Cerpen Melly Andriani Br Ginting
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Tersentak aku didalam tidurku, kulirik lembut layar di gawai yang masih menunjukkan jam tiga pagi. Kepala yang pusing dan mendambakan tidur yang dalam, bahkan titik embun masih menikmati keheningan lantas mengapa isi kepala sudah berisik. Mencoba kembali tertidur namun sulit untuk kembali tenggelam dalam irama waktu yang tenang. Ada yang mengejar tapi apa?, kenapa jantung menari dengan ritme cepat sementara tiada lagu yang menggugah semangat.
Ahh...sudahlah,lebih baik aku membaca atau sekedar membuka sosial media yang kian menghilangkan hasrat tidur. Bukan damai yang dirasa, bukan pula hal baru hanya menjadi lebih kosong ditemani kebingungan hingga waktu bergulir dijam enam pagi menyapa. Titik embun nampak mulai menghangat disapa mentari yang masih tampak malu-malu namun merayu untuk menarik semua insan keluar dari tempat peristirahatannya.
Pagi ini seperti pagi kemarin dan seterusnya, tidak ada sapaan kopi pagi yang mengisi hari-hariku lebih tepatnya aku jenuh dengan itu atau lantunan merdu burung yang hinggap di pepohonan tak berhasil menarik minatku. Mentari tampak berhasil membuatku keluar dari penjara ternyamanku, keluar dan membiarkan sisa titik embun mengusik indra penciuman hingga menusuk relung kalbu, sungguh udara yang tenang. Kuayun langkah kaki menuju rutinitas yang tidak pernah berubah, lambaian dedaunan disepanjang jalan menyapa mesra, menari kecil dengan irama angin yang berhembus halus. Insan lain juga berjibaku dan mulai bergerak maju, hidup harus tetap melaju. Pandanganku teralihkan dengan semua kejadian itu, mentari yang hangat,deru angin yang lembut, insan yang kembali berjuang, dan hati yang menerka ada apa gerangan yang terjadi hari ini. Sepasang kaki masih setia menuntut arahku dan sanubari berbisik pada isi kepalaku tentang masa depan. Mulai menyusun rencana untuk sepanjang hari ini, tiba di sekolah dan menyapa hangat seluruh siswa di depan gerbang sekolah kemudian memasuki kelas dan mengajar seperti itulah gambaran yang terekam jelas di benakku, atau di waktu luang menikmati lagu yang disukai atau sekedar mengikuti trend seperti anak muda masa kini.
Hal yang tidak jarang dilakukan adalah mendengarkan lagu yang tanpa sadar membawaku kembali pada kenangan di momen tertentu, “Nothing gonna change my love for you” sebuah lirik yang membawaku pada kenangan dengan seorang teman. Dia begitu menyukai lagu ini dan sering menggoyangkan kepalanya dengan riang sembari menyanyikan lagu meski suaranya tidak merdu namun jemarinya lebih berbakat dalam memainkan piano dan gitar. Tuhan memang maha adil, menjadikan hambanya sempurna didalam ketidaksempurnaan. Namanya Daisy, gadis yang ramah dan sedikit tomboy memiliki hobby membaca jadi tidak heran kalau dia memiliki pemikiran yang unik. Aku sangat bersyukur pernah mengenalnya selama menempuh pendidikan jenjang perkuliahan.
Aku masih menikmati lagu itu yang semakin menuntun pada kenangan bersama Daisy, kami pernah pergi ke pantai bersama dan dia memang sangat suka pantai. “yeay.... Aku dapat vitamin Sea” ucapnya sembari menatap hamparan luas pesisir pantai dan tampak terpesona dengan deru ombak yang sekilas menyapa dengan mengacak rambut lurusnya. Aku begitu heran, apa istimewanya pantai dan laut, bukankah itu sangat misterius dan terdapat luka kehilangan didalamnya. Aku mengikuti langkah kakinya menikmati hamparan pasir putih, “ini namanya pantai Anyer ya?” tanyaku sebagai orang yang pertama kali menginjakkan kaki di tempat itu dan Daisy menganggukkan kepala. Entah apa isi percakapan kami lima tahun lalu, ternyata sudah sangat lama, bahkan foto kami berdua sudah hilang entah kemana.
Lagu berikutnya terus berputar, ternyata masih mengingatkanku kepadanya. Apakah memang kebetulan atau semesta ingin aku mengingatnya kembali. Daisy memang sangat menyukai lagu barat, namun semakin dalam aku mengingatnya kian hatiku bergetar antara rindu dan kehilangan. Sudah genap setahun Daisy meninggalkan dunia ini, aku merindukan sajak pantun yang memenuhi beranda sosial mediaku, atau fotonya ketika menikmati pantai dengan vitamin sea yang selalu dia gaungkan. Semesta memang penuh misteri, aku tidak pernah menyangka kalau gadis seceria dia akan pergi secepat itu bahkan dia belum menemukan tambatan hati yang selalu dia ungkapkan dalam pantun romantisnya. Kupikir penyakitnya sesederhana itu, tapi berhasil membuatku menahan nafas saat mendapat kabar duka itu.
