Ini bangsa ketiga, perasaan-perasaan besar yang tak mudah ditumbuhkan di segala tempat. Angin membikin selimut gaib ketika dunia luar sedang tumbuh jadi kekuatan ekonomi paling maju di dunia. Ini bangsa ketiga, katamu ringan. Orang-orang mempersoalkan ketidakpentingan hari yang tumbuh macam kecambah dan besar jadi pohon kesepian yang menghantui setiap manusia. Ini bangsa ketiga, bangsa yang penuh duka lara.
Kau sampaikan dongeng pendek itu ketika anak kita di kamar sebelah sedang meringis sebab kelaparan. Merengek berjam-jam dengan mata paling malang. Kau sampaikan itu di depanku, lewat udara bergaram yang menampar-nampar wajah sehingga aku merasa menjadi lelaki paling tidak bertanggung jawab di dunia.
Kau sampaikan itu, sebab di matamu, beriring dengan matinya listrik kita, aku yang bersusah payah dengan hidup ini, merasa telah kalah dan menyerah.
Kau tak mengerti, katamu. Kita tumbuh jadi manusia yang dilimpahi perasaan lega sebab sumber daya alam melimpah. Tetapi kemiskinan seperti melekat pada bayang-bayang yang terus melahap, menjalar, dan menyebar.
“Apakah kita diciptakan sejauh ini untuk mengaku kalah?” pungkasmu, akhirnya.
Sungguh, aku bimbang untuk menjawab. Maka perlahan aku bangkit menuju jendela depan, membuka separuh dan merasai betapa angin yang dikirim laut benar menusuk. Ini malam hari ke sembilan belas, dan aku merasa terus was-was.
Siang tadi kawan-kawanku yang tergabung di Aliansi Nelayan Menggugat (ANM) berjumpa di balai desa. Hampir keseluruhan dari mereka mengeluh dan merasai keputusasaan terus menggedor-gedor jiwanya. Betapa menyedihkan kami, seperti pengetahuan tentang maut yang akan tiba beberapa minggu lagi. Seperti vonis dokter tentang penyakit stadium empat yang hanya dapat diselamatkan oleh keajaiban. Meski keajaiban tak pernah menghampiri hidup kami. Keajaiban hanya menghampiri orang-orang kaya dan sedikit orang beriman.
Tetapi kami merasa jauh dari kedua itu.
“Apa kau tak memiliki cara untuk keluar dari persoalan ini?” ujarmu sekali lagi.
“Belum.”
Beberapa saat kau menghela nafas, sedikit terbatuk, seolah menghayati kehampaan yang mengerubungi kita dengan rahang mengeras. “Apakah kau berpikir tentang pemerintah?” setelah kau cukup tenang.
“Siapa lagi?”
Kau memalingkan wajah. Menerawang jauh. Di luar, ombak lepas menghantam tanjung. Seperti perasaan kesal semakin memuncak. Kau tak pernah percaya pemerintah. Terutama ketika kau yang seorang guru honorer dan mengabdi hampir dua puluh tahun selalu dijanjikan untuk diangkat PNS. Hampir tiap tahun kau mencoba mendaftar, melengkapi persyaratan, dan berdoa pada tuhan. Sialnya, hingga sekarang, kau tak pernah benar-benar diperhatikan. Dan lebih sialnya, kau bersuami seorang nelayan. Setidaknya di tempat ini.
Kita menghela nafas bersamaan.
***
Peperangan datang bersama dengan janji sejahtera, korupsi, upah minimum, dan perusahaan-perusahaan yang membenci rakyat. Kami bertikai. Perasaan marah dan tak setia pada negara bercampur dengan ketakutkehilangan pada aset yang berjuta-juta. Perasaan aneh yang hanya dimiliki manusia-manusia kelas atas. Perasaan mudah takjub dan iri pada dunia. Dan kami, di posisi pinggir juga bersebelahan, meraung-raung terkena dampaknya.
Kendati semua itu akan juga berlalu, seperti perasaan lega bahwa kami masih hidup di tanah tercinta ini, rasa perih masih tetap kami tanggung sendiri. Seperti gerimis manis di suatu senja yang terus menggodamu untuk menangis. Senja kemerah-merahan. Senja yang berlabuh di tepi pantai dan mengajak kami nostalgia dengan apapun dari bekas moyang.
Jukung tua, bendera setengah tiang, kail pipih, dan sepasang jala yang memberi pengetahuan baru tentang hidup yang melayang seperti barisan ikan terbang.
Kau meracau. Untuk kesekian kali.
