Cerpen M. Ghaniey Al Rasyid
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Pagi itu sangat sibuk, Katarina merapikan kertas, bolpoin dan peta berserakan di meja kerja. Sebagai seorang periset bidang kelautan, Katarina menghabiskan waktu dengan aroma amis seumur hidup, dan deru angin laut yang membikin kulitnya jadi lengket dan kusam.
Pagi itu tak seperti pagi galibnya. Para periset sudah berkumpul di meja kerja, sambil menikmati secangkir kopi dan sebatang rokok kretek. Mereka bergumul tak henti-hentinya berbincang mengenai laut.
Kecipak ombak menderu menghantam bebatuan yang berada di bibir pantai. Burung-burung pemakan daging lalu-lalang menitik mangsa seekor ikan yang menyembul ke permukaan. Nelayan dengan peraunya hilir mudik membentangkan jala berharap gerombolan ikan terperangkap. Sebuah kantor oceanologi berada di atas bukit batu lengkap dengan papan tertancap di depan halaman kantor riset kelautan itu. Dari atas bukti, para periset leluasa menilik hamparan laut dengan segala seluk-beluknya.
Dari balik jendela kantor, terlihat hamparan biru laut dengan kapal, perahu berlayar seperti miniatur mainan seorang bocah. Kapal dan perahu itu mengembang di hamparan biru laut. Burung-burung kutilang mondar-mandir berjingkrak ke ranting satu ke dahan lainnya sambil berkicau merdu menyambut pagi yang ditelan siang. Kantor mulai beroperasi pukul sembilan.
Kantor nan amat gersang itu, dihuni lima periset. Mereka lengket dengan kemeja taktikal berbahan tipis namun serat kainnya kuat, tak lupa sebuah bolpoin tertancap di saku kemeja. Tak hanya itu, topi laken seperti topi penunggang kuda, dengan setia mengait di lehernya.
Para periset dengan tergesa-gesa merapikan kemeja, rambut dan memastikan mulutnya tak berbau busuk menyengat. Decit pintu berderik sedih, bebarengan muncul direktur riset membuka perbincangan dengan membawa seabrek kertas. Sunarto pria lulusan ilmu kelautan, tampil begitu nyentrik. Kemeja hawai, topi baseball dan sebuah bandel kertas diletakan di atas meja. Sambil menggertakan jari-jemarinya di atas meja, Sunarto melirik ke hadapan para periset.
Gemertuk, kaki, tangan dan suara decit kursi yang diseret ketika memperbaiki posisi duduk, Sunarto berdehem menyiapkan kata membuka rapat. Para periset mempersipakan kuping dan pena yang bersiap menggurat di selembar kertas. “Pembangunan sedang gencar-gencaranya, pesisir dilirik, laut punya kekayaan untuk memberdayakan rakyat.”
Para periset mendengarkan lamat-lamat apa yang diucapkan oleh Sunarto. Semilir angin pantai membelai rambut Katarina. Angin itu menyelinap dari sela-sela ventilasi yang melekat debu-debut tipis, dan pintu yang sengaja di buka. Denting angklung yang dibikin menyerupai seperti lonceng gereja dengan sengaja diterpa angin. Dentingnya itu bersaut-sautan dengan dengkur perkutut berselang-seling beriringan dengan talu angklung.
Sebuah kertas disebar beriringan. Para periset membacanya teliti. Puteda, Katarina, Rudi, dan Alya membacanya lamat-lamat. “Ah, kita sudah lama tak turun ke bawah.” Tukas Puteda sambil merentangkan lengannya dan menguap.
Katarina terdiam sejenak, setalah desiran ombak membentur karang-karang terjal. Katarina menghembuskan nafasnya, mempertanyakan sebarek kertas. “Setelah mengumpulkan data penduduk, kekayaan flora maupun fauna, lalu data ini akan dikemanakan?” Katarina menyenderkan punggung dan menempelken pena di bibirnya yang bergincu merah.
Sunarto mulai menjawab. Meski demikian, ia seperti ditodong oleh belati yang menghadap ke mukanya. Sedikit terbata-bata, Sunarto membuka mulutnya dan keluar pernyataan dengan serius. “Jumlah penduduk republik terus mengalami penaikan, jumlah ini apabila tidak sebanding dengan ruang pekerjaan, maka akan timbul masalah-masalah sosial. Maka dari itu, kita memetakan daerah pesisirnya agar segalanya dapat dirancang rapi. Eh, tak hanya itu. Pesisir ini bakal dirombak, maksud saya bakal diberdayakan agar memiliki daya saing.”
