Ketika ikan itu memakan umpan dan mulai berenang ke atas, Nurman jadi
teringat suatu siang, enam tahun lalu, saat ia pertama kali dilatih menebar
jala oleh Pak Tua. Waktu itu Tanjung Pasir hanyalah desa pesisir dengan seratus
dua puluh delapan rumah berdinding bata dan beratap janur kelapa. Pantainya
tidak seeksotis pantai wisata di pesisir Banten lainnya seperti Tanjung Lesung
atau Sawarna. Air lautnya tidak lebih jernih dari air sumur. Tetapi pemandangan
di tepi pantai itu selalu mengundang takjub di mata Nurman. Saat cuaca cerah,
ia khusyuk memandangi burung-burung walet mengudara dan puluhan perahu melaut.
Begitu pun ketika cuaca begitu ganas dan hujan turun tak menentu, dari beranda
rumahnya ia termangu menyaksikan perahu-perahu yang terikat pada batu karang di
bibir pantai.
“Strike!” sambil menarik joran pemuda itu terus berteriak. “Marlin,
Kang! Marlin!” Teriakan pemuda itu memecah lamunan Nurman. Ia mengamati ikan
itu kini berenang ke bawah, lalu tiba-tiba melompat ke permukaan, kemudian
dengan gesit berenang mengitari perahu, membikin pemuda di hadapannya
bersungut-sungut tak keruan. “Kau pikir aku bakal mocel, heh? Lihat
saja, sore ini kau bakal berada di pelelangan, marlin tua!”
Nurman terkekeh. Siang itu matahari begitu terik. Peluh menitik seperti
embun di pelipis dan lehernya. Pemuda di hadapannya masih terus menarik joran.
Sekilas Nurman teringat dengan pertarungan pertamanya melawan ikan serupa saat
ia masih remaja akil balig yang selalu mengekor Pak Tua ke laut. Ia ingat sirip
ikan itu yang kebiru-biruan serta moncongnya yang begitu tajam—moncong yang
pernah membuat cedera tangan kirinya beberapa tahun silam. Tak berselang lama
ikan itu kian mendekat ke perahu. Ia telah bersiap dengan kait dan
jaringnya.
Jleb! Kait menghunjam tepat di punggung ikan itu. Cipratan darah dan air membuyar
di sisi kiri perahu. Pemuda itu bersorak. Nurman hanya tersenyum. Tak ada yang
mengejutkan baginya. Tujuh tahun berlayar di lautan membuatnya terbiasa melihat
bermacam-macam ikan, mulai dari yang seukuran teri hingga yang seukuran paus,
dari yang paling mudah dijaring macam cakalang hingga yang begitu gesit dan
harus dipancing seperti tuna dan marlin.
Tujuh tahun berlayar juga menjadikannya tak banyak bicara. “Nelayan tak
perlu banyak bicara,” begitulah tuah Pak Tua yang selalu Nurman ingat sepanjang
hidupnya. “Dengan sedikit bicara, maka seseorang akan sedikit berbohong.”
Bagaimanapun, laut bukan sekadar karib, melainkan juga guru bagi Pak Tua.
Tak bijak banyak bicara apalagi berdusta di hadapan guru. Beberapa nelayan
Tanjung Pasir yang mengenal Pak Tua sejak pertama kali mengajari mereka cara
membuat lunas, menghormati Nurman sebagaimana mereka menghormati Pak Tua dahulu
sekali. Karena seperti Pak Tua di masa mudanya, Nurman adalah nelayan pilih
tanding. Ia tak segan mengangkat jangkar bahkan saat gelombang begitu
tinggi.
“Ajaklah aku melaut, Kang,” ucap pemuda di hadapan Nurman dua hari
lalu.
“Kenapa tidak ikut kapal Haji Rois? Hasil tangkapan mereka jauh lebih
banyak,” balas Nurman sembari menyulut kreteknya.
“Mereka tak menerima bocah ingusan katanya,” pemuda itu memelas, tetapi
sinar matanya menyiratkan kemantapan hatinya untuk menjadi pelaut.
Melihat kesungguhan pemuda itu membuat Nurman teringat dengan dirinya sendiri
enam tahun lalu, saat pertama kali ia meminta Pak Tua untuk membawanya ke laut.
