Saturday, March 15, 2025

Cerpen Lomba | M. Ifan Reynaldi Yuza | Pengemis Banal, Laut Sudah Tak Sama

Cerpen M. Ifan Reynaldi Yuza




(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)  |


Mesin kendaraan menggerutu tanpa ampun. Raja siang menutup setengah badan di barat langit. Tersisa sedikit jingga, menyinari debu yang mengambang. Aku bersila di punggung trotoar melepas lelah. Kretek sedang mengepul di tangan, tak kupedulikan lampu merah yang menyala. Sementara, lelaki yang tadi duduk di sebelahku, sibuk bokongnya mondar-mandir, mengetuk kaca mobil, menadahkan tangan penuh gemetar. Kupandang pundaknya, kering, hitam, dan kelam. Tak jauh beda dengan kuduk ikan tenggiri. Bungkuk. Melangkah cepat. Takut dengan klakson, umpatan, juga mungkin ludahan para pengemudi.

Lampu merah beralih hijau. Lelaki itu menepikan diri, bersila tak jauh dariku. “Kau dari mana?” tanyaku.

Ia memberi pandang. Dari garis wajahnya kulihat umur kami tak jauh beda. Mungkin waktu saja yang lebih kejam padanya; kulit legam, mata kopong, dan rambutnya mengembang liar serupa akar gantung yang tak terurus.

Ia mengangkat bahu, “terserah dari mana saja, semua tempat sama,” jawabnya. “tidak semua tempat sama,” sanggahku.

Laut misalnya, laut selalu berbeda, laut sudah tak sama.

....

Aku lahir dan besar di pesisir—dari belajar ayat membasuh kencing, hingga lihai mengikat plastik tuak. Kehidupan di sana bergulir serupa laut; kadang tenang, kadang pula menghantam tanpa kasihan. Subuh berkumandang dengan kokok ayam bersama suara kapal pompong yang meraung dari kejauhan, tanda siap mengantarkan bokong para nelayan menduduki perut samudra. Entah akan pulang dengan jaring penuh ikan, atau kerutan dahi bersama perut lapar dan kekecewaan. Anak-anak berlarian penuh tawa dengan telanjang dada di bibir pantai. Tawa-tawa itu bersama keyakinan bahwa nanti mereka juga akan dapat menantang ganasnya ombak, ataupun menambal jaring yang sudah koyak. Kami dihidupi oleh laut, dan sepatutnya ketika nanti mati, kembali dikubur di bawah bayangannya.

Namun semua balas budi tak dapat tertunai. Mimpi disiram kenyataan ketika pagar- pagar laknat itu mulai ditancapkan. Kuingat awal mula truk-truk tak bertuan masuk mengganggu desa, membawa puluhan balok kayu, dan buruh-buruh yang bertengger seperti burung kacer di atas baknya. Menancapkan balok ke sela-sela terumbu karang ketika air telah surut. Kerja mereka sungguh cepat. Kejap mata, kayu-kayu sudah tersusun serupa barikade.

Aku dan teman-teman yang umurnya belum matang tentu merasa heran, maka kami tanyakan kepada mereka yang telah beruban.
 
“Kayu-kayu itu buat apa? Apa yang mau mereka buat?”

Tapi para tetua ini hanya menggeleng, tak ada jawaban, tak seorang pun paham. Tanpa sehelai tanya dan sepatah kata, pagar itu kian hari menjalar panjang. Bersama dengan keheranan kami yang tak kunjung mendapat jawab. Hingga lah suatu hari si brengsek itu datang. Mengenakan kacamata dan mantel hitam, rambut mengkilat licin serupa uang sogokan. “Kalian akan dipindahkan,” ujar muncungnya seolah tanpa dosa, “pemerintah sedang menyiapkan tempat tinggal untuk kalian di tengah kota, agar hidup sejahtera.”

Mendengar hal itu, tak ada yang ingin kulakukan selain menggorok batang lehernya. Aku menolak, kami menolak.

...

“Kota lebih baik, di kota orang bisa hidup,” ujar si manusia compang-camping yang kini duduk di tepian jalan bersamaku. Membolak-balikkan receh di tangan, menghitung dengan matanya yang keropos. “Makin banyak orang hidup di kota makin banyak rezeki.”

