Dahulu kala, di sebuah
pulau yang makmur dengan hasil lautnya, hiduplah masyarakat yang damai dan
sejahtera. Mereka menggantungkan hidup pada laut yang kaya, namun suatu hari,
sesuatu yang aneh terjadi. Sebuah pagar laut muncul secara misterius, membentang
dari ujung timur hingga ujung barat perairan pulau itu. Tak ada yang tahu
bagaimana pagar itu terbentuk. Beberapa warga percaya bahwa pagar itu dibangun
dalam semalam oleh kekuatan yang tidak diketahui, sementara yang lain bersaksi
bahwa itu adalah hukuman dari kerajaan bawah laut karena manusia telah merusak
kedamaian di dasar laut.
Suatu sore, seorang anak kecil bernama Raka bermain di tepi pantai, tak
jauh dari pagar laut yang misterius itu. Ia tengah mencari kerang ketika
matanya menangkap sosok dua orang berjubah hitam di dekat pagar. Mereka
berbicara dengan nada geram.
“Kamu ini gimana sih? Kok nggak becus ngerjainnya? Seharusnya pagar ini
sampai ke ujung sana!” bentak salah satu dari mereka.
Mendengar itu, Raka
merasa takut dan segera berlari pulang dengan wajah pucat. Setibanya di rumah,
ia langsung mengadu kepada ayahnya, Pak Sarman.
“Pak, ta-ta-tadi aku liat ada dua orang misterius di dekat pagar laut...
Mereka marah-marah, Pak!” ucap Raka dengan suara bergetar.
Pak Sarman mengernyit.
“Di mana, Nak? Coba tunjukkan kepada Bapak.”
Mereka kembali ke
pantai, tetapi kedua sosok berjubah hitam itu sudah menghilang. Yang tersisa
hanyalah jejak kaki basah yang mengarah ke dalam hutan di tepi pantai. Pak
Sarman mengikuti jejak itu dengan hati-hati, sementara Raka mulai merasa ragu
dan ketakutan.
“Nak, kamu pulang dulu, ya. Biar Bapak yang melihat lebih jauh,” kata Pak
Sarman lembut.
“Tapi, kalau terjadi apa-apa sama Bapak, gimana?” tanya Raka cemas.
“Tenang saja, Nak. Jika Bapak tak pulang, panggil ibumu, ya?”
Dengan berat hati, Raka mengangguk dan berlari pulang. Sementara itu, Pak
Sarman melanjutkan perjalanannya, mengikuti jejak kaki yang basah hingga ia
tiba di sebuah gua tersembunyi di balik pepohonan rindang.
Gua itu terasa dingin dan
lembap. Pak Sarman berjalan perlahan, menahan napas saat mendengar suara lirih
dari dalam gua.
“Nanti pagar di laut sana harus diteruskan, sampai ke ujung...” suara itu
terdengar seperti bisikan dari dunia lain.
Pak Sarman bersembunyi di balik batang bambu yang tumbuh di mulut gua. Ia
mengintip ke dalam dan melihat dua sosok berjubah hitam itu berdiri
mengelilingi sebuah batu besar yang bersinar redup. Pak Sarman menahan
napasnya, khawatir jika dirinya ketahuan.
Namun tiba-tiba, salah
satu dari mereka menoleh ke arah tempatnya bersembunyi. Pak Sarman langsung
berjongkok, berusaha menyatu dengan kegelapan. Ia berharap mereka tidak
menyadari kehadirannya.
“Ada yang mengawasi kita...” ucap salah satu dari mereka.
“Kita harus pergi sekarang,” jawab yang lainnya.
Mereka berdua melangkah keluar dari gua dengan cepat. Pak Sarman mencoba
mengejar mereka, tetapi begitu ia keluar dari gua, sosok itu sudah lenyap tanpa
jejak. Hanya ada udara dingin yang berhembus, membuat bulu kuduknya meremang.
Pak Sarman mengusap wajahnya yang berkeringat. “Sebenarnya, ada apa ini?”
gumamnya.
Ia pulang dengan langkah
tergesa, hatinya dipenuhi dengan pertanyaan yang tak terjawab. Setibanya di
rumah, Raka dan istrinya, Bu Sarmi, menyambutnya dengan cemas.
“Pak, kenapa wajahmu pucat begitu?” tanya Bu Sarmi.
