Cerpen Mega Dianty
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Ombak berdebur di kejauhan, memecah kesunyian pagi. Di tepi pantai, Pak Dirga berdiri dengan mata menatap pagar laut yang kini berdiri kokoh, membentang sepanjang cakrawala. Bukan pagar dari kayu atau beton, melainkan barisan bambu raksasa yang menancap di laut, memutus jalan perahu-perahu kecil milik nelayan.
“Ini tanah mereka sekarang, Pak,” ujar Rian, anak bungsunya, dengan nada getir. “Kita tak bisa lewat seenaknya.”
Pak Dirga mendengus pelan. “Laut bukan milik siapa-siapa, Nak. Laut ini sudah ada sebelum mereka datang, dan akan tetap ada setelah mereka pergi.”
Beberapa bulan lalu, pagar laut itu tidak ada. Pak Dirga dan ratusan nelayan lain masih bisa melaut tanpa hambatan. Namun, tiba-tiba saja, datang orang-orang dengan sertifikat di tangan, mengklaim laut sebagai milik mereka. Tidak ada yang tahu bagaimana mungkin perairan yang bebas sejak dahulu kala bisa memiliki hak guna bangunan.
“Bapak mau tetap nekat?” tanya Rian.
Pak Dirga menoleh. Matanya yang keriput memancarkan tekad yang tak luntur oleh usia. “Laut memberi kita hidup, Nak. Kita harus memperjuangkannya.”
Malam itu, beberapa nelayan berkumpul di rumah Pak Dirga. Mereka bukan orang-orang berpendidikan tinggi, tapi mereka paham satu hal: tanpa laut, mereka tak bisa bertahan.
“Kita tak bisa diam saja,” ujar Sarman, nelayan yang sejak kecil tumbuh bersama Pak Dirga. “Kita harus melawan.”
Maka dimulailah perlawanan sunyi mereka. Dengan perahu kecil dan semangat yang besar, mereka mulai membongkar pagar laut sedikit demi sedikit, mengembalikan jalur mereka ke samudra.
Namun, pagi berikutnya, orang-orang berseragam datang. Mereka membawa perintah. Menangkap beberapa nelayan. Termasuk Pak Dirga.
Rian hanya bisa melihat dari kejauhan ketika ayahnya dibawa pergi. Tapi sebelum masuk ke mobil, Pak Dirga menoleh padanya, tersenyum tipis. “Jangan takut, Nak. Laut tak pernah diam.”
Malam itu, langit menghitam pekat. Angin bertiup kencang, membawa hawa dingin yang menusuk tulang. Rian yang tengah duduk di beranda rumahnya, menatap gelisah ke arah laut. Ombak mulai bergulung lebih tinggi dari biasanya.
“Badai akan datang,” gumamnya lirih.
Rian segera mengenali tanda-tanda ini—alam sedang berbicara. Tapi mereka bukan satu-satunya yang terancam, pesisir pun kini berada di bawah bayangan murka samudra.
Beberapa jam kemudian, badai benar-benar tiba. Hujan turun deras, angin berteriak, menghempaskan apa saja yang menghalangi jalannya. Ombak menggila, merangsak ke daratan, menerjang pesisir, kapal nelayan, rumah-rumah kecil milik warga pun ikut menjadi sasaran amarah sang ombak.
Nelayan hanya bisa menyaksikan dari kejauhan, berlindung di rumah mereka yang dibangun dengan memahami ritme alam. Ketika fajar menyingsing, keheningan menggantikan keganasan semalam. Pak Dirga dan Rian berjalan perlahan ke pantai, bersama warga lainnya. Apa yang mereka lihat membuat mereka terdiam—seolah laut telah mengambil kembali apa yang seharusnya tak pernah diberikan.
Sisa-sisa pagar laut hanyut entah ke mana. Yang tersisa hanyalah pasir, hamparan luas yang kembali seperti dulu. Rian menghela napas panjang. “Laut sudah berbicara.”
Di kejauhan, matahari terbit di atas cakrawala yang bersih, seolah menegaskan bahwa laut selalu tahu cara menjaga dirinya sendiri.
Hingga beberapa hari kemudian, Pak Dirga perlahan kembali merapat ke pantai. Bersamanya, beberapa nelayan lain yang sempat ditangkap kini kembali, mata mereka menelusuri garis pantai yang pernah mereka tinggalkan.
Rian berlari dari kejauhan, menerjang air setinggi betis, lalu memeluk ayahnya erat. “Bapak… laut menunggu.”
Pak Dirga menepuk bahu anaknya, lalu mengalihkan pandangan ke sekeliling. Apa yang dilihatnya membuat napasnya tertahan. Sarman, sahabat lama Pak Dirga, melangkah ke sisinya. “Kita pergi hanya sebentar, tapi laut yang menyelesaikan perlawanan ini.”
Beberapa warga yang masih tinggal di pesisir menyambut mereka dengan campuran perasaan lega dan kebingungan. Mereka yang dulu percaya bahwa pembangunan akan membawa kesejahteraan, kini hanya bisa menyaksikan kehancuran yang ditinggalkan badai.
Rian menatap puing-puing di depannya. “Apa yang akan kita lakukan sekarang, Pak?”
Pak Dirga menghela napas panjang, lalu menginjak pasir dengan penuh keyakinan. “Kita bangun kembali. Tapi bukan untuk mereka, bukan untuk investor yang hanya ingin menguasai laut ini. Kita bangun untuk kita sendiri, untuk laut yang sudah menjaga kita selama ini.”
Para nelayan mulai bergerak, bukan untuk meratapi yang hancur, melainkan untuk mengembalikan kehidupan mereka. Mereka mengumpulkan sisa-sisa papan, memperbaiki perahu, menanam kembali pohon bakau yang tercerabut badai.
Hari-hari berlalu, dan sedikit demi sedikit, desa pesisir itu pulih. Tanpa pagar laut, tanpa bangunan-bangunan mewah yang mengklaim hak atas laut. Kali ini, mereka tidak hanya kembali sebagai nelayan, tapi sebagai penjaga.
Di suatu sore, Pak Dirga duduk di atas perahunya, memandang laut yang berkilauan di bawah sinar matahari. Rian duduk di sampingnya, menatap ke cakrawala.
“Bapak benar,” katanya pelan. “Laut tak pernah diam. Dan kita harus selalu mendengarnya.”
Pak Dirga tersenyum. Laut berbisik dalam ombaknya, menyampaikan satu pesan yang tak akan pernah dilupakan manusia yang menghormatinya: alam selalu punya cara untuk mengingatkan, dan hanya mereka yang mau mendengar yang akan bertahan.