Beberapa hari sebelum itu, Nurman telah minta pada ayahnya lebih dulu untuk
diajak ke laut, ketika selepas subuh dengan tegas ia bilang ingin menjadi
pelaut. Tetapi ayahnya tak berlayar hari itu, tidak juga hari esok dan beberapa
bulan ke depan. Ayahnya terlalu sibuk mengerjakan proyek orang-orang besar yang
kerap datang ke kantor desa kala itu.
Meskipun tak bisa berlayar dengan ayahnya, Nurman tetap menyimpan asanya
menjadi pelaut. Itulah sebabnya, setiap petang sepulang sekolah ia selalu pergi
ke pantai. Sambil mengamati ayahnya dan pekerja lainnya menancapkan bambu ke
dasar laut yang dimandori Kepala Desa, ia datangi para nelayan meminta mereka
untuk merekrutnya jadi anak buah kapal. Namun sebagian besar nelayan mengusir
dan menertawakannya, dan segelintir sisanya memilih mengabaikannya. Hanya Pak
Tua yang berkenan mengajaknya saat itu.
“Biarkan aku jadi awakmu, Pak Tua.” Dengan heran Pak Tua memandangi wajah
melas Nurman. Sekilas ia tampak ragu, tapi kemudian ia berkata, “Baiklah.
Selepas subuh, kita berangkat. Tapi sebelum itu kau pergi beli umpan dulu sana,
dan bawalah esok ke sini.” ujar Pak Tua menyodorkan selembar sepuluh ribu.
Esoknya Nurman datang dengan wajah semringah menenteng seplastik umpan. Ia
tak akan pernah melupakan hari itu. Masih hangat di ingatannya ketika siang itu
Pak Tua mengajarinya cara menebar jala di tengah laut lepas, seolah baru
terjadi kemarin. Ia juga masih ingat ketika menjelang sore, di perjalanan
pulang ia melihat palang bambu yang dikerjakan ayahnya sudah lebih panjang
daripada saat ia dan Pak Tua angkat sauh. Mereka terpaksa memutar ke arah
tenggara, menuju ujung palang bambu berada.
Ketika perahu mereka sampai ujung palang bambu tersebut, Nurman melihat
ayahnya bersama para pekerja lainnya sedang mengaso. Nurman bersorak pada
ayahnya, memamerkan ikan hasil tangkapannya. Ayahnya tersenyum bangga.
Orang-orang di sekitar ayahnya pun turut gembira. Hanya Pak Tua yang kelihatan
mendongkol.
“Kalau begini jadinya aku harus memutar tiap berlayar.”
“Mau gimana lagi, Pak Tua? Kita cuma ikut arahan mandor,” jawab ayah
Nurman sembari membuang puntung rokok ke laut.
“Harus tambah jatah bensin aku. Mana mungkin motong upah anakmu.”
“Nanti kubilang pada Haji Rois agar kau bisa berlabuh di galangannya.”
Pak Tua tak menjawab apa-apa lagi. Tetapi setelah lunas perahu menggeser
bibir pantai, ia segera menghampiri Kepala Desa. Kepala Desa bilang akan
merundingkan masalahnya dengan pemilik proyek. Pak Tua mengiyakan, kemudian
menunggu. Ia tak pernah melabuhkan kapalnya di galangan Haji Rois. Sambil
menunggu ia terus berlayar selama berbulan-bulan, meski tiap berlayar ia harus
menempuh rute yang lebih jauh dari biasanya, dan ketika pulang menempuh rute
yang lebih jauh lagi dari rute keberangkatannya. Nurman masih mengikutinya tiap
akhir pekan.
Memasuki bulan Ramadhan, Pak Tua berhenti berlayar. Ia pergi ke pusat kota
merenovasi rumah kemenakannya, sedangkan Nurman pergi ke surau ngaji pasaran.
Mereka bertemu lagi empat hari setelah lebaran. Setelah berlebaran dan bertukar
bingkisan, Pak Tua mengajak Nurman berlayar kembali. Namun saat tiba di pantai
keesokannya, mata Pak Tua tiba-tiba memerah. Dengan tergesa-gesa ia pulang dan
menyuruh Nurman untuk berlayar dengan nelayan lain. Tetapi Nurman enggan
berlayar dengan nelayan lain. Maka ia hanya berdiam di pantai sambil mengamati
bentangan bambu yang waktu itu tampak seperti jembatan panjang yang, entah
menuju atau menjembatani apa.
