Saturday, March 15, 2025

Cerpen Lomba | M.Khaninul Khasan | Legenda Pagar Laut


Dahulu kala, di sebuah pulau yang makmur dengan hasil lautnya, hiduplah masyarakat yang damai dan sejahtera. Mereka menggantungkan hidup pada laut yang kaya, namun suatu hari, sesuatu yang aneh terjadi. Sebuah pagar laut muncul secara misterius, membentang dari ujung timur hingga ujung barat perairan pulau itu. Tak ada yang tahu bagaimana pagar itu terbentuk. Beberapa warga percaya bahwa pagar itu dibangun dalam semalam oleh kekuatan yang tidak diketahui, sementara yang lain bersaksi bahwa itu adalah hukuman dari kerajaan bawah laut karena manusia telah merusak kedamaian di dasar laut.

Suatu sore, seorang anak kecil bernama Raka bermain di tepi pantai, tak jauh dari pagar laut yang misterius itu. Ia tengah mencari kerang ketika matanya menangkap sosok dua orang berjubah hitam di dekat pagar. Mereka berbicara dengan nada geram.

“Kamu ini gimana sih? Kok nggak becus ngerjainnya? Seharusnya pagar ini sampai ke ujung sana!” bentak salah satu dari mereka.

Mendengar itu, Raka merasa takut dan segera berlari pulang dengan wajah pucat. Setibanya di rumah, ia langsung mengadu kepada ayahnya, Pak Sarman.

“Pak, ta-ta-tadi aku liat ada dua orang misterius di dekat pagar laut... Mereka marah-marah, Pak!” ucap Raka dengan suara bergetar.

Pak Sarman mengernyit. “Di mana, Nak? Coba tunjukkan kepada Bapak.”

Mereka kembali ke pantai, tetapi kedua sosok berjubah hitam itu sudah menghilang. Yang tersisa hanyalah jejak kaki basah yang mengarah ke dalam hutan di tepi pantai. Pak Sarman mengikuti jejak itu dengan hati-hati, sementara Raka mulai merasa ragu dan ketakutan.

“Nak, kamu pulang dulu, ya. Biar Bapak yang melihat lebih jauh,” kata Pak Sarman lembut.

“Tapi, kalau terjadi apa-apa sama Bapak, gimana?” tanya Raka cemas.

“Tenang saja, Nak. Jika Bapak tak pulang, panggil ibumu, ya?”

Dengan berat hati, Raka mengangguk dan berlari pulang. Sementara itu, Pak Sarman melanjutkan perjalanannya, mengikuti jejak kaki yang basah hingga ia tiba di sebuah gua tersembunyi di balik pepohonan rindang.

Gua itu terasa dingin dan lembap. Pak Sarman berjalan perlahan, menahan napas saat mendengar suara lirih dari dalam gua.     

“Nanti pagar di laut sana harus diteruskan, sampai ke ujung...” suara itu terdengar seperti bisikan dari dunia lain.

Pak Sarman bersembunyi di balik batang bambu yang tumbuh di mulut gua. Ia mengintip ke dalam dan melihat dua sosok berjubah hitam itu berdiri mengelilingi sebuah batu besar yang bersinar redup. Pak Sarman menahan napasnya, khawatir jika dirinya ketahuan.

Namun tiba-tiba, salah satu dari mereka menoleh ke arah tempatnya bersembunyi. Pak Sarman langsung berjongkok, berusaha menyatu dengan kegelapan. Ia berharap mereka tidak menyadari kehadirannya.

“Ada yang mengawasi kita...” ucap salah satu dari mereka.

“Kita harus pergi sekarang,” jawab yang lainnya.

Mereka berdua melangkah keluar dari gua dengan cepat. Pak Sarman mencoba mengejar mereka, tetapi begitu ia keluar dari gua, sosok itu sudah lenyap tanpa jejak. Hanya ada udara dingin yang berhembus, membuat bulu kuduknya meremang.

Pak Sarman mengusap wajahnya yang berkeringat. “Sebenarnya, ada apa ini?” gumamnya.

Ia pulang dengan langkah tergesa, hatinya dipenuhi dengan pertanyaan yang tak terjawab. Setibanya di rumah, Raka dan istrinya, Bu Sarmi, menyambutnya dengan cemas.