Pak Sarman menarik napas
panjang. “Aku melihat sesuatu yang aneh. Pagar laut itu... sepertinya memang
bukan buatan manusia biasa.”
Sejak malam itu, Pak Sarman tak bisa tidur. Ia terus memikirkan apa yang
telah dilihatnya di dalam gua. Rasa penasaran dan ketakutan bercampur menjadi
satu.
Keesokan harinya, ia
memutuskan untuk mengumpulkan para tetua desa dan menceritakan kejadian yang
dialaminya. Para tetua terdiam sejenak, sebelum akhirnya Kakek Wira, yang
paling tua di antara mereka, angkat bicara.
“Sudah lama aku mendengar cerita tentang kerajaan bawah laut yang murka
kepada manusia. Mereka mengirim utusan untuk membangun pagar laut agar kita
tidak lagi bisa mengambil hasil laut seenaknya. Tapi, pagar itu seharusnya
belum selesai... dan jika pagar itu benar-benar selesai, kita semua akan
terjebak di pulau ini tanpa sumber daya,” ujar Kakek Wira dengan suara
bergetar.
Pak Sarman merinding.
“Jadi, kita harus menghentikan mereka sebelum pagar itu selesai?”
Kakek Wira mengangguk.
“Ya. Tapi kita harus mencari cara untuk berkomunikasi dengan mereka dan meminta
maaf. Jika tidak, kita akan kehilangan laut kita selamanya.”
Malam itu, Pak Sarman dan beberapa pemuda desa berkumpul di pantai,
membakar dupa, dan melantunkan doa. Mereka berharap utusan dari kerajaan bawah
laut akan muncul. Angin bertiup kencang, ombak berdebur lebih keras dari
biasanya, dan tiba-tiba... bayangan dua sosok berjubah hitam itu muncul di atas
air.
“Kenapa kalian memanggil kami?” tanya salah satu dari mereka dengan suara
yang bergema.
Pak Sarman memberanikan
diri melangkah maju. “Kami ingin meminta maaf. Kami tak tahu bahwa kami telah
merusak laut kalian. Kami mohon, hentikan pembangunan pagar ini. Kami akan
menjaga laut dengan lebih bijak.”
Dua sosok berjubah hitam itu saling bertukar pandang. “Permintaan maaf
kalian kami dengar, tapi itu belum cukup. Kalian harus membuktikan niat baik
kalian. Jika dalam tujuh hari ke depan tidak ada lagi yang merusak laut, kami
akan menghentikan pembangunan pagar laut. Tapi jika ada yang melanggar... maka
pagar ini akan selesai dan menutup akses kalian selamanya.”
Setelah mengatakan itu,
mereka lenyap ke dalam ombak.
Pak Sarman memandangi laut yang bergelombang, merasa ada sesuatu yang belum
selesai. Namun, sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, ombak perlahan berpendar
dengan cahaya biru yang aneh. Dari dalamnya, muncul sosok wanita berkulit biru
kehijauan dengan mata berkilauan seperti mutiara.
“Namaku Nyai Laut. Aku perwakilan dari kerajaan bawah air,” ucapnya dengan
suara merdu. “Jika kalian benar-benar ingin menjaga laut ini, kalian harus
membuktikan dengan tindakan nyata. Aku akan mengawasi kalian dari dalam air.
Jika kalian gagal... kalian akan kehilangan laut ini untuk selamanya.”
Setelah berkata demikian, Nyai Laut kembali menyatu dengan ombak. Pak
Sarman sadar, tugas mereka baru saja dimulai.
Akhirnya, Pak Sarman
bersama seluruh warga desa bekerja sama membersihkan laut dari sampah dan
limbah yang telah mencemari perairan mereka. Selain itu, mereka mulai
membudidayakan terumbu karang dengan hati-hati, menanamnya di dasar laut agar
ekosistem kembali seimbang. Dengan penuh semangat, mereka berusaha membuktikan
bahwa mereka benar-benar peduli dan bertanggung jawab atas kelestarian laut.
Setelah melihat kesungguhan mereka, Nyai Laut pun luluh hatinya. Ia akhirnya
memutuskan untuk menghapus pagar laut yang selama ini membatasi akses mereka,
sebagai tanda perdamaian antara manusia dan kerajaan bawah laut.