Thursday, March 13, 2025

Cerpen Lomba | Maria Puspasari Dewanti | Jeritan Nelayan Pantai Baru

Cerpen Maria Puspasari Dewanti



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)  


Dari jarak lima meter menuju pintu depan utama, aku melihat ayahku melangkah keluar, melewati batas pintu pemisah antara ruang tamu dan teras rumah kami. Aku masih ingat betul tentang pakaian lusuh yang dipakainya saat itu dan sebuah banner berukuran 3x5 meter tergulung ditangannya. Meski berusaha menghentikannya, tapi langkahnya terlalu cepat untuk ku ikuti.


“Tunggu! Mau kemana Yah?” Teriakku dari dalam rumah.


“Kamu di rumah saja Bima!” Seru ayah sambil berlari menjauhiku.


Sejak saat itu ayahku tak pernah menampakkan wajahnya dihadapanku. Siang malam aku berlarian ke pinggir pantai, tapi tak sekelebatpun bayangannya kutemukan. Setiap orang yang kutanyai hanya membisu bak batu yang tenggelam di dasar laut, tidak membuat gelombang, tidak membuat suara, namun tetap memiliki keberadaan yang dalam dan kuat. Hingga setiap sore aku menunggu kehadirannya di tepi laut, tapi yang ku lihat hanya tepian laut yang sudah tertancap pagar yang luasnya berkilo-kilo meter.


Setiap pagi ibuku mengomel dan menangis, bukan karna ayahku entah hilang kemana, tapi karena dia tak bisa menyiapkan sarapan untukku lagi. Selama ini ayahku satu-satunya sumber penghasilan kami, meskipun beberapa bulan ini dirinya mengeluh kesulitan mencari ikan dan harus berlayar berkilo-kilo meter untuk mendapatkan pencariannya. Kini bahkan tak seekorpun ikan ia bawa pulang.


“Sudah kubilang ayahmu itu. Tak perlu dia ikut melawan para penguasa itu. Mustahil untuk kita menang,” ucap Ibuku.


“Tapi bu, para nelayan membutuhkan keadilan pencabutan pagar itu bu,” jawabku. “Apa menurutmu suara kita lebih besar dari para tikus-tikus itu,” ucap Ibu.


“Sudah sekolah saja yang benar. Lalu bantu ibu menjual gorengan ini di kantin sekolah.” Ibuku mengakhiri kalimatnya.

 

Aku masih terlalu dini untuk memahami perkataan ibuku. Saat ini usiaku masih 15 tahun, masih terlalu banyak persoalan orang dewasa yang kini sulitku cerna. Sadar betul yang bisa kulakukan saat ini hanyalah membuat wadah berisi gorengan ini habis terjual.


Beberapa minggu setelah ayahku menghilang, seorang pelaut di Pantai Baru menggemparkan media sosial, usai viralnya foto pagar laut yang telah diunggahnya. Pelaut itu tak lain adalah salah satu teman ayahku. Saat kulontarkan pertanyaan terkait aksinya itu, seketika aku tertunduk lesu.


“Paman, kenapa paman berani mengunggah foto itu, tidakkah paman takut?” Tanyaku padanya.


“Apa yang lebih menakutkan dari melihat anakmu tak bisa meneruskan pendidikannya, Nak?” Ucap paman itu.


“Sama seperti ayahmu, aku juga seorang ayah yang mata pencahariannya sedang dipertaruhkan.” Paman itu pergi sambil menundukkan kepalanya.


Ada pepatah mengatakan usaha tak pernah mengkhianati hasil. Aksi viral dari unggahan rekan ayahku kini telah membuahkan hasil. Usai disorotnya unggahan itu, proses penyidikan terkait pembangunan pagar laut kini mulai dijalankan. Dari berita yang kusimak, pembuatan pagar laut itu tak sekadar membuat para nelayan kesulitan untuk melaut. Ekosistem laut yang selama ini lestari di Pantai Baru akhirnya ikut terancam.


Proses demi proses akhirnya memberi pencerahan. Penyidikan yang dilakukan beberapa pihak berhasil membuahkan wacana terkait pencabutan pagar laut yang menghambat itu. Meskipun saat ini aku masih berkabung atas menghilangnya ayahku, tapi mendengar wacana pencabutan pagar laut di Pantai Baru memberikan sepercik harapan untuk para warga tepi pantai. Sekaligus kabar baik untuk keberlangsungan ekosistem lau di Pantai Baru kami tercinta.


