Monday, March 3, 2025

Cerpen Lomba | Mahir Sabiq Margoretno | Pagar Laut

Cerpen Mahir Sabiq Margoretno



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


Suasana kantin sore itu begitu ramai. Aroma kopi bercampur gorengan memenuhi udara, sementara di sudut ruangan, empat orang pemuda tengah asyik berdiskusi. Mereka adalah Herman, Taufik, Rina, dan Ardi, sekelompok mahasiswa jurusan Ilmu Kelautan yang selalu tertarik membahas isu-isu lingkungan.


"Kalian sudah dengar soal pagar laut?" tanya Herman sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi.


"Maksudnya yang katanya bakal dibangun di beberapa pesisir untuk melindungi dari abrasi?" sahut Rina, menyesap teh manisnya.


"Iya. Tapi ada yang bilang proyek ini justru merusak ekosistem laut. Aku baca berita tadi pagi, katanya pagar laut ini malah menghambat pergerakan biota laut dan merusak terumbu karang," jelas Herman dengan nada serius.


Taufik menggelengkan kepala. "Aku juga baca beberapa sumber. Ada yang bilang ini solusi terbaik untuk menahan gelombang tinggi dan mengurangi dampak perubahan iklim. Tapi kalau benar seperti yang Herman bilang, bukankah itu malah menambah masalah baru?"


"Kita nggak bisa asal percaya berita. Banyak informasi simpang siur. Mungkin kita harus mencari tahu lebih dalam sebelum menyimpulkan sesuatu," ujar Ardi, yang sejak tadi lebih banyak diam.


Herman mengangguk setuju. "Gimana kalau kita melakukan penelitian kecil-kecilan? Kita bisa cari data dari nelayan atau warga sekitar."


Rina bersemangat. "Bagus! Kita bisa turun langsung ke lapangan, wawancara ahli, dan cari tahu dampaknya. Kalau proyek ini benar-benar berbahaya, kita bisa buat laporan dan sebarkan ke masyarakat."


Tanpa membuang waktu, mereka mulai menyusun rencana. Keesokan harinya, mereka berangkat ke salah satu desa pesisir yang terdampak proyek pagar laut.


Perjalanan mereka memakan waktu sekitar dua jam. Desa Pantai Biru menyambut mereka dengan deru ombak dan aroma garam yang khas. Herman menarik napas dalam, merasa ada sesuatu yang menyesakkan dadanya.


"Kenapa aku merasa gelisah?" gumamnya pelan.


"Kamu baik-baik saja, Herman?" Rina menatapnya dengan cemas.

 

"Aku hanya merasa ini lebih besar dari yang kita duga. Bagaimana jika kita tidak bisa berbuat apa-apa?" Herman menatap lautan yang terbentang di hadapannya. Ombak bergulung perlahan seolah menyembunyikan sesuatu yang tak kasatmata.


"Kita sudah sejauh ini. Yang penting kita mencari kebenaran, bukan hanya mendengar sepihak," kata Ardi menepuk pundak Herman.


Mereka langsung menuju rumah Pak Surya, seorang nelayan senior yang dikenal sebagai sosok yang bijak.


"Silakan masuk, anak-anak," ujar Pak Surya ramah. "Apa yang bisa saya bantu?"


Herman membuka pembicaraan. "Kami ingin tahu tentang proyek pagar laut ini, Pak. Banyak berita beredar, tapi kami ingin mendengar langsung dari warga di sini."


Pak Surya menghela napas, wajahnya tampak lelah. "Pagar laut memang sedang dibangun di sekitar sini. Katanya untuk menahan abrasi dan melindungi pemukiman. Tapi jujur saja, sejak pemasangannya, tangkapan ikan kami berkurang. Beberapa nelayan bahkan mengeluh karena sulit mencari ikan yang biasa berada di perairan dekat pantai."


Rina mencatat di bukunya. "Jadi pagar laut ini mengganggu habitat ikan?"


"Benar. Arus laut berubah, dan banyak ikan yang bermigrasi ke tempat lain. Beberapa terumbu karang juga rusak karena alat berat saat pemasangan," jelas Pak Surya.


Herman mengepalkan tangannya. Ia bisa merasakan kesedihan dalam suara Pak Surya. Ini bukan hanya masalah lingkungan, tapi juga kehidupan banyak orang.


Taufik bertanya, "Apakah tidak ada sosialisasi sebelum proyek ini dijalankan?"


Pak Surya tertawa kecil, tapi nada suaranya getir. "Ada, tapi hanya sekadar formalitas. Kami dijanjikan berbagai manfaat, tapi tidak dijelaskan dampak buruknya secara menyeluruh. Sekarang, banyak warga mulai merasa dirugikan."


Mereka berpamitan setelah mendapat banyak informasi berharga. Selanjutnya, mereka berencana menemui seorang ahli kelautan di kota untuk meminta pendapat ilmiahnya.


Dr. Rendra, seorang dosen dan peneliti kelautan, menerima mereka di kantornya. Ia menyambut mereka dengan senyum ramah.


"Jadi kalian ingin tahu lebih lanjut tentang dampak pagar laut ini?" tanyanya setelah mendengar penjelasan mereka.


Herman mengangguk. "Kami ingin tahu apakah pagar laut ini benar-benar solusi atau justru menimbulkan masalah baru."


