Cerpen Marsha Auriella
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba) |
Suara ombak yang berhembus kencang di sore hari membawa aroma asin laut yang menyesakan dada. Suasana itu sangat mengganggu anak kecil di pinggir pantai yang bernama Sulaiman. Matanya menatap pagar beton yang berdiri kokoh, membatasi dirinya dari laut yang dulu yang sangat indah dan memberinya kehidupan. Ombak itu menghantam tanpa henti seolah-olah ingin berperang, seakan memiliki perasaan yang hendak marah, seperti hatinya ini penuh dengan rasa kekecewaan dan keputusasaan.
Dahulu, Sulaiman merupakan seorang nelayan. Dari Sulaiman masih balita, ia sering menghabiskan waktunya di laut untuk bermain hingga saat ia sudah cukup umur untuk mencari nafkah ia menghabiskan waktunya di laut bukan untuk bermain lagi tapi untuk mencari nafkah untuk keluarganya. Namun kini, pagar itu telah merenggut segalanya. Dulu, ia bisa dengan mudah untuk melaut dari bibir pantai rumahnya, tetapi kini ia harus menempuh perjalanan yang lebih jauh dan susah untuk mencari tempat bersandar perahu. Tidak hanya itu, ikan juga jadi lebih sulit untuk di dapat. Perairan yang biasanya ia jelajahi kini perlahan berubah menjadi kawasan industri dan reklamasi. Lautnya bukan lagi milik nelayan yang bebas untuk di ambil ikannya tapi jadi milik mereka yang sekarang memiliki kuasa akan laut itu.
“Ayah, ayo pulang. Ini sudah hampir memasuki waktu Maghrib.” Suara lembut putrinya, April, membuyarkan lamunan sang ayah. Gadis kecil yang berusia sepuluh tahun itu menggenggam erat ujung baju sang ayah.
Sang ayah menoleh dan mengelus lembut kepala putrinya. Ia menarik napas panjang yang penuh berarti itu kemudian mencoba untuk menelan kesedihan yang sejak tadi mengganggu hatinya. “Iya, Nak. Ayo kita pulang.”
Di Rumah panggungnya yang sederhana dan nyaman itu. istrinya, Harum, telah menyiapkan makan malam yang sekadarnya itu. Disiapkannya hanya nasi dengan lauk yang mudah untuk dicari untuk seorang nelayan yaitu ikan tidak lupa dengan sambal. Dahulu, keluarga mereka tidak pernah merasa kekurangan akan ikan segar. Tetapi kini, untuk makan dengan seekor ikan pun terasa sangat mewah.
Saat mereka sedang makan dalam diam, April tiba-tiba bertanya, “Ayah, kapan kita bisa makan ikan yang besar dan banyak seperti dulu lagi?”
Sulaiman menatap mata putrinya dengan perasaan yang mendalam dan campur aduk. Ia ingin sekali menjawab dengan jujur, ingin untuk berkata bahwa laut sekarang tidak lagi seperti laut yang dulu. Namun, ia tidak ingin mengecewakan hati gadis kecil itu.
“Ayah akan terus usahakan ya, Nak,” jawaban yang akhirnya dikeluarkan oleh Sulaiman, meski suaranya resara sangat berat.
Setelah kejadian tadi sore, di malam harinya Sulaiman jadi tidak bisa tidur. Matanya menatap langit-langit rumah yang sudah rapuh dan bernoda karena hujan yang deras, pikirannya penuh dengan masa-masa dimana lautnya masih ramah dengan mereka. Ia ingat sekali saat ayahnya mengajarkan cara untuk menangkap ikan. Ia teringat pada masa saat pertama kali membawa pulang hasil tangkapan ikannya sendiri. Namun, semua itu sekarang terasa seperti mimpi yang lama-kelamaan akan menghilang.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali dimana matahari masih malu untuk menunjukan dirinya, Sulaiman pergi melaut untuk mencari ikan. Ia berangkat pagi pagi sekali karena diharuskannya untuk memutar lebih jauh agar bisa mencapai laut terbuka. Perahu kecilnya itu berayun di atas ombak, merasakan beban-beban yang ada di hatinya.
Beberapa jam berlalu, namun tidak banyak ikan yang telah didapatkan. Matahari semakin percaya diri untuk menunjukan dirinya, dan kelelahan mulai menggerogoti tubuhnya. Sulaiman memandangi lautan yang dulu begitu murah hati kepada dirinya, kini laut pun terasa pelit dan tidak lagi murah hati kepadanya.
Ia kembali ke daratan dengan hasil tangkapan ikan yang tidak memuaskan. Setibanya Sulaiman di rumah, Harum menyambutnya dengan wajah yang sumringah berharap lebih kepada hasil tangkapan hari ini. Tetapi saat melihat hasil tangkapan ikan suaminya wajahnya langsung berubah drastis kemudian berkata “Hanya segini untuk hari ini, Yah?”
