Thursday, March 13, 2025

Cerpen Lomba | Moh. Tsabit Husain | Di Dunia, Segala Peristiwa Selalu Terulang Kembali

Cerpen Moh. Tsabit Husain



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)  


Perseteruan itu bermula ketika Naimin, nelayan Daratan Selatan merasa jaring yang ia tebar di laut diambil Marbulu, nelayan Daratan Utara. Gara-gara perseteruan itu, pasar mengapung tak lagi tampak dan masing-masing wilayah tak punya pasokan pencaharian lagi selain melaut; padi dan jagung.


Daratan Utara dan Daratan Lautan berjarak kira-kira 1 kilo meter. Dua daratan itu dipisah laut tenang. Di laut itulah para penduduk nelayan Selatan memasok jagung sedangkan nelayan Utara memasok padi—tanah di Daratan Utara cocok untuk menanam jagung, sedangkan di Daratan Selatan lebih cocok menanam padi. Selain padi atau jagung, mereka kadang-kadang membarter rempah, kelapa, atau solar. Lambat laun, mereka menciptakan pasar terapung alias berjualan di atas perahu.


Meski hidup terpisah laut, sebenarnya mereka memiliki garis pohon yang sama, satu leluhur. Akhirnya mereka terpecah dan mendiami dua tempat berbeda bermula ketika Ala Tobeng memiliki dua anak lelaki, Hambulu dan Buleleng. 


"Jika aku mati, siapa yang bisa mengangkat surban inilah yang bakal tetap tinggal di rumah!" katanya pada dua anaknya yang kala itu mereka tinggal di daratan Utara.


"Sedangkan yang sanggup mengangkat sajadah ini, harus membabat alas di sebelah sana," tunjuk Ala Tobeng yang sekarang ditempati orang-orang Daratan Selatan.


Singkat cerita, Hambulu berhasil mengangkat surban dan menggunakannya untuk salat sunah sedangkan kakaknya, Buleleng, mampu mengangkat sajadah dan melemparnya begitu saja.


Ia geram, sebagai seorang kakak, Buleleng tidak terima. Seharusnya aku yang tinggal di sini sebab aku anak tertua, kata Buleleng. Tetapi, Ala Tobeng pantang menjilat ludahnya sendiri. Mau tak mau, Buleleng pergi dengan hati murka. Sejak saat itu, ia membuka lahan, mendirikan rumah sembari menatap geram ke Daratan Utara yang lebih makmur sebab dibangun lebih dahulu oleh ayahnya.


Lambat Laun, karena perintah dari Ala Tobeng, sebagian penduduk pindah ke Daratan Selatan. Buleleng sendiri menikah dan dikaruniai anak lelaki yang dari keturunannya menghasilkan penduduk yang keras kepala. Bahkan Buleleng pun memimpin Daratan Selatan dengan kepala sekeras batu, berbeda dengan adiknya Hambulu, yang lebih lembut dan memiliki anak perempuan.


Sayang, waktu tak bisa diputar dan kehidupan tidak selalu sesuai rencana. Ketika Ala Tobeng wafat, Hambulu menggantikan ayahnya memimpin Daratan Utara. Sesekali ia berkunjung ke Daratan Selatan, tetapi Buleleng selalu bersikap kasar dan dengan nada mencemooh, kadang meremehkan adiknya.


"Kau masih bau tai jangan sok-sokan jika kakimu menginjak tanah abangmu ini!" 


Hambulu hanya tersenyum. Ia sudah tau perangai kakaknya. Hingga suatu hari senyum Hambulu lenyap ketika anak Buleleng menekap mulut anak Hambulu dan membawanya ke semak-semak. Beruntung, seorang warga memergokinya. Cekcok dua saudara pun terjadi.


"Kau didik anakmu dengan betul!" marah Hambulu. Urat dahinya menggeliat.


"Tak usah kausuruh aku! Kau seharusnya becus punya anak gadis, jangan kegatelan sampai menggoda sepupunya sendiri!" sengit Buleleng.


