Cerpen Meitsy Earlyna.W
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Di sebuah desa nelayan yang terletak di tepi pantai, ombak bergulung lembut di bawah sinar matahari sore. Angin asin berhembus, membawa aroma laut yang khas. Di tepian desa pesisir, seorang bocah bernama Kiandra berdiri menatap hamparan bambu yang tertancap tegak di bibir pantai. Pagar Laut, begitu warga menyebutnya. Deretan bambu itu bukan hanya penahan abrasi, tapi juga batas tak kasatmata antara laut dan daratan, antara keberanian dan ketakutan.
Kiandra menggenggam kail pancing milik ayahnya. Hari itu, seperti biasa, ia harus membantu ayahnya mencari ikan. Tapi pikirannya melayang jauh. Ia teringat cerita Kakek Alimi, nelayan tua di desa, tentang seorang pemuda yang pernah menantang Pagar Laut dan tak pernah kembali.
"Jika kau melintasi batas itu, kau akan tersesat di laut tanpa bisa kembali," ujar Kakek Alimi suatu hari, matanya menerawang seolah menyaksikan bayangan masa lalu.
"Tapi, Kek, itu cuma bambu, kan? Lautnya masih luas di belakangnya," protes Kiandra waktu itu.
Kakek Alimi hanya tersenyum, lalu berkata pelan, "Pagar itu lebih dari sekadar bambu, Nak. Itu peringatan. Laut punya aturan yang tak bisa kita langgar."
Kini, Kiandra berdiri tepat di tepi batas itu. Ia tahu banyak nelayan yang tetap melaut melewati pagar itu, tapi selalu dengan rasa was-was. Ayahnya pun sering berkata, "Kita cuma meminjam dari laut. Jangan tamak, jangan berani-berani melawan batasnya."
Namun, ada sesuatu dalam diri Kiandra yang menolak untuk percaya begitu saja. Ia ingin tahu, apa yang sebenarnya ada di balik Pagar Laut?
Hari itu, Kiandra memutuskan untuk mencari jawabannya. Ia menunggu hingga ayahnya tertidur setelah makan malam, lalu menyelinap keluar menuju perahu kecilnya. Dengan hati-hati, ia mendayung ke arah laut, melewati batas yang selama ini hanya ia tatap dari kejauhan.
Saat perahunya melewati deretan bambu itu, udara seketika berubah. Angin yang tadinya sepoi-sepoi kini terasa berat, seolah menekan tubuhnya. Laut yang biasanya tenang beriak aneh, seperti ada sesuatu yang bergerak di bawahnya. Kiandra menelan ludah, tapi ia menepis ketakutannya dan terus mendayung.
Lama-kelamaan, ia melihat sesuatu yang tak pernah ia lihat sebelumnya yaitu hamparan air laut yang terlalu jernih, hingga ia bisa melihat dasar laut dengan jelas. Tapi yang membuatnya terpana adalah bayangan sebuah perkampungan di bawah laut.
Jantungnya berdegup kencang. Ia menggosok matanya, memastikan itu bukan ilusi. Tetapi bayangan itu tetap ada. Rumah-rumah kayu kecil, perahu-perahu yang terapung tanpa pengemudi, bahkan sosok-sosok yang tampak samar bergerak di dalamnya.
Tiba-tiba, terdengar suara gemuruh dari bawah air. Seperti sesuatu yang besar sedang bergerak. Kiandra membeku. "Kau melanggar batas, Nak," suara itu bergema, berat dan dalam, seperti berasal dari dasar lautan.
Kiandra menggigil. "S-siapakah Anda?" suaranya nyaris tak terdengar.
"Aku penjaga laut. Aku menjaga keseimbangan. Kau manusia pertama dalam waktu lama yang cukup berani menyeberangi batas itu," ujar lelaki itu.
Kiandra ingin bertanya lebih banyak, tapi tiba-tiba angin bertiup kencang. Ombak menggulung, dan sebelum ia bisa bereaksi, pusaran air terbentuk di sekeliling perahunya. Dalam sekejap, semuanya gelap.
Ketika Kiandra membuka mata, ia mendapati dirinya terbaring di pantai, tubuhnya basah kuyup. Ia terbatuk, berusaha memahami apa yang baru saja terjadi. Suara orang-orang berlari mendekat terdengar samar. Ayahnya, Kakek Alimi, dan beberapa nelayan lain berdiri mengelilinginya dengan wajah cemas.
