Cerpen Maria Valentine Imelcia Sinaga
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
“Serayu!”
Panggilan lembut dari yang terkasih berhasil menyentakkan fokus wanita muda yang tengah duduk, sembari merangkai gelang indah dari kerang laut yang ia temui di pantai dekat rumahnya. Rambut indah yang begitu panjang dibiarkan tergerai hingga pinggang sang wanita. Kulitnya yang sawo matang dengan raut wajah yang halus. Bibir ranum berwarna merah muda tanpa bantuan pewarna apapun terpatri dengan elok melengkapi parasnya yang cantik.
Pintu rumah yang terbuka lebar membuat wanita bernama Serayu itu bangkit dari duduknya, meninggalkan rangkaian kerang itu begitu saja.
“Mas Wisnu sudah pulang? Pripun hasil tangkapan hari ini, Mas?” Lelaki bertubuh tinggi dengan postur tegap yang Serayu panggil ‘Mas’ itu tak lain dan tak bukan adalah suami dari wanita itu sendiri.
“Cukup untuk makan kita hari ini kok, Cah ayu. Mas janji, Mas bakal kerja lebih keras lagi biar ada ikan yang bisa kita jual di kota, ya?” ucap Wisnu sambil mengelus rambut wanitanya.
Begitulah kehidupan nelayan di tepian pantai, di mana setiap tetes keringatnya tercurah untuk mengarungi samudra demi meraih rezeki. Demi keberlanjutan hidup, ia mengais hasil laut yang tiada habisnya, meski kadang harus menerima kenyataan bahwa alam yang murah hati itu tak jarang disalahgunakan oleh manusia yang tak tahu arti kata ‘cukup’.
Dari matahari terbit hingga terbenam, lelaki itu akan mengarungi laut lepas, menantang ombak yang tak pernah berhenti berbisik. Ketika bulan mulai menyinari langit malam, ia akan kembali ke rumah yang ditinggali oleh istri dan kakeknya yang sedang sakit. Sepasang insan muda itu, Wisnu dan Serayu, sudah lama tak memiliki peran ayah dan ibu di sisi mereka, dan kebetulan sekali, keduanya adalah anak tunggal. Jadi jangan heran, bila hanya ada tiga jiwa yang menghuni rumah kecil itu, yang akan saling menguatkan satu sama lain di tengah kerasnya kehidupan. Makhluk-makhluk Tuhan itu tetap hidup dengan asa yang berkobar di dalam dada, walau hidupnya tak seberuntung mereka yang tinggal di bangunan pencakar langit yang megah.
Awalnya kehidupan mereka memang berjalan seperti sedia kala, namun semuanya berubah ketika “Si ular kikir dari kota” beserta rombongannya menyelinap masuk ke dalam hidup mereka.
Sancaka Suliswidjoyo, biasa dipanggil “Pak Sanca” oleh kepala desa, namun warga lebih suka memanggilnya “Sanca, si ular kikir”. Panggilan khas yang sangat melekat pada kepribadiannya yang serakah. Tujuan kedatangannya untuk membangun sebuah resort mewah di tepi pantai yang katanya akan membawa kemakmuran bagi desa. Namun, tersimpan syarat di balik janji manis itu. Ia membutuhkan izin untuk membangun pagar laut yang besar, yang akan memisahkan kawasan resort dari masyarakat. Pagar itu tak hanya akan menghalangi akses para nelayan ke laut, tetapi juga mengubah pantai yang selama ini menjadi jantung kehidupan mereka.
Sementara si anak tunggal, Hasan Suliswidjoyo, adalah pemuda pendiam yang selalu hidup di bawah bayang-bayang ayahnya. Mengemban nama belakang yang sama tak membuatnya ikut mewarisi watak buruk sang ayah. Di depan orang lain, ia selalu menuruti setiap perintah Sanca, tapi di dalam hatinya, ia diliputi badai konflik batin yang tak kunjung reda. Hasan memang tahu apa yang dilakukan ayahnya salah, tapi ia tak punya keberanian untuk melawan.