Hambulu mengepalkan tangan. Darahnya naik ke ubun-ubun. Seandainya warga tidak menghadang, tentu dua saudara itu sudah bertikai.


"Sejak sekarang, kau bukan saudaraku lagi Buleleng!!" teriak Hambulu dan melukai tangannya. Darah menetes ke pasir. Buleleng melakukan hal sama. Dua darah itu menjadi simbol dua saudara terputus hubungan. Sejak saat itu, Daratan Selatan dan Daratan Utara bagaikan Korut dan Korsel.


Segala aktivitas yang berkaitan dengan Daratan Utara dan Selatan tidak boleh saling bersinggungan, sekalipun hanya melambaikan tangan ketika bertemu di laut. Sampai seorang nelayan dari Daratan Selatan membeli jagung secara diam-diam dan nelayan Daratan Utara membeli gabah.. Transaksi secara sembunyi-sembunyi itu tak berlangsung lama. Hambulu maupun Buleleng mengetahuinya. Sontak kepala mereka berkecamuk. 


"Dasar bajingan! Berani-beraninya menjilat ludah sendiri," geram Buleleng di tubir pantai Daratan Selatan sembari mengacungkan parang, sedangkan Hambulu mengangkat kelewang melihat Buleleng di kejauhan. Dia menabuh genderang peperangan, kata Hambulu.


Namun, mereka tidak sampai berperang sebab badai menerjang. Mereka sibuk berjaga-jaga di daerah masing-masing. Mereka khawatir ombak akan menerjang atau air laut akan terus mengikis daratan. Badai tak kunjung berhenti. Sebagian orang mengira itu murka Ala Tobeng yang dikenal dekat dengan roh leluhur sebelum mati. Ia menangis di nirwana melihat dua anaknya berseteru.


Hambulu mengamini hal itu sedangkan Buleleng menganggap adiknya pengecut. Hambulu sendiri tak ambil pusing. Akhirnya ia berinisiatif memagari laut yang memisah dua daratan itu laiknya dua rumah memagari halaman masing-masing. 


Sikap itu dianggap Buleleng dan warganya sebagai bentuk permusuhan. Sejak saat itu, warga Daratan Selatan maupun Utara tak lagi bertemu dan tidak ada yang berani melewati batas pagar yang dibangun Hambulu itu.


Pertemuan pertama dua wilayah yang bertikai itu bermula kala seorang pemuda Daratan Selatan jatuh cinta kepada dara dari Daratan Utara. Peristiwa dua manusia ini terjadi setelah tujuh generasi berlalu. Percintaan mereka terjadi dalam diam. Terkadang, kalau begitu nekat, mereka bertemu di suatu tempat hanya untuk saling tatap, bercumbu, lalu pergi ke rumah masing-masing. Begitu singkat, tetapi, kabar itu merebak dan tiba di telinga orangtua masing-masing.


"Jangan pernah bertemu dengan pemuda itu jika kau tak mau seluruh warga berperang!"


"Jika kau bertemu gadis itu, aku akan membunuhmu!" 


Masing-masing keluarga saling memperingati. Mereka mengulang-ulang kisah Hambulu dan Buleleng hingga telinga anak-anaknya pekak. Namun cinta tak bisa ditahan jika sudah mekar di dada. Sama seperti seorang ingin bersin. Bahkan lebih meletup-letup lagi dayanya.


Diam-diam, mereka menentang dan menantang sejarah yang terpahat di ingatan masing-masing warga. Saat pagi cerah, si pemuda mendayung kanonnya ke pagar yang memisahkan dirinya dengan kekasihnya. Ia memanggil-manggil gadis pujaannya itu sembari meratap-ratap.


Si gadis, yang mendengarnya langsung keluar, menerabas ayahnya yang kala itu tengah menjahit jaring di teras depan rumahnya. Dengan sigap, si gadis menaiki kanon yang dulunya biasa dipakai warga untuk berjualan di pasar terapung. Ia mendayung dan mereka pun bertemu dibalik pagar yang memisah raga mereka berdua.