Ucapannya membuatku mendengus, “hidup macam apa yang kau maksud?”

Ia tak menjawab. Pun aku juga tak mendesak untuk ia membuka congor busuknya. Lampu merah menyala lagi, lelaki itu balik berdiri, menengadahkan tangan ke para pengemudi. Kota, katanya. Lebih baik. Menghitung receh saja dia susah setengah mati, kok lancang sekali pengemis banal ini mengartikan tentang mana baik dan buruk kehidupan? Aku ingat, malam itu, di bawah remang warung kopi dekat dermaga. Gosip menyebar sekencang lipatan ombak.

...

“Kita akan dipindahkan, sama seperti kampung sebelah. Nanti jika semua kayu-kayu itu selesai ditancapkan, akan ada perintah pemindahan, dan lalu penggusuran.”

“Apapun yang terjadi, kita jangan mau disuruh angkat kaki dari tanah ini!”

Sejuk angin pesisir yang menua bersama malam tak dapat mendinginkan kesesakan hati para warga. Percakapan bergejolak hebat, hingga seseorang tiba. Ia berlari dari arah rumah Kepala Desa. Napasnya tersedak-sedak serupa mesin dompeng. Wajahnya memerah seperti habis dikejar anjing rabies. “Pak Kades memanggil semua warga untuk ke rumahnya!”

Oh si Kades berbadan buntal itu, yang seusai dipilih tak pernah lagi menampakkan batang hidungnya. Tentu saja dia sudah tahu lebih dulu mengenai semua ini.

Tanpa pikir bertukar pandang, kami sepakat untuk melabuhkan badan ke rumah Pak Kades. Rumahnya begitu terang, lebih terang daripada nasib kami tentu saja. Ia berdiri di depan pintu sesaat kami datang, lengannya melipat di payudara, wajahnya nampak tegang seperti bayi nahan berak. “Begini saudara-saudara, kita harus realistis,” ucapnya dengan suara yang serak, kemungkinan memang sedang nahan berak, “di kota kita bisa hidup lebih layak, mau apa saja ada. Gak perlu lagi berkendara jauh-jauh untuk belanja. Sekolah untuk anak tinggal pilih. Pemerintah sudah menyiapkan tempat tinggal untuk kita, supaya kita hidup sejahtera.”

Ia berkhotbah dengan keyakinan yang kukenal sangat baik, keyakinan seseorang yang sudah menerima bagian jatahnya.

“Kami tak akan pergi dari sini!” teriakan menggema dari balik gelap.

“Kami bukan tikus yang perlu diungsikan ke tempat bersih!” teriakan lain menyambut. “Laut adalah kehidupan! Laut adalah nenek moyang!”

Pak Kades mengangkat kedua tangan, serupa kecoak buntal yang terlentang. Berusaha menenangkan warga, menarik napas panjang. “Jangan keras kepala, laut sudah tak bisa diandalkan. Ikan makin susah dicari. Ini demi masa depan!” Lalu—prank!—gelas kaca terbang ke dinding rumah, Kades tak melanjutkan perkataan, suara pecahan menjadi isyarat kemuakan. Warga sepakat pulang, sebagian membawa marah, sebagiannya lagi digandrung resah.

Namun, malam itu belum berakhir.

Di sudut pantai berkeliling perahu, aku bersama pemuda lain dan para nelayan tua duduk melingkar, bergelap rindang disinari bulan. “Kita tidak bisa diam,” ucap salah seorang nelayan, “kalau ini dibiarkan, kalau kita tidak bergerak melawan, sama saja dengan hewan tak berakal yang diam menunggu giliran dihancurkan.” Semuanya mengangguk paham.

Kami mulai dengan memasang baliho di sepanjang jalan yang bertuliskan ‘Kami tak akan pindah, biarkan saja miskin asal mati di tanah sendiri!’ Tumpukan kayu mereka yang belum ditancap kami patahkan. Fajar esok; penentuan takdir kami dan keadaan.

Subuh selesai berkumandang. Aku dikagetkan oleh bunyi sirene yang menganum. “Pengumuman warga desa sekalian! Telah kami himbau kalian untuk pindah, namun kalian memberontak seakan kami menjajah! Apa maksud tulisan-tulisan yang terpasang di sepanjang jalan ini? Pokoknya, hari ini, seluruh desa harus segera dikosongkan!”