Memang, kita hidup di pinggiran pantai yang menolak siapapun pergi kecuali telah gagal menjadi manusia. Memang, aku mulai menerima dan bersiap untuk perkiraan terburuk. Dan lagi-lagi memang, kami lahir dalam keadaan miskin jadi tidak terlalu terkejut dengan apapun nasib buruk yang menimpa. Tetapi hey, kami memiliki anak. Ia masih kecil untuk mengerti betapa berengsek negeri ini, bangsa dunia ketiga, di mana kesejahteraan hanya dongeng panjang sekaligus imajinasi yang terus dipoles para seniman,
Anakku bernama Asti. Fransiska Asti Kusumadewi. Ia sejak usia tujuh tahun, bercita-cita menjadi hamba yang saleh. Saban minggu, ketika kami pergi ke Gereja untuk ibadah, bulir matanya membulat. Berkaca-kaca. Ia sangat menyukai Koor yang diserukan. Betapa taat ia menyebut-nyebut bunda Maria.
Selepas kami pulang dari gereja, ia pasti berujar ingin mengabdi pada gereja. Dan aku, sebagai ayah yang baik, memberi saran padanya untuk menjadi suster. Dan sungguh benar ia akan sangat riang.
“Aku akan semakin dekat dengan tuhan, yah.” Ujarnya, pelan.
“Pasti. Jadilah orang baik-baik.”
Sembari memainkan poni, ia berucap. “Kita akan baik-baik saja kan?” matanya yang bening menatapku lekat-lekat. Seperti mencari ketenangan ganjil dan harapan penuh akan masa depan.
“Tentu, nak. Tentu.”
Tetapi ia tidak begitu saja menerima. Ia sungguh tahu bahwa aku, ayah yang keparat ini, sudah berhenti melaut sejak dua minggu lalu. Yang berarti tak memiliki pekerjaan atau setidaknya persediaan ikan-ikan. “Ayah?”
Aku tak segera menjawab. Kesepian menyerbu perjalanan kami menuju rumah. Aku mulai tak mengerti bagaimana lagi cara bertahan hidup. Dua malaikatku mencecar puluhan pertanyaan yang mengarah kepada kekhawatiran: “Seperti apa hidup kedepan.”
Kami adalah segelintir orang yang beragama kristen di pesisir ini. Agaknya, sebab itu pula hidup kami yang serba pas-pasan semakin menyedihkan. Warga lain mulai berkelompok. Berkloni seperti semut rang-rang bahu membahu mempertahankan hidup. Sedang kami semakin bimbang akan bersandar kepada siapa.
Tiba-tiba suaramu menelusup lagi, “apakah kau berpikir tentang pemerintah?”
Aku jawab sekali lagi, tentu aku berpikir tentang pemerintah. Kita meski bukan warga mayoritas, juga lahir di tanah ini. Mencintai bangsa ini sampai sumsum tulang. Kita adalah warga baik-baik. Tak pernah sekali pun mencela atau merugikan ‘mereka’. Dan sejatinya, hidup kita juga tanggung jawab mereka. “Apa salahnya berpikir tentang hak dan kewajiban pemerintah pada kita?”
Sialnya, ini bangsa ketiga. Di mana perasaan-perasaan besar yang tak mudah ditumbuhkan di segala tempat. Perasaan iba hanya tumbuh di masyarakat kelas menengah. Bukan mereka yang jelas-jelas berada di puncak.
Ini bangsa ketiga. Bangsa yang penuh sandiwara.
***
Itu sore penuh duka cita. Aku dan Asti sampai di halaman rumah dengan perasaan was-was yang entah dari mana menyergap. Rumah kita menghadap laut. Betapa dulu, ketika sore tiba, kita akan bermesraan sembari bercanda akan mendirikan perusahaan besar yang tak akan pernah mem-PHK setiap karyawan. Apapun yang terjadi.
Asti, anak kita, tiba-tiba menjerit. Keras sekali.
Aku yang termenung memandang laut cepat-cepat berhambur ke dalam rumah. Malang sungguh malang. Kau telah tergantung dengan nyawa melayang. Rahangmu membiru dan matamu membelalak. Seketika tubuhku lunglai. Kau bunuh diri dengan keputusasaan yang memuncak. Kau tak setia rupanya. Kau tinggalkan kami lekas-lekas.
“Ayah, lihat Ibu yah. Lihat Ibu…” jerit anak kita.
Mataku memejam. Air mata mengalir deras dan bergumam pendek, “Apakah di bangsa ketiga ada perasaan Bahagia?”
Yogyakarta, 2025