Satu persatu pihak berwajib mulai mengerahkan timnya untuk mencabut pemasangan pagar laut itu. Tapi mereka bilang pencabutan pagar laut ini tak bisa berlangsung cepat, alasannya karena luasnya yang berkilo-kilo meter. Selain itu, pencabutan pagar laut itu sangat sulit dilakukan pencabutan secara manual, lagi-lagi hal itu menjadi alasan penundaan keberlanjutan pencabutan pagar laut di Pantai Baru.


Waktu demi waktu penyidikan berlanjut. Semakin hari berita kian memanas bak ikan terpanggang di atas kobaran api. Satu demi satu tersangka mulai memunculkan wajahnya, membuat secercah harapan kami melebar. Yang membuatku juga ikut tersenyum dan seketika senyuman itu berubah ketika pihak berwajib tiba-tiba mengetok pintu rumahku.


“Permisi,” ucap seorang pria berseragam sambil mengetok pintu rumahku. “Ada yang bisa dibantu Pak?” Sahut ibuku.


“Apa betul ini rumah Bapak Damar, bu?” Tanya pria berseragam itu.


“Betul Pak, saya dengan istrinya. Maaf Pak Damar sedang tidak di rumah,” Jawab ibuku.


“Keperluan kami kemari mau memberikan ini bu, barang-barang milik Pak Damar. Kami kemari juga ingin mengabarkan bahwa saudara Damar telah meninggal dunia. Kami menemukan tulang dan tengkoraknya telah tergantung di sebuah pohon di pinggir pantai.” Pria berseragam itu mengulurkan KTP dan barang milik ayah lainnya.


Ibuku terdiam sejenak tak kuasa membendung air matanya. Sambil memeluk barang milik ayah, dia mengikuti pria berseragam itu dan masuk ke dalam mobilnya. Di belakang pintu, aku hanya bisa tertunduk lemas sembari air mata mengalir deras di kedua pipiku. Aku berlari ke tepi pantai sekencang-kencangnya.


“AAAYYAAAHHH!!!”


“Mengapa kau meninggalkan aku, Yah! Aku membutuhkanmu saat ini.” Aku berteriak sekuat tenagaku di tepian pantai.


Usai pemakaman ayahku beberapa waktu lalu. Saat ini kondisi ibuku sangat memprihatinkan, kesehariannya hanya terduduk di depan jendela kamar sambil memeluk foto ayahku. Sesekali ia mengumpat entah ke siapa, tapi terlihat saat ini hatinya dipenuhi oleh kebencian. Karena kondisi ibuku yang memprihatinkan, kini kehidupan memaksaku unntuk bisa berdiri tegak dan mandiri.


Demi bisa bersekolah dan memenuhi kebutuhan hidup kami. Selain aku berjualan gorengan di kantin sekolah, aku menghabiskan waktu sepulang sekolah untuk menjadi penjaga toko di warung milik pamanku. Semua ku jalani demi bertahan hidup. Terkadang di hari minggu aku mengambil kesempatanku bermain untuk mencari uang tambahan sebagai tukang parkir pantai.


Hari ini, pengadilan negeri memberikan keputusannya. Aku mendengar berita dari para nelayan rekan ayahku bahwa tersangka dinyatakan tidak bersalah. Pengadilan memutuskan bahwa pagar laut tersebut kini sudah legal dan pencabutan pagar laut di Pantai Baru tidak perlu dilanjutkan. Yang kulihat kini para nelayan beraut suram dan dipenuhi rasa keputusasaan.


“Jadi kita gagal ya Paman?” Ucapku pada salah satu nelayan.


“Sudahlah, kita sudah melakukan sebisa kita. Dengar Nak, di negeri ini yang berkuasa akan selalu menang entah itu benar atau salah.” Paman nelayan itu mengatakan kata terakhirnya sebelum meninggalkanku seorang diri di sebuah warung kopi dekat pantai.


Tiga tahun usai keputusan peradilan itu telah berlalu. Semenjak putusan pengadilan itu, para penguasa Pantai Baru menggusur tempat tinggal kami untuk pembuatan proyek besar mereka. Kami mendapat uang ganti rugi yang sangat kecil dan juga kehilangan mata pencaharian kami. Aku dan ibuku memutuskan untuk tinggal sementara di sebuah kontrakan tak jauh dari tempat itu.


Kini aku sudah berusia 18 tahun, aku sudah menamatkan pendidikanku hingga sekolah menengah keatas. Ini waktunya untukku mempersiapkan diri untuk bekerja, meski nilaiku yang cukup bagus dan berhasil melewati tahap seleksi yang panjang. Aku terpaksa bekerja menjadi tukang bersih-bersih di salah satu restoran mewah hasil proyek reklamasi Pantai Baru milik para penguasa itu.