Saturday, March 1, 2025

Cerpen Lomba | Marthen Kadepa | Penjaga Pantai

Cerpen Lomba Marthen Kadepa 



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


Di desa pesisir Cirebon, Indonesia, matahari terbenam di bawah cakrawala, melukis langit dengan nuansa orange dan ungu. Suara berirama ombak yang menghantam pantai memenuhi udara, bercampur dengan tawa anak-anak yang bermain di pasir. Namun, di balik fasad yang tenang ini, badai timbul—konflik yang mengancam susunan komunitas mereka.


Desa itu mengandalkan laut untuk mencari rezeki. Nelayan seperti Arman telah menghabiskan hidup mereka melemparkan jaring ke biru tua, membawa pulang hasil tangkapan hari itu untuk memberi makan keluarga mereka. Tepat di pedalaman, petani mengolah sawah, ladang mereka subur dan hijau. Namun, perdamaian itu hancur oleh perambahan perusahaan agribisnis, terpikat oleh janji keuntungan di tanah subur Indonesia.


Arman, seorang pria lapuk berusia akhir empat puluhan, telah melihat perubahan terungkap selama bertahun-tahun. Apa yang dimulai sebagai pertanian skala kecil telah berubah menjadi medan pertempuran untuk tanah. Penduduk desa semakin kehilangan akses ke darat dan laut karena kepentingan perusahaan mendorong lebih dalam ke wilayah mereka. Perairan yang dulunya jernih sekarang dirusak oleh tanda-tanda yang mengumumkan perkebunan baru, dan daerah penangkapan ikan yang menopang masyarakat dengan cepat menurun.


Setiap malam, penduduk desa berkumpul di warung setempat, sebuah kafe kecil yang menghadap ke pantai. Udaranya kental dengan aroma ikan goreng dan rempah-rempah, tetapi suasananya berat dengan kekhawatiran. Arman duduk bersama teman-temannya, Budi dan Siti, yang sama-sama merasakan dampak konflik agraria secara langsung.


"Apakah anda mendengar tentang perkebunan baru yang mereka rencanakan?" Budi bertanya, suaranya rendah. "Mereka akan membersihkan hutan bakau."


Siti, putri seorang petani, mengangguk muram. "Di situlah kami memancing. Jika mereka menghancurkan hutan bakau, kita akan kehilangan segalanya—ikan kita, mata pencaharian kita."


Arman mengepalkan tinjunya, jantungnya berdebar kencang. "Kita tidak bisa biarkan ini terjadi. Kita harus berdiri bersama."


Pak Hasan, tetua desa, memasuki warung, kehadirannya langsung memerintahkan rasa hormat. Dengan wajah yang lapuk oleh waktu dan kebijaksanaan, dia telah melihat musim yang tak terhitung jumlahnya datang dan pergi. "Saudara dan saudari," katanya, suaranya mantap, "jika kita tidak bersatu untuk mempertahankan tanah dan laut kita, kita berisiko kehilangan warisan kita."


Terinspirasi oleh kata-kata Pak Hasan, warga desa mulai berorganisasi. Mereka mengadakan pertemuan di bawah bintang-bintang, menyusun strategi cara untuk melawan perambahan agribisnis. Mereka menjangkau LSM dan aktivis lokal yang memiliki pengalaman dengan konflik agraria, mencari bimbingan dan dukungan.


Tetapi ancaman yang membayangi bukan hanya hilangnya tanah; itu adalah ketakutan akan pembalasan. Agribisnis memiliki koneksi dan sumber daya yang kuat. Mereka yang berani berbicara sering menghadapi intimidasi, mata pencaharian mereka tergantung pada seutas benang.


Suatu malam, setelah seharian di laut, Arman didekati oleh dua pria berjas, ekspresi mereka dingin. Mereka berdiri di dekat perahunya, kehadiran mereka mengintimidasi.


"Tuan Arman," kata salah satu dari mereka, suaranya halus tapi mengancam. "Kami menyarankan anda mempertimbangkan kembali pendirian anda. Akan sangat disayangkan jika sesuatu terjadi pada perahumu—atau bahkan padamu."


Arman merasakan rasa menggigil mengalir di punggungnya. Dia mengerti risikonya, tetapi tekadnya hanya menguat. "Ini adalah rumah saya. Aku tidak akan membiarkanmu mengambilnya dariku."


Hari berubah menjadi minggu, dan konflik meningkat. Protes meletus di desa, dengan nelayan dan petani berbaris berdampingan, meneriakkan hak-hak mereka. Liputan media mulai menarik perhatian pada penderitaan mereka, dan segera, mata bangsa tertuju pada Cirebon.


Ketika ketegangan meningkat, Arman dan teman-temannya memutuskan untuk mengambil sikap. Mereka mengorganisir rapat umum besar di pantai, mengundang semua orang di desa untuk bergabung. Mereka menghiasi perahu mereka dengan spanduk yang menyatakan, "Selamatkan Laut Kita, Selamatkan Tanah Kita!" dan berkumpul untuk menyuarakan tuntutan mereka. Itu adalah pertunjukan solidaritas yang mengguncang fondasi rencana agribisnis.