Mentari senja telah tertidur lelap, namun malam ini tak ada cahaya bulan yang menemani. Di bawah langit malam yang gelap, Hasan memberanikan diri untuk menemui Wisnu di depan rumahnya. Ia hanya ditemani lampu minyak berpendar lembut, yang bahkan tak mampu menerangi jalanan.
“Mas Wisnu.., boleh kita bicara sebentar?” suara Hasan terdengar gemetar. Wisnu menatapnya dengan waspada, “Ada apa, Hasan?”. “Aku.. tahu rencana ayahku bakal merugikan kalian. Aku nggak setuju dengan pembangunan itu, tapi aku nggak tahu harus ngapain.., kalau ayah tahu aku membantu kalian, dia pasti murka,” ucap Hasan, suaranya terdengar semakin lirih.
Wisnu akhirnya tahu niat si pemuda itu sebenarnya baik. Lelaki berbadan tinggi itu menepuk bahu pemuda di depannya, “Hasan, keberanianmu untuk datang ke sini saja sudah langkah besar. Kita bisa cari jalan keluarnya bersama-sama.” Kata-kata yang mengalir dari mulut yang lebih tua membuat desir di nadi Hasan perlahan sirna.
Di kala runtutan pikiran yang berlalu lalang di benak Wisnu, ia memutuskan duduk sejenak di teras, sembari menatap lurus ke arah laut. Rambutnya yang tertiup angin malam membuat pikirannya tenang sekejap.
Dari dalam rumah, terdengar suara serak Kakek memanggil pelan. Meski tubuh kakek sudah melemah, namun matanya masih tajam, menyimpan nyala semangat yang tak pernah pudar. Wisnu menghampiri kakeknya, ia duduk di samping ranjang kayu tua milik sang kakek.
“Kamu tahu, Wisnu? laut ini bukan sekadar sumber penghidupan. Ia rumah kita, napas kita,” ucap Kakek, suaranya bergetar penuh emosi. “Aku pernah melawan orang seperti Sanca dulu, dan aku tahu cara berpikirnya mereka. Kamu harus ajak kepala desa ke pihak kita. Dan ingat, kebenaran selalu punya cara untuk menang.”
Wisnu menggenggam tangan kakeknya erat. “Akan aku coba, Kek. Terima kasih karena selalu ada di sisi kami.” Kakek tersenyum samar. “Selama ombak masih bergulung, kita tak pernah benar-benar kalah, Nak..”
Hari demi hari, seluruh tenaganya, ia curahkan demi merebut kembali laut yang menjadi hak mereka. Dengan bantuan Hasan, Wisnu mulai mengumpulkan bukti-bukti kerusakan lingkungan akibat pembangunan pagar laut. Hasan yang memiliki akses ke dokumen-dokumen ayahnya, memberikan data penting yang menunjukkan dampak negatif proyek itu pada Wisnu.
“Aku nggak mau terus-terusan hidup dalam bayang-bayangnya Ayah,” ucap Hasan suatu malam. “Aku mau berdiri di sisi yang benar.” Wisnu menepuk bahu Hasan yang kini telah ia anggap sebagai sahabat. “Kalau begitu, mulai dari sini, Hasan. Kita akan jaga laut ini bersama.”
Perlawanan pun dimulai, bagaikan gelombang besar yang menggulung pantai. Di bawah sinar mentari, para nelayan berkumpul di tepi pantai, berdiri tegak di depan barikade pagar yang untungnya belum selesai dibangun. Wisnu berada di garis terdepan, sementara Hasan berdiri di sampingnya, kali ini tanpa rasa takut.
Sanca muncul dengan wajah merah padam. “Hasan! Apa yang kamu lakukan di sini?! Kamu memalukan keluarga kita!”
Hasan menatap ayahnya dengan tegas, meski dadanya berdegup kencang. “Aku cuma ingin membela yang benar, Ayah. Mereka ini bukan musuh kita. Mereka cuma ingin mempertahankan hidup mereka!”
“Kamu nggak tahu apa-apa, Hasan! Dunia itu keras!”
“Justru karena dunia keras, kita nggak boleh saling menghancurkan,” ucap Hasan, suaranya mulai bergetar. “Meski sulit, aku ingin melakukan hal yang benar. Aku ingin bangga pada diriku sendiri!”
