Saturday, March 1, 2025

Cerpen Lomba | Miss Lou | Dalam Belenggu Rahasia

Cerpen Miss Lou



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


Petir membelah langit, menyoroti pagar laut berstruktur baja dan titanium setinggi 30 meter. Pagar ini bukan sekadar penghalang, melainkan barikade yang membentang sejauh mata memandang, menghalangi apa pun yang ada di baliknya dengan pilar-pilar penyangga tertanam di dasar laut. 


Di atasnya, platform pengawasan tempat Ceo Varkas berdiri terbuat dari baja tahan karat, membentuk jalur jembatan gantung di sepanjang pagar laut dengan teknologi berupa sensor tekanan dan peringatan otomatis. Lantai platform berlubang-lubang kecil agar air hujan dan ombak tak menggenang di permukaannya


Ombak raksasa menggempur pagar itu, menimbulkan suara gemuruh yang mengguncang platform. Sensor di pergelangan tangannya berkedip merah. Tekanan: 105%. Struktur: Kritis.


"Tekanan air meningkat!" teriak Irke, rekan Ceo, suaranya nyaris tenggelam dalam badai.


Retakan menggema. Baja melengking sebelum akhirnya patah seperti ranting. Platform bergetar hebat. Ceo tersentak mundur, tetapi gravitasi menelannya lebih dulu.


Dingin menggigit ketika tubuhnya menghantam air. Arus deras menggulungnya ke bawah. Ia berusaha berenang ke atas, tetapi sesuatu menariknya lebih dalam.


***


Kesadaran kembali menyentak Ceo. Napasnya tersengal, paru-parunya terasa terbakar oleh air asin. Ia terbatuk, menggeliat di atas pasir kasar. Langit biru membentang luas di atasnya, berbeda dari badai kelam yang terakhir ia ingat.


Namun, ada sesuatu yang berbeda.


Udara terasa lebih sejuk. Matahari bersinar dengan semburat warna kehijauan, berbeda dari biasa. Suara ombak, angin, dan kicauan burung di kejauhan terdengar lebih tajam. Ia menatap tangannya yang basah dan tetesannya jatuh lebih lambat. Gravitasi di sini lebih ringan. Tampaknya ini bukan dunia yang ia kenal.


"Dia sadar. Beri tahu Lord Halimau." Suara perempuan berambut perak dengan jubah panjang tertiup angin pantai terdengar.


Ceo ingin bertanya, tetapi tubuhnya masih terlalu lemah. Rasa lelah menahannya, membawanya kembali ke dalam gelap.


***


Cahaya temaram lilin menari di dinding batu. Aroma kayu bakar bercampur sesuatu yang asing—rempah yang tak pernah ia cium sebelumnya membuat udara di ruangan itu lebih padat.


Ceo terbangun di atas ranjang sederhana dengan seprai kasar yang lebih kaku daripada kain biasa. Mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya redup, Ceo mengedarkan pandangan.


Ruangan itu terasa kuno, seperti bagian dari kastel dalam dongeng. Pilar-pilar batu menopang langit-langit tinggi, dan jendela sempit berkisi-kisi membiarkan angin dingin masuk. Perapian yang menyala di sudut membentuk bayangan panjang seiring api menari.


Tiga sosok mengawasinya.


Salah satunya adalah perempuan berambut perak yang ia lihat di pantai. Di sisi lain, seorang pria jangkung berjubah gelap dengan wajah tirus dan mata tajam. Dan di tengah mereka, seorang pria yang terlihat seperti pemimpin mereka duduk di kursi kayu berukir. Rambut hitam pekatnya disisir ke belakang. Matanya emas bercahaya.


Seketika Ceo merasa semakin yakin—ini bukan dunianya.


"Siapa kau, dan bagaimana kau bisa muncul di perbatasan laut?" Suara pria di kursi itu berat dan berwibawa."


Ceo menelan ludah. Tenggorokannya kering.


"Mungkin ada hubungannya dengan pagar laut," perempuan itu angkat bicara, suaranya datar.


Pria di kursi itu menyipitkan mata. "Apakah itu teknologi asing?"


Ceo terdiam. Mereka tidak tahu tentang pagar laut?


"Jawab!" Suara pria itu menggelegar.


Ceo meneguk ludah. "Namaku Ceo Varkas. A-aku seorang insinyur yang bekerja di pagar laut, t-tapi badai menghancurkannya. Sepertinya aku tenggelam."


Hening sesaat. Mata emas itu menelisik, mencari kebohongan.


