Cerpen Mevira Fairuz Azzahra
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Hesa berdiri di tepi pantai, menatap luas ke arah lautan yang terus berdebur, seakan berbisik tentang kisah-kisah masa lalu yang perlahan tergantikan oleh zaman. Ombak datang bergulung-gulung, memecah dirinya di tepi pantai sebelum kembali menyatu dengan hamparan biru yang tak berujung. Angin laut yang kencang membelai rambutnya yang terurai, membawa serta aroma asin khas pesisir yang sejak kecil begitu akrab dengannya. Hembusannya terasa sejuk di kulit, tetapi ada sesuatu yang berbeda kali ini—sebuah perasaan asing yang membuat dadanya terasa sesak.
Di hadapannya, terhampar pagar pemecah ombak yang baru selesai dibangun, sebuah struktur beton yang berdiri kokoh membentang sepanjang garis pantai. Dinding tinggi itu menjadi batas antara daratan dan lautan, pemisah yang dirancang untuk menahan amukan gelombang yang semakin tak menentu. Pemerintah menyebutnya sebagai solusi, sebuah langkah nyata untuk melindungi desa dari ancaman abrasi dan gelombang pasang yang semakin sering datang belakangan ini. Namun, bagi Hesa, pagar itu bukan sekadar tembok penahan air—ia adalah simbol perubahan yang tak terelakkan, sebuah kenyataan pahit yang harus diterima meskipun hatinya menolak.
Sebagian warga menyambut keberadaan pagar laut itu dengan rasa syukur, menganggapnya sebagai penyelamat yang akan melindungi rumah dan tanah mereka dari ancaman air pasang. Tetapi tidak semua orang berpikir demikian.
Sejak kecil, Hesa telah hidup berdampingan dengan laut. Ombak adalah musik yang meninabobokannya setiap malam, angin laut adalah bisikan yang selalu menemani langkahnya, dan pasir pantai adalah lembaran tempat ia menuliskan impiannya. Ayahnya, Pak Ranta, adalah seorang nelayan yang menggantungkan hidup dari hasil tangkapan di perairan lepas. Setiap pagi buta, sebelum matahari naik dari balik cakrawala, ia telah berangkat melaut dengan perahu kayunya, menyusuri arus yang tak pernah sama setiap harinya.
Dulu, desa mereka begitu sejahtera. Ikan melimpah, air laut jernih, dan ombak yang datang selalu terasa bersahabat. Anak-anak bermain riang di tepi pantai, para nelayan kembali dengan perahu yang penuh hasil tangkapan, dan perempuan-perempuan desa sibuk menjemur ikan di halaman rumah. Laut adalah sumber kehidupan, anugerah yang tak pernah habis. Namun, seiring waktu, semuanya mulai berubah.
Laut perlahan menjadi ancaman. Air pasang naik tanpa peringatan, menggigit daratan sedikit demi sedikit, menggerus pantai yang dulu luas menjadi semakin sempit. Ombak yang dulu ramah kini lebih ganas, menghempaskan perahu-perahu nelayan yang tak sempat berlindung. Hujan lebat turun tanpa pola, menyebabkan banjir rob yang menggenangi rumah-rumah pesisir hingga air mencapai lutut. Warga mulai resah, beberapa meninggalkan desa untuk mencari kehidupan yang lebih pasti di kota, meninggalkan jejak mereka hanya sebagai kenangan yang tertinggal dalam buih ombak.
Hingga akhirnya, pemerintah memutuskan membangun pagar laut sebagai solusi.
"Pagar ini akan melindungi kita," kata seorang pejabat saat peresmian pembangunan beberapa bulan lalu. Suaranya lantang, penuh keyakinan. "Tak akan ada lagi rumah yang hanyut oleh air pasang. Tak akan ada lagi tangisan kehilangan."
Bagi sebagian warga, pagar laut adalah harapan. Sebuah janji akan keamanan, perlindungan dari amukan gelombang yang semakin tidak bisa diprediksi. Namun, bagi nelayan seperti Pak Ranta, pagar itu adalah batas. Pemisah antara mereka dan laut yang selama ini telah memberi kehidupan.