“Mohon maaf, maksud anda pesisir ini bakal dibikin seperti kota?” Tukas Katarina.
“Iya, kurang lebih seperti itu?”
“Tunggu, apakah segalanya harus tertuju kepada kota?”
“Maka dari itu, kita harus mengadakan riset, agar pembangunan yang berjalan bisa tepat sasaran.” Sunarto melempit kertas dengan terburu-buru.
“Maaf, saya tak dapat berlama-lama. Pukul satu, saya harus bertemu dengan gubernur dan menteri. Oh ya, masa tenggang riset tersirat di halaman belakang.” Ucap Sunarto tanpa salam meninggalkan periset.
“Aku rasa, Sunarto menyembunyikan sesuatu.” Katarina memecah gemuruh gumaman para periset.
“Ah, itu cuma pikiranmu saja kat.” Tukas Alya membolak-balik kertas.
Katarina merasakan sesuatu nan janggal. Kurang lebih dua bulan di koran-koran, Katarina menemukan sebuah diksi di mana memantik hati nuraninya untuk membacanya lebih dalam. “Ekonomi Sebagai Panglima.” Sambil mengusap mukanya, Katarina mengingat sebuah judul majalah mingguan terbesit dalam ingatannya.
***
Alya, Rudi, Katarina, dan Puteda memasuki rumah berjejer memanjang sepanjang pantai. Mereka turun ke lapangan untuk mengumpulkan data. Mereka sengaja tak membawa kertas maupun alat rekam. Dengan berbekal sebotol air mineral dan topi beludru, mereka menyebar bersinggungan dengan para nelayan.
Katarina bersama Rudi berjalan di sepanjang pantai Sigandu. Mereka menyusuri rumah-rumah nelayan. Rumah mereka berdiri dengan sederhana. Meskipun nampak sedikit kumuh, dengan genengan air dan saluran air ledeng yang tak sebaik di pusat kota. Nampak pula, tambang kapal, jaring nelayan, dan sebuah jangkar sengaja tergeletak di halaman rumah. Persis di halaman nampak perempuan-perempuan merajut jaring berukuran besar dengan lentik jari-jemarinya seperti sedang menganyam.
Dari kejauhan, Katarina menilik dengan tatapan sumringah. Seorang pria bertubuh kekar, berkulit sawo matang, sedang sibuk mengikir kayu. Handoko, pria sebaya seperti Katarina. Teman kecil sewaktu Sekolah Menengah. Kini ia berjumpa dengan air muka cukup canggung. Di saat berjabat tangan, nampak kontras warna kulit Katarina dan Handoko. Seperti roti coklat yang dilapisi selai susu.
“Di mana pak Munandar?” Tukas Handoko sambil mempersilahkan duduk.
“Ah, kebetulan pak Munandar sudah pensiun sejak dua bulan lalu.” Ucap Katarina. Handoko sedikit kikuk, kemudian meletakan palu dan alat ukir yang tergenggam di tangan kanan dan kirinya.
“Siapa penggantinya?” Tanya Handoko.
“Sunarto.” Celetuk Rudi dan Katarina beberangan.
“Ah, semoga sikap dan tingkahnya seperti pak Munandar. Lama pula aku tak berjumpa, ternyata pensiun.”
Handoko menawarkan perjamuan sejenak. Di sebuah tempat di mana aroma sisik ikan menyeruak. Handoko menawarkan segelas teh hangat beserta onde-onde, dan telur dadar. Amis diminati para lalat. Beberapa kali lalat mengusik dengan menempelkan diri ke rambut dan makanan yang tertera di piring berkelir lurik hijau. Perbincangan menyeruak, Rudi menyisipkan pertanyaan dengan piawai. Ia mencari data, namun pertanyaan yang disuguhkan begitu halus seperti tak sedang mewawancarai.
“Ikan itu gemuk betul. Berapa kilo tangkapan perhari?” Rudi memasang mencecap segelas teh manis.
“Sehari kami bisa mendapatkan ikan satu ton. Ikan kakap, tiga waja, marlin, sampai tuna. Kami biasanya memilih, jikalau ikan itu dirasa belum cukup umur, kami rela melepasnya.” Ucap Handoko sambil mengunyah.
“Mari!” Handoko menawarkan makanan.
“Apakah kau bekerja hanya sebagai nelayan saja?” Tanya Katarina.