Pemandangan itu membuat darah masing-masing ayah mendidih. Ayah si gadis mengambil kelewang sedangkan ayah si pemuda mengambil parang. Tetapi cinta bukanlah cinta jika tiada berkorban. Si pemuda menggorok dadanya sendiri dan si gadis pun menyusulnya. Darah mereka menggenang. Hingga air laut menjadi merah. Pemandangan mengerikan itu mengiris dada warga yang melihatnya. Mereka tertegun. Inikah bukti cinta setia dua anak manusia? 


Dengan sigap, sang ayah datang untuk menjemput anaknya masing-masing. Dua ayah itu bertemu, tetapi tidak mendapatindua anaknya. Kanon bergoyang-goyang tanpa manusia. Malah air laut tiba-tiba menguar aroma wangi. Dua ayah itu saling tatap. Dan mereka, tanpa bahasa terucap di mulut mencabut pagar laut itu. Warga yang melihat tercengang. Perlahan mereka membantu mencopot pagar bambu yang konon, dibungin Hambulu untuk menjaga masing-masing daratan, bukan untuk berperang. Sejak saat itu, keangkuhan runtuh masing-masing warga seperti Tembok Berlin yang roboh.


Lambat Laun, kehidupan penduduk semakin akur. Mereka berjualan kembali di pasar terapung. Warga Daratan Selatan memasok jagung, sedangkan warga Daratan Utara memasok padi. Jika melihat kehidupan semacam itu, surga serasa diturunkan Tuhan ke dunia. Namun, itu hanya tejadi dalam tujuh generasi saja. Masalah baru kembali terjadi saat Naimin menuduh jaring yang ia tebar di laut diangkut Marbulu. 


"Sembarangan! Ini jaringku!"


"Ini milikku!"


Mereka adu mulut. Bahkan hampir berkelahi seandainya beberapa nelayan tidak menghalangi. Saat itulah, Jumadi, nelayan dari Selatan menebar hasut.


"Jika ini dibiarkan, jaring-jaring orang selatan bakal hilang!"


"Jadi, kau menuduh orang Daratan Utara yang mengambil?"


Lagi-lagi mereka bertikai. Entah dari mana dan siapa yang menawarkan, tiba-tiba pagar laut menjadi solusi kembali. Para perempuan mengutuk lelaki sebagai biang kerok dan para lelaki menganggap perempuan sebagai pendek akal, jangan ikut-ikutan urusan lelaki, kata mereka.


Namun, yang masing-masing warga tidak ketahui adalah Jumadi. Suatu hari, ia telah bersekongkol dengan investor asing untuk menguasai lautan. Hingga Jumadi menebar hasutan lalu pagar-pagar itu berdiri, mereka tidak masih belum mengetahui hal itu.


Saban hari, pagar itu semakin panjang dan berkotak-kotak. Membuat para nelayan kesulitan mencari ikan. Namun, gara-gara ego yang memuncak, tidak ada yang mempermasalahkannya sebab mereka masih beranggapan bahwa pagar-pagar itu dibangun untuk memisah dua daratan.


"Aku tak Sudi membuka pagar itu sekalipun aku harus putar arah lebih jauh untuk mencari jalan ketika melaut!" kata orang Daratan Selatan.


"Beruntung, pagar laut itu semakin panjang! Tetapi, siapakah kira-kiranya yang memasang? Kok, semakin panjang saja?" gumam nelayan Daratan Utara.


Kesulitan semakin terasa ketika masing-masing nelayan hanya memiliki satu akses jalan ke laut lepas. Melalui akses itu, nelayan Daratan Selatan kerap berpapasan dengan nelayan Daratan Utara. Mata mereka tetap menebar permusuhan. Dan dalam waktu agak lama, tatapan mereka mencair. Seakan masing-masing nelayan sama-sama merasakan penderitaan satu sama lain.


Meski begitu, tetap belum ada jalan yang diambil untuk mencari tahu mengapa pagar laut itu semakin panjang dan berkotak-kotak. Sampai suatu malam, seorang nelayan dari Daratan Utara nekat bertandang ke Daratan Selatan. Ia ingin membicarakan pagar itu.