"Laut bukanlah musuh," gumam ayah Hesa saat pertama kali melihat pagar itu berdiri. Suaranya nyaris tertelan oleh deru ombak yang pecah di beton pemecah gelombang. "Tapi sekarang, seakan kita dikurung darinya."
Hari-hari berlalu, dan kehidupan di desa berubah. Nelayan semakin sulit melaut karena akses ke perairan menjadi terbatas. Pagar laut memang mampu meredam gelombang besar, tetapi juga mengubah arus air di sekitar pantai. Beberapa spesies ikan yang biasa ditangkap mulai menghilang, berpindah ke tempat yang lebih dalam dan sulit dijangkau. Hasil tangkapan menurun drastis, membuat banyak nelayan memilih beralih profesi atau merantau ke kota untuk bekerja sebagai buruh di pelabuhan atau pabrik.
Suatu hari, ketika matahari mulai tenggelam, Hesa duduk di atas sebuah batu besar di pantai, ditemani Pak Ranta yang kini tampak semakin menua. Wajah ayahnya dipenuhi garis-garis kehidupan yang diukir oleh matahari dan laut. Tangannya kasar, kulitnya terbakar oleh garam dan angin.
"Apa kau masih ingin jadi nelayan, Hesa?" tanya ayahnya tiba-tiba, matanya tetap menatap laut yang bergelombang lembut di kejauhan. Hesa terdiam, mencoba mencari jawaban di antara desiran angin dan riak ombak yang menyentuh kakinya. "Aku tidak tahu, Ayah. Rasanya seperti laut tidak menginginkanku lagi."
Pak Ranta tersenyum tipis, senyum yang menyimpan kepedihan sekaligus kebijaksanaan. "Laut tidak menolak kita, Nak. Kita hanya harus menemukan cara baru untuk memahaminya." Hesa menoleh ke arah ayahnya, mencari makna di balik kata-katanya. "Kita tidak bisa terus melawan perubahan," lanjut Pak Ranta. "Tapi kita bisa belajar beradaptasi."
Hesa terdiam, merenungkan kata-kata ayahnya. Ia menyadari bahwa laut memang tidak akan pernah sama seperti dulu, tetapi itu bukan berarti ia harus menyerah begitu saja. Ia mulai memikirkan berbagai kemungkinan—teknologi perikanan yang lebih modern, cara baru untuk menangkap ikan tanpa harus melaut terlalu jauh, atau bahkan budidaya perikanan yang bisa mereka kelola sendiri tanpa bergantung pada laut yang semakin tak terduga.
Beberapa minggu kemudian, setelah melewati banyak malam dengan mata yang tetap terjaga dan pikiran yang terus berputar, Hesa menemukan sebuah ide. Ia menyadari bahwa dunia telah berubah, begitu pula cara manusia berinteraksi dengan alam. Jika laut tak lagi bisa memberi mereka hasil yang sama seperti dulu, mungkin sudah waktunya mereka belajar cara baru untuk mengambil berkah darinya.
Ia mulai mencari tahu tentang teknologi perikanan modern, membaca buku-buku yang ia temukan di perpustakaan desa yang mulai berdebu. Internet yang kadang tersendat tak menghalanginya untuk menonton video dan membaca jurnal tentang bagaimana nelayan di berbagai negara bisa tetap menangkap ikan tanpa harus bertarung dengan gelombang. Ia mempelajari akuakultur lepas pantai—budidaya ikan di perairan terbuka yang memanfaatkan arus laut alami untuk menjaga ekosistem tetap seimbang.
Namun, ada satu hal yang paling menarik perhatiannya: keramba jaring apung. Teknologi ini memungkinkan mereka membudidayakan ikan di laut tanpa harus berlayar jauh, tanpa perlu mempertaruhkan nyawa di tengah gelombang yang semakin ganas. Dan yang lebih penting, mereka bisa memanfaatkan pagar laut yang selama ini dianggap sebagai penghalang.
Jika pagar itu tidak bisa dihilangkan, mengapa tidak menjadikannya sebagai bagian dari solusi?
Dengan tekad yang baru, Hesa mulai mengumpulkan teman-temannya—pemuda-pemuda desa yang masih bertahan, yang masih memiliki harapan meski kecil. Awalnya, mereka ragu. "Apa mungkin?" tanya seorang di antara mereka. "Kita ini nelayan, bukan petani ikan."