"Dan makhluk yang bersamamu?"


Jantung Ceo berdegup kencang. "Makhluk … ?"


Salah satu penjaga mengayunkan tangan. Pintu ruangan terbuka, dua prajurit menyeret sesuatu ke dalam.


Ceo menahan napas. Di lantai, tergeletak sosok besar berkulit licin, tubuhnya masih meneteskan air. Makhluk itu menyerupai ikan pari biru dengan sirip lebar di kedua lengannya. Ekornya meruncing seperti tombak, dengan duri-duri kecil. Kakinya pendek dan ceper berwarna hijau tua.


Mata bulatnya besar, kelam seperti malam. Pupilnya bersinar keperakan. Di sana, Ceo melihat pantulan dirinya yang kecil dan rapuh saat ini.


Pria di kursi berdiri, menyipitkan mata. "Kau membawa sesuatu dari laut yang tak seharusnya menjejak tanah kami."


***


Ruangan itu terasa semakin sesak saat makhluk laut itu menggeliat, kulitnya yang lembap berkilauan di bawah cahaya lilin. Para penjaga erat menggenggam gagang pedang, siap mencabutnya kapan saja. Namun, makhluk itu tidak menunjukkan tanda-tanda menyerang. Ia hanya menatap Ceo, seolah-olah menunggunya.


"Apa kau bisa berbicara?" Pria itu bertanya dengan nada dingin. Ia kembali duduk.


Makhluk itu tidak menjawab. Tubuhnya bergerak sedikit, sirip-sirip tajam di punggungnya bergetar halus. Lalu, ia membuka mulut dan mengeluarkan suara berupa rangkaian nada yang terdengar seperti bahasa asing tetapi anehnya … familier bagi Ceo.


Suara itu menggema langsung di benaknya dalam kata-kata yang ia mengerti tanpa pernah mempelajarinya.


"Namaku Taroham," suara itu bergema dalam pikirannya. "Aku tahu kau bisa mendengarku."


Perempuan berambut perak itu tersentak. Tatapan dinginnya berubah sekejap sebelum kembali mengeras. 


Ceo membelalak. Taroham berbicara dengan pikirannya?


"Ceo, jangan percaya mereka. Pagar laut bukan untuk melindungi manusia dari kami, tapi untuk mengurung kami. Lord Halimau, pria di kursi itu, tahu kenyataannya."


Ketukan jari Lord Halimau di kursi mengisyaratkan ketidaksabarannya. "Pisahkan mereka! Ceo, kau akan dikurung sampai kami tahu siapa dirimu sebenarnya. Makhluk ini… akan kami interogasi dengan cara kami sendiri."


Ceo tersentak. "Tunggu! Ia tidak berbahaya!"


Mata emas Lord Halimau menyipit, bibirnya tersenyum tipis. "Orang yang putus asa akan mengatakan apa saja agar bisa hidup lebih lama."


Para penjaga mulai menyeret Taroham menjauh, dan saat itu, Ceo melihatnya menggerakkan mulutnya sekali lagi, mengucapkan sesuatu yang tidak bisa didengar oleh siapa pun kecuali dirinya.


"Jangan tinggalkan aku."


***


Malam menyelimuti kastel dengan keheningan yang menegangkan. Cahaya obor berpendar di sepanjang lorong batu, mengukir bayangan para penjaga yang berpatroli. Ceo merapat ke dinding, jantungnya berdegup kencang. Di sisi lain penjara bawah tanah, terdengar geraman lemah dari Taroham.


Ia seharusnya masih di balik jeruji besi—kalau saja bukan karena Sakuwah.


Perempuan berambut perak itu datang diam-diam membebaskan Ceo. Sakuwah menyelipkan sebuah kantong kecil dan kunci ke tangan Ceo sebelum berbisik, "Gunakan ini. Ini serbuk tidur dari tanah kelahiranku. Cukup lemparkan ke tanah, dan mereka akan tak sadarkan diri dalam hitungan detik."


Ceo sempat ragu. "Kenapa kau menolongku?"


Sakuwah menghela napas. "Aku yakin kau bukan berasal dari sini. Aku pernah mendengar kisah tentang dunia lain, dan mungkin ... kau buktinya. Selain itu, kau mendengar suara Taroham, bukan? Itu artinya, kau punya keterkaitan dengan dunia mereka, entah kau menyadarinya atau tidak."