Pada hari rapat umum, matahari bersinar terang, dan kegembiraan berdengung di udara. Penduduk desa berkumpul, wajah mereka dicat dengan tekad. Arman berdiri di garis depan, diapit oleh Pak Hasan dan Budi.


Saat mereka mulai berbicara, armada truk muncul di cakrawala, membawa perwakilan dari perusahaan agribisnis. Pemandangan itu mengirimkan gelombang kecemasan melalui kerumunan. Para perwakilan ada di sana untuk mengintimidasi, untuk menunjukkan kekuatan mereka.


"Jangan takut!" Arman berteriak, suaranya meninggi di atas kerumunan. "Ini tanah kita! Ini laut kita! Bersama-sama, kita lebih kuat dari perusahaan mana pun!"


Ketegangan terlihat jelas ketika para perwakilan melangkah keluar dari truk mereka, wajah mereka tidak pasif. Mereka berusaha menenggelamkan protes dengan narasi kontra mereka sendiri, tetapi suara penduduk desa terdengar lebih keras. Mereka menyanyikan lagu-lagu nenek moyang mereka, memanggil roh daratan dan laut, pengingat akan apa yang dipertaruhkan.


Saat itu, tabrakan keras mengganggu reli. Salah satu truk, yang dikendarai oleh perwakilan yang tidak sabar, telah menabrak perahu nelayan di dekatnya, memecah-belahnya. Napas memenuhi udara saat penduduk desa bergegas untuk menilai kerusakan. Kemarahan melonjak di Arman saat dia menyaksikan sisa-sisa mata pencaharian temannya dihancurkan.


"Cukup!" teriaknya. "Kami tidak akan dibungkam oleh ketakutan atau intimidasi!"


Penduduk desa berkumpul di belakangnya, suara mereka berbaur menjadi paduan suara yang kuat. Mereka mengepung truk, menolak untuk membiarkannya bergerak, berdiri kokoh sebagai tembok kemanusiaan melawan keserakahan perusahaan.


Pada hari-hari berikutnya, gerakan mereka memperoleh momentum. Berita tentang unjuk rasa menyebar ke seluruh negeri, mendorong aktivis, pencinta lingkungan, dan bahkan selebriti untuk bergabung dengan tujuan mereka. Para agribisnis mendapati diri mereka menghadapi bukan hanya sebuah desa tetapi juga gerakan nasional yang berkembang yang mengadvokasi hak-hak agraria.


Pemerintah, di bawah tekanan yang meningkat, akhirnya turun tangan. Setelah berminggu-minggu perundingan, pertemuan diatur antara penduduk desa dan perwakilan agribisnis. Itu adalah urusan yang menegangkan, tapi Arman dan komunitasnya bersatu, bertekad untuk memperjuangkan hak-hak mereka.


Dalam rapat itu, Pak Hasan berbicara dengan fasih, menceritakan sejarah dan budaya daratan dan laut, menekankan pentingnya mereka bagi identitas masyarakat. Perwakilan agribisnis, yang dulunya percaya diri, sekarang bergeser dengan tidak nyaman di kursi mereka saat penduduk desa mengungkapkan perjuangan dan aspirasi mereka.


Seiring berjalannya diskusi, menjadi jelas bahwa kompromi diperlukan. Penduduk desa setuju untuk mengizinkan pembangunan pertanian terbatas tetapi bersikeras untuk melestarikan daerah penangkapan ikan utama dan melindungi hak-hak mereka yang mengungsi oleh proyek-proyek tersebut.


Beberapa bulan kemudian, komunitas berkumpul untuk merayakan kemenangan mereka yang diperoleh dengan susah payah. Mereka telah membentuk kerjasama yang akan memastikan akses yang adil ke darat dan laut untuk semua. Pertentangan agraria telah menyatukan mereka, menjalin ikatan yang akan bertahan seumur hidup.


Saat Arman melemparkan jalanya ke laut, dia merasakan harapan yang baru. Ombak menghantam pantai, pengingat akan perjuangan yang mereka hadapi dan persatuan yang telah mereka tempa. Penjaga pantai yang mereka jadikan—penjaga tanah mereka, laut mereka, dan masa depan mereka—adalah bukti kekuatan ketahanan dalam menghadapi kesulitan.


Di jantung Cirebon, matahari terbenam di cakrawala, memancarkan cahaya hangat di sebuah desa yang telah berdiri kokoh melawan gelombang keserakahan perusahaan. Bersama-sama, mereka bukan hanya menyelamatkan rumah mereka namun juga memicu gerakan yang akan bergema jauh melampaui pantai komunitas kecil mereka. Perjuangan untuk darat dan laut mereka telah menjadi simbol harapan bagi orang lain yang menghadapi pertempuran serupa di seluruh negeri.


Papua Selatan, 17 February 2025