Sanca terdiam. Untuk pertama kalinya, ia melihat putranya berdiri dengan teguh, bukan sebagai anak kecil yang patuh, tapi sebagai lelaki dewasa.
Beberapa minggu kemudian, keputusan akhir pun diumumkan. Proyek pagar laut dibatalkan setelah pihak pemerintah melihat bukti-bukti kerusakan lingkungan yang dikumpulkan Wisnu dan Hasan. Sanca meninggalkan desa tanpa sepatah kata, sementara Hasan memilih tinggal untuk membantu para nelayan memulihkan pantai, setidaknya sampai seluruh kekacauan yang ditinggalkan ayahnya menghilang tanpa jejak.
Malam di tepi pantai kini terasa damai. Ombak bergulung pelan, seolah berbisik lembut kepada pasir yang setia menunggu. Hasan berdiri di samping Wisnu, menatap cakrawala yang perlahan memudar menjadi gelap. Setelah semua perjuangan yang mereka lewati, akhirnya pantai ini kembali menjadi milik mereka.
Hasan menoleh, menatap Wisnu dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. “Mas Wisnu, terima kasih atas semuanya. Tanpa Mas, mungkin aku masih tetap hidup dalam bayang-bayangnya ayah.”
Wisnu menepuk pundak Hasan dengan lembut. “Kamu punya keberanian itu dari awal, Hasan. Kamu cuma butuh seseorang untuk mendorong asamu. Mulai sekarang, kamu sendiri yang menentukan langkahmu.”
Hasan tersenyum tipis, rasa lega menyelinap di dadanya. “Aku janji akan terus menjaga pantai ini..”
Wisnu mengangguk. “Laut akan selalu menyambut orang yang mencintainya, Hasan, dan sekarang kamu sudah jadi bagian dari laut ini. Jangan lupa untuk sesekali mampir, tangan kami akan selalu terbuka untukmu.”
Kedua insan itu membiarkan angin malam membawa pergi sisa-sisa beban yang tertinggal di hati mereka. Ombak terus bergulung pelan, menyentuh lembut kaki mereka, seakan menyampaikan rasa terima kasih dari laut kepada insan-insan yang telah berjuang.
Debur ombak mengalun dengan tenang, membawa serta cerita mereka ke cakrawala. Langit malam menjadi saksi perpisahan antara dua sekawan berbeda usia, namun sejiwa. Bila nanti masih ada umur, dan semesta ikut mengizinkannya, Hasan pasti akan mengunjungi mereka yang sudah ia anggap sebagai keluarga. Ia berjanji akan pulang ke tempat yang telah ia anggap sebagai rumah kedua yang selalu terbuka untuknya.
Hari-hari berlalu bagai ombak yang datang dan pergi, menyimpan kisah di setiap hempasan. Sejak kepergian Sancaka Suliswidjoyo, kehidupan Wisnu dan Serayu kembali seperti sedia kala. Sepasang insan itu bekerja menyatu dengan laut dari pagi hingga senja, lalu pulang ke rumah kecil mereka, tempat cinta dan kehangatan selalu menanti.
Laut adalah ibu yang setia, menampung segala duka dan melepasnya kembali dalam bisikan lembut angin. Jangan kita balas kasihnya dengan luka. Jangan kita pasung ia dengan pagar, sebab laut bukan milik siapa pun. Ia hidup untuk semua.
Alam telah menyiapkan lautan luas untuk menjamu setiap insan yang mampir untuk menikmati indahnya bumi Nusantara. Sebuah tempat bak lukisan alam, di mana ombak yang berkejaran menyapu pasir pantai. Tak lupa dengan warna biru menenangkan yang menyatu dengan cakrawala, menciptakan harmoni yang memikat hati, seakan menyembunyikan sejuta cerita dalam kedalamannya yang misterius.
Potongan kalimat tadi hanya gambaran pendek tentang keindahan laut, karena jika ingin dijabarkan satu per satu, maka agaknya diperlukan waktu lebih dari sewindu untuk menyelesaikannya.