Cerpen Manusia Tepi Sungai
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Di zaman setelah manusia belajar memakai api dan membuat senjata, mereka mulai berpikir untuk menyelami lautan. Keinginan ini muncul ketika bahan pangan di daratan mulai menipis, dan berita tentang harta tersembunyi di sebuah tempat bernama Segara menyebar.
Di tepi pantai, sebuah pertemuan di gelar. Dua entitas manusia yang berbeda—Suku Ignis dan Aquari—berdiri berhadapan. Aswin, pemimpin suku Aquari, memiliki mata biru yang bersinar. Sementara itu Ignis di pimpin oleh Mayavin yang selalu memakai mantel bulu beruang.
“Katakan Ignis, apa yang kalian inginkan?” cetus Aswin.
Mayavin maju beberapa langkah, “Sebuah kerja sama,” jawabnya.
“Untuk apa? Kita berbeda dalam segala aspek,” kata Aswin.
“Untuk kemakmuran yang berlimpah,” jawab Mayavin.
Mendengar itu Aswin tersenyum kecil. “Berlimpah? Tanpa kerja sama dengan kalian pun alam sudah menyediakannya.”
Untuk kali pertama dalam hidup suku Ignis, mereka bisa menyaksikan langsung manusia lain dengan bibir dan mata biru. Konon, manusia Aquari memiliki kemampuan spiritual cukup tinggi yang membuat mereka bisa hidup di dua alam. Mereka juga terkenal akan lidah pahitnya—perkataan mujarab yang dapat menyebabkan lawan mereka merasa takut dan tidak berdaya. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa perkataan suku Aquari dapat menjadi kutukan yang memusnahkan lawan mereka.
Penolakan itu membuat amarah Mayavin bergejolak, akan tetapi dia meredamnya karena sadar dia tidak bisa melawan kekuatan orang Aquari.
“Kami memiliki semua jenis kain yang tidak kalian dapatkan di bawah air. Kami juga memiliki beberapa senjata yang memudahkan kehidupan sehari-hari. Dengan spiritual kalian dan Segara sebagai sumber harta, kita akan bisa mencapai kemakmuran yang berlimpah.”
“Untuk siapa tepatnya?” tanya Aswin.
“Bangsa kita. Kami sudah siapkan taktik dan pasukan terbaik. Kalian hanya perlu memberi kami mutiara, koral perak dan spirit kalian untuk menaklukkan daratan seberang.”
“Kita? Aquari tidak memiliki bangsa. Lupakan tawaran kalian. Kami tidak membutuhkannya,” ujar Aswin sebelum berjalan pergi bersama sukunya kembali ke dalam lautan.
Sepeninggal mereka, seorang remaja perempuan dengan burung gagak di pundak menghampiri Mayavin. Namanya Nivay, putri sulung Mayavin yang sebelumnya mengusulkan untuk gencatan senjata dengan suku Aquari.
“Mau mendengarkan rencanaku lagi, Tuan Ayah?” tanya Nivay.
“Rencana apa lagi? Negosiasi yang kamu usulkan saja gagal total,” tutur Mayavin sembari berjalan pergi.
Nivay segera menjajari langkah sang Ayah, lalu dia berkata, “Lusa nanti, ketika bulan baru muncul, dewa gelombang akan datang. Itu artinya Aquari akan sibuk bermigrasi ke arah hutan bakau, Yah. Kita kirimkan beberapa hadiah untuk mereka.”
“Hadiah?” tanya Mayavin.
“Ya, sebuah pagar. Pertama kita tawarkan bantuan untuk membangun pagar laut yang bisa melindungi mereka ketika musim migrasi.”
“Lalu apa?” tanya Mayavin.
“Sebelum itu kita oleskan sari akar tuba di setiap potongan kayu yang kita kirim.”
Konon suku Aquari memiliki kelemahan genetik yang membuat mereka rentan terhadap racun sari akar tuba—racun yang biasa Ignis gunakan untuk menangkap ikan.
Mayavin terkesan dengan rencana Nivay. “Bagus sekali, putriku.”
Mendengar pujian tersebut membuat Nivay tersenyum puas.
***
Bulan baru yang dinanti telah tiba. Surat yang berisi tawaran bantuan dari Mayavin kembali dengan balasan penolakan. Dalam surat balasan itu Aswin mengatakan pagar itu hanya akan merusak kehidupan di bawah laut, itu sama saja menghianati adat dari dewa gelombang.
“Sialan! Mereka hanya sekawanan ikan hina! Jalankan rencana!”
Malam itu, di pesisir pantai, ratusan pasukan bersenjata suku Ignis berbaris. Di hadapan mereka terdapat sampan-sampan berisi potongan kayu seukuran pasak rumah yang sebelumnya telah diberi racun. Tidak hanya itu, mereka juga membawa tong kayu yang penuh cairan sari akar tuba.
Begitu Mayavin memberikan aba-aba, pasukan itu bergerak menuju tengah laut. Memasang pagar dan menuangkan isi tong kayu. Sementara sisanya bersiap di atas kapal besar dengan panah api.
Angin malam berdesir diikuti sekawanan makhluk yang melesat cepat dari bawah air membalikkan sampan-sampan di barisan depan. Melihat itu panah-panah dilepaskan, obor-obor yang semula mati mulai dinyalakan kembali.
“Segara ini milik semua makhluk!” seru Aswin yang muncul dari bawah air dengan mata birunya yang mengeluarkan darah.
Kemunculannya diikuti kawanan lainnya yang mulai menunjukkan reaksi akibat racun tuba—muntah darah dan bintik merah menjalari tubuh mereka yang basah. Suara erangan mereka bergemuruh ke segala penjuru laut.
Seruan itu ditanggapi kekehan dari Mayavin yang berdiri di dek kapal besar. Kemudian Mayavin menginstruksikan untuk melempar jaring ke arah Aswin. Begitu mereka terjaring, panah-panah api dilepaskan.
Dalam hitungan detik makhluk air berdarah biru itu jatuh bergelimpangan di permukaan. Di tengah kekacauan itu, sebuah pagar laut yang menjulang tinggi mulai terbentuk, mengurung sesuatu di dalamnya.
Potongan kayu menjulang itu tertancap rapi memanjang mengitari pantai. Ketika angin berembus, pagar itu bergetar, seperti sedang berbicara dengan sesuatu yang tidak terlihat.
Orang-orang di sekitar sana mulai berbicara tentang pagar itu, tentang bagaimana ia dibangun oleh tangan-tangan licik yang haus akan kekuasaan. Pagar itu seolah menjadi saksi bagi ratusan tubuh penuh luka yang terombang-ambing di atas air laut.
Sementara itu di atas pagar, puluhan manusia dengan obor di tangan bersorak atas kemenangan yang baru saja mereka peroleh. Mereka seolah tidak peduli lagi dengan ucapan terakhir Aswin sebelum mati terkena panah api.
“Kutukan ini akan menjadi kenyataan, Mayavin,” kata Aswin dengan suara yang lemah. “Suku Ignis akan mati di tangan mereka sendiri. Kekuasaan dan ambisi kalian akan menjadi racun yang memusnahkan kalian.”