Sulaiman mengangguk. “Laut tidak lagi seperti dulu, Rum.”
Harum menghela napas. “Besok kita harus membayar hutang ke Pak Haji, Yah. Kalau tidak, yang ada kita bisa kehilangan rumah ini. Aku tidak mau rumah yang telah kita bangun dengan kasih sayang ini hancur begitu saja!” Sulaiman terdiam, tidak menyangka kalau istrinya ternyata selama ini menyimpan perasaan sakit sedalam itu. Pikirannya terus berputar-putar mencari solusi terbaik untuk menyelesaikan masalah ini. Ia tahu keadaan saat ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Ia harus melakukan sesuatu untuk keluar dari jalan yang penuh dengan duri ini.
Keesokan harinya, Sulaiman bergegas untuk pergi ke kantor pemerintah daerah, berharap ia akan mendapatkan solusi untuk para nelayan yang bernasib sama dengan dirinya. Namun, yang ia dapatkan hanyalah omong kosong, jawaban dingin beserta janji-janji bohong. Bahkan tidak ada sedikitpun pembicaraan yang mengarah ke topik itu, mereka hanya berbicara tentang pembangunan, tentang kemajuan. Tak ada satupun yang benar-benar peduli pada nasib nelayan kecil seperti dirinya.
“Pak, mohon untuk bersabar. Kami sedang berusaha mencari solusi terbaik saat ini,” kata seorang pegawai yang berseragam rapi itu. Sulaiman mengepalkan tangannya sekeras mungkin. “Solusi apa? Kami kehilangan mata pencaharian, kalian ingin kita bekerja jadi apa? Kami juga lapar! Apa kalian pikir kita bisa menunggu solusi dari kalian dengan perut kosong?” Namun, tidak ada satupun yang mendengarkan perkataan Sulaiman. Ia keluar keluar dari kantor dengan perasaan di hati yang sangat berat.
Pada malam harinya, Sulaiman duduk di teras depan rumahnya. Ia menatap pagar laut yang berada di depan matanya, membentang sangat panjang seperti tembok yang memisahkan dirinya dari kehidupan lamanya dan kehidupan sekarang. Ia merasa seperti hewan ternak yang selalu terkurung dalam kandang, tali kekang membatasi geraknya dan kebebasannya dirampas.
Di dalam rumah, April sedang tertidur dengan lelap, wajahnya damai tanpa beban. Sulaiman tahu bahwa ia harus melakukan sesuatu. Ia tidak bisa membiarkan anaknya tumbuh dalam keadaan seperti saat ini.
Tanpa berpikir panjang, ia langsung mengambil obor dan berjalan ke tepi laut. Malam itu sunyi, hanya terdengar suara ombak yang berhembus kencang. Ia menatap pagar beton itu dengan tatapan yang penuh dengan kebencian. Ia ingin sekali untuk meruntuhkannya, sangat sekali ingin untuk menghancurkan penghalang antara dirinya dan laut.
Dengan amarah yang membara bagaikan api unggun, ia mengayunkan kapak besarnya ke pagar itu. Terdengar suara dentuman keras yang menggema di udara, namun pagar itu tetap saja kokoh. Ia terus memukul, berkali-kali, sampai tangannya gemetar dan keringatnya mengucur deras.
Tiba-tiba, suara sirine petugas terdengar. Beberapa petugas datang dengan senter dan senjata. “Berhenti! Apa yang kau lakukan?”
Sulaiman menoleh, nafasnya tersengal. “Aku hanya ingin lautku kembali,” ucapnya lirih.
Namun, tidak ada yang peduli dengan perkataan itu, tidak ada yang merasa bahwa perkataan itu benar. Mereka menyeretnya pergi, meninggalkan pagar itu tetap berdiri dengan kokoh di tempatnya.
Keesokan harinya, berita tentang seorang nelayan yang mencoba merusak pagar laut menyebar di seluruh desa. Beberapa orang bersimpati dengan adanya kasus itu, tapi banyak pula yang takut untuk ikut melawan. Harum menangis di rumah, sementara April terus bertanya kapan ayahnya pulang tanpa tahu bahwa seorang nelayan di berita itu adalah ayahnya.
Hari-hari berlalu, dan Sulaiman tetap di dalam tahanan. Pemerintah menyebutnya pengacau, seorang yang menentang pembangunan dan rencana matang pemerintah. Namun bagi para nelayan, ia adalah seorang pejuang, seorang yang berani melawan ketidakadilan.
Di tepi pantai, pagar laut itu masih berdiri, membatasi laut dari mereka yang seharusnya hidup darinya. Namun, dalam hati orang-orang, perjuangan Sulaiman tak akan pernah mati.