"Tapi nelayan tak hanya menangkap," jawab Hesa mantap. "Mereka juga memahami laut. Kita bisa belajar, bisa mencoba. Jika berhasil, kita tak perlu lagi bergantung pada tangkapan yang semakin langka."
Dengan semangat yang perlahan menyala, mereka mulai membangun keramba apung di sekitar pagar laut. Tak mudah. Mereka harus mengukur arus, mencari bahan yang cukup kuat untuk bertahan dari ombak, dan memastikan ikan yang mereka budidayakan bisa tumbuh dengan baik. Modal yang mereka miliki pun terbatas. Namun, mereka tidak menyerah.
Bulan pertama adalah ujian. Beberapa ikan mati karena mereka belum memahami cara terbaik untuk menjaga keseimbangan air. Ada malam-malam ketika mereka harus berjaga karena ombak hampir menghancurkan keramba. Namun, mereka terus belajar, terus memperbaiki.
Lalu, perubahan mulai terjadi.
Ikan-ikan mulai tumbuh. Jaring yang dulunya kosong kini mulai penuh dengan gerakan ikan yang lincah. Perlahan, hasilnya terlihat. Mereka berhasil memanen ikan pertama mereka, meskipun jumlahnya belum banyak. Tapi itu cukup untuk membuktikan bahwa ide mereka bukan sekadar angan-angan.
Suatu hari, saat mereka mengangkat jaring dan melihat ikan-ikan menggelepar di dalamnya, Hesa tersenyum puas. "Laut memang berubah," katanya, suaranya hampir tenggelam dalam riuh angin dan ombak. "Tapi bukan berarti kita harus meninggalkannya. Kita hanya perlu cara baru untuk hidup dengannya."
Berita tentang keberhasilan kecil mereka menyebar ke seluruh desa. Orang-orang yang dulu skeptis mulai tertarik. Beberapa nelayan tua datang melihat dan mengangguk pelan, seakan mengakui bahwa mungkin ada harapan baru bagi mereka. Tak lama kemudian, banyak nelayan yang kembali karena melihat peluang yang diciptakan oleh Hesa dan teman- temannya. Desa yang dulu hampir ditinggalkan kini mulai hidup kembali. Ia mulai mencari cara agar metode mereka lebih ramah lingkungan. Mereka mulai menanam bakau di sekitar pantai untuk mengurangi abrasi dan meningkatkan populasi ikan alami. Mereka bahkan mencoba sesuatu yang lebih besar, membangun kawasan konservasi kecil di sekitar pagar laut. Dengan bantuan dari beberapa pihak yang tertarik pada proyek mereka.
Hesa juga menyadari bahwa perubahan tidak hanya harus terjadi di laut, tetapi juga di pikiran masyarakat.
Suatu sore, saat mereka duduk bersama di atas pasir yang mulai dingin, seorang anak kecil menatap laut dengan mata penuh tanya dan bertanya, "Kak Hesa, apakah laut akan selalu berubah?"
Hesa tersenyum, menatap anak itu dengan lembut. "Ya," katanya pelan, membiarkan kata- katanya mengalir seperti angin laut. "Laut akan selalu berubah. Tapi selama kita mau belajar dan beradaptasi, kita tetap bisa hidup bersamanya."
Di tepi pantai, Hesa berdiri menatap laut yang telah lama menjadi bagian dari hidupnya. Ombak terus berdebur, angin terus berhembus, dan pagar laut tetap berdiri kokoh. Tetapi kali ini, ia tidak lagi melihatnya sebagai penghalang. Ia melihatnya sebagai kesempatan.
Laut tidak akan pernah kembali seperti dulu. Tidak ada yang bisa mengembalikannya ke masa lalu. Namun, di tengah perubahan, selalu ada cara untuk bertahan.
Hesa kini mengerti satu hal: bukan laut yang telah meninggalkan mereka. Mereka hanya perlu memahami cara baru untuk tetap menjadi bagiannya.
"Laut akan selalu ada," bisiknya, seakan berbicara pada ombak yang datang dan pergi. "Dan kita akan selalu menemukan cara untuk hidup bersamanya."