Dr. Rendra menarik napas dalam sebelum menjawab. "Konsep pagar laut sebenarnya baik jika  dirancang  dengan  benar.  Namun,  di  Indonesia,  banyak  proyek  yang  kurang mempertimbangkan aspek ekologis. Jika tidak dilakukan dengan perencanaan matang, pagar laut bisa merusak ekosistem."


"Jadi, solusi yang lebih baik seharusnya seperti apa, Dok?" tanya Ardi.


"Ada metode lain yang lebih ramah lingkungan, seperti penanaman mangrove atau pembangunan terumbu karang buatan. Kedua cara ini lebih alami dan tidak mengganggu keseimbangan ekosistem," jawab Dr. Rendra.


Saat mereka meninggalkan kantor Dr. Rendra, Herman merasa pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab. Ia melirik Rina yang masih mencatat sesuatu di buku kecilnya, sementara Taufik dan Ardi berjalan di belakang mereka dengan ekspresi serius.


"Aku rasa kita perlu mendekati warga lebih banyak lagi. Kita butuh suara mereka," kata Herman tiba-tiba.


Rina mengangkat wajahnya. "Kamu benar. Kalau kita hanya mengandalkan data dari beberapa orang, itu tidak cukup kuat untuk menekan pemerintah. Kita harus membuat ini menjadi perhatian publik yang lebih besar."


Ardi menambahkan, "Tapi bagaimana caranya? Warga mungkin sudah lelah dengan janji-janji kosong. Kita harus memastikan mereka percaya bahwa ada harapan."


Mereka pun memutuskan untuk menginap di desa Pantai Biru selama beberapa hari lagi, berinteraksi lebih dekat dengan nelayan, pedagang, dan keluarga-keluarga yang terdampak. Herman mulai menyadari betapa kompleksnya masalah ini. Setiap orang punya sudut pandang sendiri, ada yang pasrah, ada yang marah, ada juga yang tidak peduli.


Suatu malam, Herman duduk di dermaga bersama Pak Surya. Pria tua itu menatap laut yang bergelombang pelan, matanya redup.


"Dulu, aku bisa menangkap ikan cukup untuk makan dan menyekolahkan anakku. Sekarang, kami harus pergi lebih jauh, menghabiskan lebih banyak bahan bakar. Tapi laut ini... kami tidak bisa meninggalkannya. Laut adalah rumah kami," ujar Pak Surya pelan.


Herman merasakan kepedihan dalam suara nelayan itu. "Kami akan mencoba membantu, Pak. Kami mungkin hanya mahasiswa, tapi kami percaya jika banyak orang bersuara, perubahan bisa terjadi."


Pak Surya tersenyum tipis. "Aku harap kalian benar.”


Mereka menyadari bahwa masalah ini lebih kompleks dari yang mereka duga. Herman merasakan ketegangan di dadanya berkurang, tapi keprihatinannya masih tetap ada.


Setelah berhari-hari mengolah data, menyusun tulisan, dan membuat infografis, mereka akhirnya siap untuk mempublikasikan temuan mereka. Mereka mengunggah hasil penelitian di media sosial, mengirimkan laporan ke surat kabar lokal, dan bahkan mengajukan audiensi dengan pemerintah daerah.


Masyarakat semakin sadar akan risiko pagar laut, dan desakan untuk mengkaji ulang proyek ini semakin besar. Pemerintah pun akhirnya menanggapi dan berjanji akan mengevaluasi kembali proyek yang sedang berjalan.


Beberapa bulan kemudian, pemerintah daerah mengadakan pertemuan dengan berbagai pihak terkait, termasuk nelayan, akademisi, dan aktivis lingkungan. Herman dan timnya diundang untuk mempresentasikan temuan mereka. Dengan penuh percaya diri, mereka menjelaskan bagaimana pagar laut telah mengubah ekosistem, menyebabkan penurunan hasil tangkapan ikan, serta merusak habitat biota laut.


Herman menatap langsung ke arah para pejabat yang hadir. "Solusi yang lebih baik bukanlah pagar laut, melainkan metode alami seperti penanaman mangrove dan pembangunan terumbu karang buatan. Kami meminta pemerintah untuk mendengarkan suara nelayan yang terdampak."


Para pejabat tampak berpikir keras. Akhirnya, seorang perwakilan dari pemerintah daerah berbicara. "Kami berjanji akan mengevaluasi ulang proyek ini dan mempertimbangkan rekomendasi yang kalian ajukan. Kami juga akan mengundang lebih banyak ahli lingkungan untuk berdiskusi."


Herman menatap laut dengan perasaan campur aduk. Ia merasa lega, tapi juga sadar bahwa ini baru permulaan. "Kita akan terus bergerak. Demi laut, demi masa depan," gumamnya.


Rina tersenyum. "Dan kita tidak sendirian. Ada banyak orang yang peduli seperti kita."


Mereka pun tersenyum. Perjuangan mereka belum selesai, tapi mereka telah membuat perubahan nyata.


Herman berdiri di tepi pantai, angin malam meniup rambutnya. Ia tersenyum kecil, menyadari bahwa perjuangan mereka tidak sia-sia. Namun, ini bukan akhir.


"Perjuangan kita belum selesai," katanya pada Rina, yang berdiri di sampingnya. Rina mengangguk. "Belum. Tapi ini awal yang baik.”