Tiada lagi pantun alay dan romantis yang akan ditemukan, tiada lagi gadis yang ceria dan mendamba aroma deru ombak, atau tiada lagi gadis yang memainkan lagu celengan rindu dengan gitar. Sungguh kali ini aku yang akan mengisi celengan rindu itu, aku tidak pernah bertanya dengan dalam alasannya menyukai pantai. Aku hanya takut untuk menyentuh air asin itu, bahkan Daisy pernah menipu kalau itu tidak asin sama sekali dengan mengecap airnya dan membuatku tertantang untuk mencoba seolah tak percaya bila air laut yang didorong ombak sampai ke tepi itu akan berubah menjadi tawar. Aku sungguh tertipu hingga air mukaku sangat kusut membuat Daisy tertawa penuh kemenangan. Ombak itu memberikan irama yang asik dengan angin sejuk yang mendayu dan merayu agar mendekat hingga menyelam sangat dalam. Ombak juga telah mengajarkan antara perkenalan dan perpisahan. Deru ombak seolah membisikkan semuanya adalah ketidakkekalan, Deru ombak yang terus-menerus dan perubahan ombak yang tak pernah berhenti menjadi pengingat akan sifat sementara dari kehidupan dan perubahan yang tak terhindarkan. Mungkinkah seorang Daisy sudah lebih dulu memahaminya sehingga begitu ceria dan menghargai setiap momen dan keindahan yang ada?. Hatiku penuh tanya.
“Hai Daisy, aku mau ke pantai lagi. Meski bukan pantai Anyer, ke pantai manapun dan bermain seperti yang kita lakukan dulu” kata hatiku demikian merindu pada masa lalu yang ingin terulang kembali.
“Daisy, alunan piano yang kamu mainkan sangat menyentuh. Aku tak paham musik tapi saat mendengarnya ada kesedihan, haru namun ada juga ketenangan” ucapku kala itu saat mendengar harmoni yang kamu mainkan penuh penghayatan meski hanya semenit,
“iya, nanti aku bakal sering unggah” begitulah ucapmu sebulan sebelum pergi meninggalkan dunia ini. Bahkan aku mencari irama yang dimainkan kala itu namun tak kunjung kutemukan sampai saat ini.
Aku tau sosok Daisy bukanlah gadis yang lemah, dia tangguh dan percaya diri. Dia tidak mungkin menyerah untuk menjalani hidup hanya memilih untuk berserah pada sang Pencipta. Sosok gadis tangguh yang berjuang diusia 27 tahun menghadapi jarum dan pisau bedah beberapa kali, bercerita pernah takut namun memberi pujian untuk diri sendiri setiap kali berhasil di meja operasi yang bahkan hanya kubayangkan melalui penggalan film. Percakapan kala itu sangat panjang dan dapat kutemukan kekhawatiran di hati Daisy kala harus berjuang untuk sembuh, kini aku paham harmoni semenit itu yang mengalir lembut mengisahkan kesedihan, semangat dan harapannya. Dia bercerita panjang hingga membuatku tak percaya bahwa dia berada di titik terendah yang tersamarkan dengan pantun romantisnya. Bahkan tubuhnya yang kurus tak melunturkan senyum lebarnya, aku bahkan yakin masih bisa melihatnya sampai di hari pernikahnnya kelak. Penasaran dengan jodoh yang dikirim Tuhan untuknya, menerka akan menjadi sosok ibu seperti apa di masa depan. Namun, 27 tahun adalah angka yang istimewa baginya untuk mengakhiri semua luka, kepedihan, ketakutan, dan harapan didalam keabadian.
“Stop....Cukup....” jeritku dalam hati sembari menggelengkan kepala dan menghentikan alunan musik yang sejak tadi mengisi kekosongan waktu. Bila orang terkasihnya sudah ikhlas, lantas siapakah aku yang meronta kehilangan?. Dia cukup indah untuk dikenang dan meniru kepribadian uniknya. Tak ada yang abadi dalam hidup,seperti deru ombak yang datang dan pergi adalah pengingat ketidakkekalan segala sesuatu. Ombak penguasa laut yang tidak memiliki pagar sebagai penjara, laut yang luas itu tak memiliki pagar suka atau pagar duka. Laut itu akan tetap bebas dan lepas berkelana dengan ombak yang membawa banyak cerita. Sama seperti Daisy yang tidak memagar dirinya dalam kepedihan atau ketakutan, tidak menjadikan pagar sebagai penjara yang merenggut jiwa riangnya. Daisy tetap berjiwa bebas seperti ombak yang terus bergulung mesra dan berkelana seluas laut biru dan dalam.