Pengumuman menggelegak dikobarkan dari pengeras suara.

Udara di pesisir laut pagi ini lebih panas dari biasanya. Langit tak biru. Ia abu-abu pucat. Seolah matahari enggan menyorotkan cahayanya ke tanah desa yang sesaat lagi akan menjadi ladang kubur. Deruan puluhan mesin kendaraan menerobos masuk, bukan lagi mengangkut kayu-kayu untuk ditancap, melainkan dipenuhi oleh orang-orang berseragam, dengan lambang negara di dada, dan pentungan di tangan. Berbaris. Wajah-wajah mereka datar seakan tak peduli siapa yang ada di hadapan. Semuanya harus terlaksana sesuai perintah. Desa ini harus segera dikosongkan. Bahkan jika berarti menghapus keberadaan kami di bumi ini.

“Kami tak akan pergi!” teriak seorang nelayan tua dengan penuh tekad. Ia berdiri tegak di depan rumahnya, tangan gemetar terkatup erat di sisi tubuhnya, seolah dunia akan berakhir
 
jika ia melepas cengkeramannya. Teriakan itu menggema ke seluruh desa, meski tak bertahan lama. Terhenti ketika seseorang memberi komando, dan lalu, semuanya pecah.

Jeritan ibu, bentakan ayah, tangisan anak, hingga suara kaca yang melebur, serentak mengiris gendang telinga. Pelanta teras yang dulu tempat kami berteduh, kini digetarkan oleh hentakan-hentakan kaki mereka, hentakan kaki yang tak mengenal rasa iba. Pemukulan, penarikan paksa, semua terjadi tanpa tanya. Meski tak dapat kulihat jelas, di jauh pandang sana, seorang anak sedang menangis di pelukan ibunya. Seorang pemuda spontan melempar batu namun tak ada arti di hadapan perisai baja. Seorang lelaki tua hilang harapan, menyeret jaring ke laut. Seakan jika ia bisa melemparnya sekali lagi, segala yang telah hancur ini akan kembali menjadi utuh. Namun tidak. Kami kalah. Dari awal, kami sudah kalah.

Rumah-rumah panggung dibongkar, perahu-perahu dibakar. Bau asap bercampur aroma garam mengiris hidung. Satu per satu warga desa ditarik ke dalam bak truk yang kosong. “Truk pemindahan,” ucapnya. Tapi dari apa yang kami rasakan, ini bukanlah pemindahan. Ini pemakaman yang ditunda. Bahwa kami akan mati perlahan di kota. Serupa kerapu yang dilempar ke darat, lalu dihimpit oleh aspal dan beton. “Biar sejahtera,” kata mereka.

...

Kini. Di kota ini, awan tak pernah benar-benar mendung, hujan tak pernah benar-benar ikhlas menjadi rintik. Tapi, bagiku. Kota ini tak henti ditutupi gelap, dan selalu diguyur guntur. Berkata bahwa kami akan sejahtera, bahwa kami akan mendapati hidup yang lebih layak. Sudahlah. Bagaimana bisa hidup di tempat yang tidak memberi ruang untuk bernafas? Rusun milik pemerintah itu? Kamar-kamarnya berjejer seperti kandang burung. Tak ada angin, dan buruknya lagi, tak ada laut. Satu per satu dari kami perlahan tumbang. Ada yang sakit, tapi tak punya uang untuk berobat. Ada yang hilang, lenyap entah ke mana. Ada yang pergi, dengan cara tak bisa kembali. Semuanya itu terjadi karena di tengah kota ini, kami sudah bukan lah lagi nelayan. Kami hanya angka—sisa-sisa nyawa yang dipindahkan tanpa tujuan.

Seperti aku sekarang, yang menyandarkan hidup di bahu jalan, menjual koran. Tak ada laut yang bisa kutangkap. Puntung kretek habis kuinjak. Si pengemis banal masih menghitung recehan berulang-ulang. Magrib telah usai berkumandang, angin berhembus lesu, lampu merah ikut menyala. Bokongku telah cukup istirahat. Waktunya balik menawarkan dagang, menyodorkan koran ke pengguna jalan. Edisi cetak hari ini, berita utama halaman depan;

‘Orang-Orang Rimba Dipindahkan ke Kota Demi Kesejahteraan’