“Pak, kenapa wajahmu pucat begitu?” tanya Bu Sarmi.

Pak Sarman menarik napas panjang. “Aku melihat sesuatu yang aneh. Pagar laut itu... sepertinya memang bukan buatan manusia biasa.”

Sejak malam itu, Pak Sarman tak bisa tidur. Ia terus memikirkan apa yang telah dilihatnya di dalam gua. Rasa penasaran dan ketakutan bercampur menjadi satu.

Keesokan harinya, ia memutuskan untuk mengumpulkan para tetua desa dan menceritakan kejadian yang dialaminya. Para tetua terdiam sejenak, sebelum akhirnya Kakek Wira, yang paling tua di antara mereka, angkat bicara.

“Sudah lama aku mendengar cerita tentang kerajaan bawah laut yang murka kepada manusia. Mereka mengirim utusan untuk membangun pagar laut agar kita tidak lagi bisa mengambil hasil laut seenaknya. Tapi, pagar itu seharusnya belum selesai... dan jika pagar itu benar-benar selesai, kita semua akan terjebak di pulau ini tanpa sumber daya,” ujar Kakek Wira dengan suara bergetar.

Pak Sarman merinding. “Jadi, kita harus menghentikan mereka sebelum pagar itu selesai?”

Kakek Wira mengangguk. “Ya. Tapi kita harus mencari cara untuk berkomunikasi dengan mereka dan meminta maaf. Jika tidak, kita akan kehilangan laut kita selamanya.”

Malam itu, Pak Sarman dan beberapa pemuda desa berkumpul di pantai, membakar dupa, dan melantunkan doa. Mereka berharap utusan dari kerajaan bawah laut akan muncul. Angin bertiup kencang, ombak berdebur lebih keras dari biasanya, dan tiba-tiba... bayangan dua sosok berjubah hitam itu muncul di atas air.

“Kenapa kalian memanggil kami?” tanya salah satu dari mereka dengan suara yang bergema.

Pak Sarman memberanikan diri melangkah maju. “Kami ingin meminta maaf. Kami tak tahu bahwa kami telah merusak laut kalian. Kami mohon, hentikan pembangunan pagar ini. Kami akan menjaga laut dengan lebih bijak.”

Dua sosok berjubah hitam itu saling bertukar pandang. “Permintaan maaf kalian kami dengar, tapi itu belum cukup. Kalian harus membuktikan niat baik kalian. Jika dalam tujuh hari ke depan tidak ada lagi yang merusak laut, kami akan menghentikan pembangunan pagar laut. Tapi jika ada yang melanggar... maka pagar ini akan selesai dan menutup akses kalian selamanya.”

Setelah mengatakan itu, mereka lenyap ke dalam ombak.

Pak Sarman memandangi laut yang bergelombang, merasa ada sesuatu yang belum selesai. Namun, sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, ombak perlahan berpendar dengan cahaya biru yang aneh. Dari dalamnya, muncul sosok wanita berkulit biru kehijauan dengan mata berkilauan seperti mutiara.

“Namaku Nyai Laut. Aku perwakilan dari kerajaan bawah air,” ucapnya dengan suara merdu. “Jika kalian benar-benar ingin menjaga laut ini, kalian harus membuktikan dengan tindakan nyata. Aku akan mengawasi kalian dari dalam air. Jika kalian gagal... kalian akan kehilangan laut ini untuk selamanya.”

Setelah berkata demikian, Nyai Laut kembali menyatu dengan ombak. Pak Sarman sadar, tugas mereka baru saja dimulai.

Akhirnya, Pak Sarman bersama seluruh warga desa bekerja sama membersihkan laut dari sampah dan limbah yang telah mencemari perairan mereka. Selain itu, mereka mulai membudidayakan terumbu karang dengan hati-hati, menanamnya di dasar laut agar ekosistem kembali seimbang. Dengan penuh semangat, mereka berusaha membuktikan bahwa mereka benar-benar peduli dan bertanggung jawab atas kelestarian laut. Setelah melihat kesungguhan mereka, Nyai Laut pun luluh hatinya. Ia akhirnya memutuskan untuk menghapus pagar laut yang selama ini membatasi akses mereka, sebagai tanda perdamaian antara manusia dan kerajaan bawah laut.