"Apa yang kau lakukan, Kiandra?!" suara ayahnya bergetar antara marah dan lega.
Kiandra menatap lautan. Pagar bambu itu masih ada di sana, berdiri kokoh seperti sebelumnya. Namun, kali ini, ia tahu bahwa pagar itu bukan sekadar penanda fisik. Itu adalah batas antara dunia yang manusia kenal dengan sesuatu yang jauh lebih besar dari pemahaman mereka.
Dengan suara lirih, Kiandra berbisik, "Laut memang punya aturannya sendiri."
Sejak kejadian itu, Kiandra tak lagi berani menyeberangi Pagar Laut. Namun, ia tetap memandangi batas itu setiap hari, mengingat malam ketika ia menantang sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.
Ia tak pernah bercerita tentang perkampungan di dasar laut atau sosok penjaga laut itu. Beberapa rahasia, ia sadari, memang lebih baik tetap tersembunyi.
Namun, satu hal yang kini ia yakini: bukan manusia yang menguasai laut, tapi laut yang mengizinkan manusia untuk hidup di sekitarnya.
Hari-hari berlalu, dan meskipun Kiandra kembali ke kehidupannya sehari-hari, pikirannya tetap terikat pada pengalaman yang tak dapat ia jelaskan. Ia bekerja bersama ayahnya, membantu di perahu dan memancing ikan, namun setiap kali ia melintas dekat Pagar Laut, perasaan ganjil selalu menghinggapinya.
Ia kini lebih memahami pesan Kakek Alimi. Laut adalah entitas yang hidup, memiliki rahasia yang tak terungkapkan kepada sembarang orang. Tak semua yang ada di dunia ini perlu dipahami atau diterobos batasannya. Ada kalanya, lebih baik mendengarkan daripada bertanya.
Suatu malam, setelah sekian lama menahan rasa ingin tahunya, Kiandra memutuskan untuk kembali ke pantai itu, sendirian. Ia berjalan perlahan, kaki telanjang menyentuh pasir yang dingin. Cahaya bulan memantulkan dirinya di permukaan laut yang tenang. Saat ia sampai di depan pagar bambu yang berdiri tegak di tepi laut, Kiandra berhenti. Ia menatapnya dengan penuh perasaan dan rasa takut, rasa hormat, dan sebuah pengetahuan baru yang dalam.
Ia mengingat perkataan Kakek Alimi dan ayahnya: "Jangan tamak. Laut memberi kita kehidupan, tapi ia juga bisa mengambilnya kapan saja."
Kiandra menghela napas panjang, menatap ke dalam laut yang tak terhingga. "Aku mengerti," gumamnya pelan. Ia tahu, saat itu, bahwa ia tidak akan lagi menantang batas itu.
Laut tetap sama. Pagar Laut masih berdiri kokoh, dan kehidupan di desa pesisir berjalan seperti biasa. Namun, bagi Kiandra, dunia kini tampak lebih jelas. Ada batasan yang harus dihormati, ada aturan yang tidak terlihat namun penting untuk dipahami. Seperti laut yang mengalir tanpa henti, hidup pun berjalan, dengan tantangan dan batasan yang perlu dihormati.
Kiandra kini tahu, keberanian sejati bukanlah berani menantang alam atau mencoba mengalahkannya. Keberanian sejati adalah memahami bahwa ada hal-hal yang lebih besar dari diri kita, dan lebih bijak untuk membiarkan mereka berjalan dengan ritmenya sendiri.
Ia tidak akan lagi melangkah lebih jauh ke dalam laut, atau mencoba menembus pagar bambu itu. Ia akan menjaga jarak yang sehat, menghormati laut, dan memahami bahwa beberapa hal lebih baik dibiarkan menjadi misteri. Dan dengan itu, ia berjalan kembali ke rumah, merasa lebih damai dari sebelumnya.
Terdapat motivasi yang bisa kita ambil yaitu "Kadang, bukan tentang seberapa jauh kita bisa melangkah, tapi tentang memahami batas yang harus kita hormati."
"Keberanian sejati bukan berarti menantang bahaya tanpa pikir panjang, melainkan memahami kapan harus melangkah dan kapan harus berhenti."
"Laut memberi kehidupan, tapi juga menguji manusia. Hanya mereka yang menghormatinya yang akan selamat."