“Jika laut pasang, aku bisanya bekerja di daratan. Menyebar jaring di sela-sela hutan bakau.”
“Kepiting hijau?” Tebak Rudi.
“Betul, kadang kepiting hijau dan ikan gabus. Ikan itu enak untuk santapan.” Handoko menimpali.
“Kebetulan kami sering kali kelabakan dengan urusan jaminan hidup. Kami selalu berhadapan dengan ombak menjulang. Namun kurang perhatian dari pihak terkait.”
“Maksudmu pemerintah?” Tukas Katarina.
“Kurang lebih seperti itu, kami sering kali tertipu oleh janji-janji menjelang pemilu.”
Siang digantikan sore. Kumandang adzan lamat-lamat menyeruak. Kumandang itu menandakan pekerjaan harus lekas selesai. Bocah-bocah digiring orang tuanya untuk mandi. Asap membumbung, suara lidi berderik bergesekan dengan tanah-tanah gersang, seorang lelaki membersihkan dedaunan yang meranggas berjatuhan ke tanah.
Katarina dan Rudi melempar senyum. Mereka lekas ke kantor untuk melaporkan data yang mereka dapatkan. Kilatan cahaya mentari di ufuk timur. merekah cahaya kuning berbalut oranye menghiasi sore nan cerah. Derum mesin kapal menderu. Seorang nelayang berkulit gelap legam, kembali dari berlayar.
Rudi menyenderkan punggungnya di sofa reot yang berada di halaman kantor. Katarina duduk di bawah pohon asem sambil menyaksikan hamparan laut biru. Mereka duduk di depan menanti Puteda dan Alya. Di sela-sela debur ombak memecah karang, gemercik burung kutilang berdecit, dan bunyi lonceng kayu, derap dua pasang sepatu menuju kantor.
Dengan wajah kusam dan kumal, Alya dan Puteda menghembuskan nafas. “Cepat kali?” Tukas Puteda kemudian duduk di samping Rudi. “Kami mempunyai data menarik. “Kelompok pelaut itu menyampaikan bahwa ruang hidupnya riskan terancam.” Celetuk Alya sambil mengipasi mukanya memerah dengan topi.
“Mereka berserikat, mereka mengetahui informasi dari kelompok nelayan di kota sebelah. Tanah-tanah penghidupan mereka, bakal dirampas.” Puteda menimpali.
“Lalu?”
“Riset ini salah satu pembuka untuk melancarkan kuasa.”
“Apa buktinya?” Katarina berdiri dengan penuh penasaran.
Alya mengeluarkan sebuah berkas dari tasnya. Sebuah data yang diambil dari seorang nelayan. “Nelayan itu berserikat, mereka tahu bagaimana harus bersikap.” Tambah Alya.
“Kalau memang itu benar bakal terjadi di pantai Sigandu, maka jangan hanya asumsi.” Rudi masih menyenderkan punggungnya di atas kursi reot itu.
“Kita harus mewanti-wanti, Ilmu harus memihak kepada kaum papa.” Celetuk Katarina.
***
Sore menjelang malam, para periset melingkar di ruang rapat menggelar perbincangan. Sunarto membuka rapat dengan tergesa-gesa. “Sore ini data lekas dikumpulkan. Setelah itu, kita langsung merealisasikan. “Tunggu pak! Merealisasikan apa? Tukas Katarina.
“Besok kita akan mengganti pagar laut konvensional dengan bangunan megah pengucur uang.”
“Apa anda ingin membikin masyarakat pesisi menderita?”
“Ini perintah. Tak usah banyak cing-cong!” Sunarto menggertak memukul meja sampai burung perkutut kaget.
“Pak, seharunya anda tahu, pagar laut itu bakau. Bukan beton.” Para periset membalas tak kalah garang. Ia menggertak memasang wajah marah.
“Ini demi kelangsungan ekonomi kita. Kita bisa menggantinya dengan beton untuk membuat lahan-lahan di pesisir pantai jadi ladang pendapatan.”
“Tidak bisa seperti itu, resikonya adalah bibir pantai yang bakal dilumat oleh laut.”
Sunarto menepuk tangannya memanggil seseorang yang beradai di luar ruangan. “Catat orang-orang ini. Pecat!”
Selanjutnya pesisir pantai utara yang penuh dengan hutan bakau, berubah jadi tempat hiburan, losmen dan bibir laut yang sedikit demi sedikit melumat daratan. Mereka menanggung dusta.