendapati mata airnya telah kering. Sementara itu, masyarakat hanya bisa menatap laut yang telah mereka rusak. Keserakahan telah membawa bencana. Para investor akhirnya sadar bahwa tidak semua hal bisa dibeli dengan uang. Andai bisa, mereka tentu sudah menukar keserakahan dengan kebijaksanaan sebelum merusak laut. Namun, kesadaran itu datang terlambat. Laut porak- poranda, janji kekayaan lenyap seperti fatamorgana. Masyarakat desa pun belajar dari luka yang ditinggalkan. Ombak tak lagi ramah, laut seakan berbisik lirih bahwa keserakahan hanya membawa kehancuran.


“Ini waktunya kita memperbaiki laut”, ucap Joko ke Parjo


“Tapi gimana cara benerinnya? Ini bukan rumah yang bisa diperbaiki lagi,” gumam Parjo sambil garuk-garuk kepala.


Joko tersenyum. “Kalau kita bisa merusak, kita juga bisa memperbaiki.” Dan misi memulihkan laut itu pun dimulai.

Masyarakat desa bahu-membahu mengembalikan kehidupan laut yang telah porak- poranda. Mereka menanam kembali terumbu karang, seolah menenun kembali kain kehidupan yang sempat tercabik. Bibit-bibit ikan dilepas ke laut, seperti mengirim doa agar kehidupan bawah air kembali ramai. Pantai yang dulu kotor kini mulai bersih, meski gelombang masih kerap membawa sampah entah dari mana, seakan laut tengah mengembalikan beban yang bukan miliknya. Di sudut lain, beberapa warga sibuk menanam mangrove, akar-akar kecilnya merayap ke dalam tanah seperti jemari yang menggenggam harapan baru. Ada pula yang menyusun rumah-rumah ikan dari beton, menciptakan tempat berlindung bagi makhluk laut yang sempat terusir. Namun, di tengah kesibukan itu, ada juga yang sibuk berfoto, mengabadikan momen demi momen untuk segera diunggah ke media sosial.


Dan mitos tentang ton demi ton emas laut, kini hanya menjadi bahan tertawaan di warung kopi.


“Ton demi ton emas apaan? Yang ada cuma ton demi ton penyesalan…” kata Parjo sambil menyeruput kopinya.

 

Joko tertawa. “Iya, Jo. Tapi setidaknya kita masih punya laut. Itu emas kita yang sesungguhnya.”


Pelan tapi pasti, laut kembali bernapas, menghembuskan hembusan lega yang dulu sempat sirna. Ikan-ikan yang lama pergi pulang dalam tarian gemulai, menari bersama riak yang bernyanyi lembut. Ombak yang sempat mengamuk kini mereda, seolah membisikkan maaf pada pesisir yang pernah terluka. Dan akhirnya, masyarakat desa pun tersadar akan satu hal yang selama ini tertutupi oleh kilau keserakahan, bahwa justru sebenarnya laut mereka lebih dari sekadar tumpukan emas. Emas yang tenggelam di pelukan laut bukanlah harta berharga, melainkan perwujudan nafsu dan ambisi yang buta. Sebab emas yang sejati bukanlah logam yang bisa digenggam, melainkan keseimbangan yang menghidupi, alunan harmoni yang hanya dapat dirasakan oleh mereka yang mau mendengar bisikan alam, titah sunyi dari ciptaan Tuhan.