Cukup lama Nurman berdiam di sana. Kemudian ia beranjak pulang ketika
mendengar azan zuhur. Tetapi sesampainya di rumah tiba-tiba ia menerima amuk
ayahnya yang melarangnya untuk pergi melaut lagi dengan Pak Tua. Nurman tak
bisa membantah, sebab amarah ayahnya benar-benar kalut. Terakhir kali ia
melihat ayahnya mengamuk sedemikian rupa ialah saat ia masih berumur tujuh:
ketika ayahnya memukulinya dengan mistar sampai sekujur tubuhnya lebam karena
ia tak mau pergi mengaji dan menunaikan salat.
Masih dengan wajah lebam, malam itu Nurman menguping obrolan tetangganya di
halaman kantor desa beberapa depa dari rumahnya. Ia mendengar selentingan
tentang Pak Tua yang melaporkan Kepala Desa ke aparat soal proyek pagar laut.
Gegas ia menanyakan soal itu pada ayahnya. Tapi ayahnya justru membalas pertanyaannya
dengan satu tamparan lagi ke pipi kirinya. Sambil memegangi pipinya Nurman
masuk ke kamar. Diintipnya rumah Pak Tua lewat jendela kamarnya, namun di
beranda itu tak nampak Pak Tua sedang melinting kretek atau menyiapkan kail
seperti malam-malam sebelumnya.
Pak Tua baru terlihat lagi di Tanjung Pasir enam hari kemudian. Dengan
terseok-seok ia berjalan menuju rumahnya. Sepanjang jalan semua mata tetangga
menatap sengit padanya. Sebagian warga yang ikut terseret namanya dengan Kepala
Desa, mencela dan meludahinya. Tetapi Pak Tua tampak tak peduli dengan semua
tatapan dan celaan itu. Ia setangguh batu karang yang dihantam ombak
berkali-kali.
Sebagaimana titah ayahnya, akhirnya Nurman tak lagi berlayar dengan Pak
Tua, lalu ikut memagari laut bersama pekerja lainnya. Namun setiap melihat Pak
Tua melaut seorang diri, ia merasa sesuatu mengiris dadanya.
Selama sepekan setelah kepulangan Pak Tua ke Tanjung Pasir, Nurman terus
memagari laut sedang Pak Tua terus melaut. Hingga kemudian, di suatu siang saat
ombak bergulung tinggi, Nurman melihat cadik perahu Pak Tua patah terhempas
ombak. Seketika perahu itu kehilangan keseimbangan lalu terbalik tak jauh dari
tempat Nurman memagari laut. Tanpa pikir panjang Nurman melompat dan berenang
ke arah perahu itu lalu menggendong Pak Tua yang nyaris semaput di
punggungnya.
Setibanya di daratan, dengan napas tersengal-sengal Pak Tua berterima kasih
padanya. Nurman merasa ada yang aneh dengan Pak Tua. Suaranya parau dan
terdengar asing. Penasaran, ujung mata Nurman menyelidik ke dalam mulut Pak Tua
yang sedari tadi menganga. Ia tertegun. Sekejap saja badannya limbung.
Dilihatnya lidah Pak Tua telah buntung. Di tengah kesadarannya yang menipis,
melintas di kepala Nurman gambaran orang-orang besar beserta pengawal-pengawalnya
yang garang. Sebentar kemudian, ia tak sadarkan diri.
Enam tahun berlalu secepat embusan angin timur. Kini orang-orang besar itu
tak pernah datang lagi ke Tanjung Pasir semenjak proyek pagar laut ramai
diperbincangkan masyarakat luas. Pun, bentangan bambu yang dahulu ditentang Pak
Tua telah dicabut seluruhnya.
Sesampainya di galangan, Nurman berencana menziarahi makam Pak Tua sepulang
dari tempat lelang. Dari arah langit, gumpalan-gumpalan awan membubung
mengundang mendung. Ketika ia turun dari perahu, petir bergemuruh. Dalam diam,
ia berharap hujan tidak turun sore ini. (*)
Serang, 2025