"Lord Halimau tidak akan membiarkanmu hidup," lanjut Sakuwah. "Ia takut pada apa yang mungkin kau ketahui. Jika pagar laut runtuh, berarti batas antara dunia kita dan dunia mereka juga runtuh. Kau ... mungkin adalah kunci untuk menguak kebenaran. Aku tidak tahu pasti apa peranmu dalam hal ini, tetapi aku tidak bisa membiarkan mereka membunuhmu sebelum kau mengetahuinya sendiri."


Tanpa pilihan lain, Ceo melarikan diri. Sekarang, dengan napas tertahan, ia melangkah pelan menuju gerbang besi. Dua penjaga berjaga di depan sel Taroham. Ia merogoh kantong kecil berisi serbuk halus beraroma tajam. Tanpa ragu, ia melemparkannya ke tanah.


Dalam hitungan detik, asap putih mengepul. Para penjaga tersentak, batuk-batuk keras, tangan mereka meraba-raba udara. Ceo menerjang maju. Satu pukulan ke tengkuk, lalu yang lain ke rahang. Dua penjaga jatuh.


Jari-jarinya bekerja cepat membuka kunci sel. Pintu berderit pelan.


Taroham menatapnya. Matanya menyala di bawah cahaya obor. "Kau kembali …"


"Aku tidak akan meninggalkanmu." Ceo menarik lengannya. "Kita harus pergi."


Langkah kaki menggema di lorong. 


Mereka ketahuan.


"Ke sana! Tangkap mereka!"


Ceo mengumpat. Tidak ada jalan keluar. Lalu, ia melihat jendela besar menghadap laut. Arus pasang surut berkilauan di bawahnya, jurang menganga antara mereka dan kebebasan.


"Lompat," suara makhluk itu bergema dalam pikirannya.


Ceo menatapnya. "Kau yakin?"


Prajurit semakin dekat. Ceo menggenggam tangan makhluk itu dan melompat.


Udara berdesing di telinganya. Air laut mendekat dengan kecepatan menakutkan.


***


Dunia kembali dalam kesunyian. Air laut menyelimuti mereka, dinginnya meresap hingga ke tulang. Ceo berusaha menahan napas, tetapi tubuhnya mulai kehilangan tenaga. Gelombang arus membawanya lebih dalam, ke dalam kehampaan tak berujung.


Kehangatan sekejap menyelimuti tubuh Ceo. Cahaya lembut bersinar di sekeliling mereka. Taroham menatapnya dengan mata bercahaya, tekanan air di dadanya menghilang.


"Aku tidak bisa membiarkanmu mati di sini." Suara itu bergaung di kepalanya.


Ceo menatap ke bawah. Mereka melayang di dalam kubah transparan yang berpendar kehijauan. Lalu kubah mulai turun, membawa mereka ke dasar laut. Seiring mereka mendekati dasar, reruntuhan kota mulai terlihat—pilar-pilar batu raksasa yang dihiasi ukiran kuno, patung-patung besar yang sebagian telah tertutup terumbu karang. Kota yang megah, kini terkubur dalam kesunyian abadi.


Ceo menelan ludah. "I-ini apa?"


Taroham menjelaskan. "Dulu, peradaban kami hidup berdampingan dengan manusia, berbagi dunia yang sama. Namun, penguasa tamak menciptakan pagar laut untuk mengisolasi kami. Kami memiliki kemampuan unik dalam bentuk teknologi, sihir, dan koneksi mendalam dengan laut. Mereka takut bahwa kami akan menguasai dunia."


Hati Ceo mencelos. "Jadi pagar laut itu ... menahan kalian di sini?"


"Saat pagar laut melemah dan runtuh, ia membuka celah antara dunia kita. Itulah sebabnya kau terlempar ke sini. Kau bukan sekadar korban badai, Ceo."


"Dan Lord Halimau ..." lanjut Taroham. "Punya alasan. Jika rakyatnya tahu pagar laut bukanlah perlindungan, tetapi alat penindasan, kekuasaannya akan runtuh."


Ceo belum sempat mencerna semuanya ketika getaran hebat mengguncang kubah. Dari kegelapan, muncul siluet masif yang bergerak cepat. 


Pasukan Lord Halimau datang.


Taroham terbelalak. "Kita harus pergi!"


Ceo menatap ke atas, lalu ke makhluk di sampingnya. Rahangnya mengeras.


Pilihan ada di tangannya—tetap di sini dan mengungkap rahasia peradaban yang hilang, atau kembali ke dunia manusia sebelum semuanya terlambat.


Sebelum Ceo mengambil keputusan, kekuatan dahsyat menerjang kubah itu.