Cerpen Mualif Hida
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Besok pagi, tempat ini akan kosong melompong. Mereka—teman-teman satu kamar—telah meninggalkan kota ini. Kota Reog; tempat mereka dan aku mencari makna kehidupan, belajar untuk menjadi manusia. Tinggallah aku seorang di ruang berukuran tidak lebih tiga kali empat meter, sesak oleh tiga ranjang tingkat dua dan loker-loker untuk menyimpan pakaian dan barang-barang pribadi.
Nyanyian ngengat merdu menembus gelap, berpadu melodi instrumen lo-fi yang kuputar melalui YouTube. Sekadar mengalihkan rintihan semesta yang gemercik sejak tadi sore.
Hidup sebagai mahasiswa penerima bantuan pendidikan dari pemerintah, aku memanfaatkan kesempatan ini sebaik mungkin untuk menyelesaikan pendidikan tinggi. Dengan ini, aku ingin mengangkat derajat kedua orangtuaku di pesisir utara Tangerang. Di kota rantau nun jauh dari keluarga, aku menemukan keluarga baru, mereka yang senasib sepenanggungan, para rakyat bawah yang penuh impian akan kemerdekaan; merdeka dari ketidaklayakan hidup di tempat asalnya, merdeka dengan mengangkat derajat keluarganya.
Mungkin sekarang mereka tengah asyik memadu kasih dengan para kekasihnya; keluarga yang telah ditinggalkannya sejak tahun lalu. Pun aku besok juga demikian. Semalam, Ibu memberi pesan lewat HP kentangnya saat aku tengah membaca portal berita nasional, yang kuakses melalui ponsel pintar yang tidak pintar-pintar amat.
“Nak, kamu bisa pulang nggak? Ada hal penting di rumah. Ibu mohon pulanglah barang tiga hari.”
Ibu memang begitu, sering kali meminta tanpa menyertakan alasan yang jelas. Tapi, tidak biasanya Ibu memintaku pulang, meskipun perkuliahan sedang libur. Firasatku mengatakan aku harus pulang secepatnya. Sebab, saat Ibu sudah meminta, biasanya memang ada suatu hal yang sedang atau akan terjadi.
Belakangan, kampung halamanku ramai diberitakan berbagai media massa. Adanya susunan pagar bambu di Kohod, mengejutkanku. Mungkinkah Ibu memintaku pulang karena ada kaitannya dengan hal ini? Sudah pasti mata pencaharian Bapak terganggu dengan adanya bambu-bambu yang tersusun rapi di tempat Bapak biasa menangkap ikan.
Tadi siang, aku mendapat kiriman link berita dari seorang teman sekamar, beserta sebuah pertanyaan, “Kang, ini Kadesmu, kan?” berita yang temanku kirim berjudul;
‘Kades Kohod Resmi Ditahan di Kasus Pemalsuan Dokumen Pagar Laut Tangerang’
***
Aku telah mengemasi barangku; tiga helai kaos hitam polos, dua kemeja lusuh, celana jeans usang pemberian Bapak, dua celana formal berwarna coklat dan hitam, sepotong kain sarung batik pemberian Ibu dua lebaran lewat, ponsel beserta chargernya, Novel Dompet Ayah Sepatu Ibu karya JS. Khairen, serta dompet berisikan KTP, Kartu Tanda Mahasiswa, kartu ATM, serta sisa uang tabungan yang aku ambil di ATM tadi siang, sebelum semesta menjatuhkan rintiknya.
Sejak tadi pagi, pikiranku hanyut pada rumah di pesisir. Sebenarnya, hal penting apa yang membuat Ibu memintaku pulang? Apakah terjadi sesuatu yang buruk? Atau sebaliknya? Atau, memang ada hubungannya dengan bambu-bambu yang ditanam di tengah laut itu?
Bertempat tinggal di pesisir dengan Bapak yang berprofesi sebagai nelayan, tentu saja aku terpikir oleh hal buruk yang bisa saja menimpanya di lepas pantai. Namun, bisa juga ini kabar baik, mungkin dewa keberuntungan hinggap pada jaring Bapak, membuatnya mendapat banyak tangkapan ikan. Mungkin Bapak mengadakan hajatan sebagai bentuk syukur atas pencapaiannya.
***
Ibu adalah sekolah pertamaku. Guru pertamaku. Cinta pertamaku. Meskipun orang menganggap Ibu cuma beban buat Bapak; karena tidak bekerja, ia adalah penunggang permadani di setiap dini. Doanya selalu menusuk cakrawala, memastikan segala ikhtiar sang suami beserta buah semata wayangnya senantiasa diberi kemudahan, kelancaran, kebarokahan, serta keridhaan-Nya.
Gubuk panggung sederhana tempatku tinggal, cukup untuk menampung aku, Bapak, dan Ibu. Meskipun, hujan sering kali menyerobot masuk melalui celah-celah atap bolong. Sering kali aku terbangun tengah malam karena air hujan yang menetes tepat diatas tempatku tidur. Bapak sempat menambal atap yang bolong dengan potongan seng yang ia ambil dari puing-puing rumah tetangga yang roboh akibat abrasi, namun saat angin kencang melanda, seng itu tersapu, terbang mengikuti arah angin.
Dengan hasil tangkapan Bapak yang seadanya, tentu hanya cukup untuk kebutuhan pokok sehari-hari. Bapak berangkat melaut tepat setelah salat subuh. Sebelum berangkat, Bapak memasukkan segala peranti ke perahu. Jaring, pancing, umpan, kotak pendingin berisi es batu, bekal untuk sarapan, serta bahan bakar cadangan untuk mesin perahu.
Kemarin saat ibu memintaku pulang, ibu sedikit bercerita tentang pekerjaan Bapak. Hasil tangkapan Bapak berkurang drastis karena adanya pagar bambu di tengah laut, yang membuat wilayah tangkap Bapak menyempit. Persis seperti dugaanku. Kini, Bapak dan para tetangga yang juga menggantungkan hidup di laut, harus memacu perahunya lebih jauh ke tengah untuk menangkap ikan.
Hampir setengah penghasilan Bapak dari ikan yang disetor kepada pengepul, habis untuk membeli bahan bakar mesin perahu untuk berlayar esok hari. Alhasil, pendapatan bersih Bapak menurun. Hal ini tidak saja menimpa Bapak, tapi juga nelayan lain di wilayahku. Di kota tempatku menetap kini, aku hanya bisa mendoakan Bapak, supaya Tuhan melimpahkan rezekinya.
***
Aku bergegas menuju ranjang setelah memastikan semua barang telah masuk ke tas. Volume musik kuperkecil, supaya lebih menenangkan. Musik lo-fi jadi tempat pelepasan segala kegundahanku. Sebab, sejak keluar dari ATM, kepala ini semakin riuh, dihantam bayangan ombak pasang pesisir utara. Dengan adanya musik lo-fi yang kuputar, setidaknya menunjukkan bahwa masih ada ketidaksempurnaan yang bisa dinikmati.
Aku telentang menatap baja ringan yang saling terkait oleh baut-baut yang merekatkannya di langit-langit. Pikirku, baja ringan tipis itu saja bisa menahan beban genteng, mengapa pikiranku tidak bisa? Semakin malam, pesisir semakin surut, namun pikiranku masih saja dilanda ombak kebimbangan. Apa yang terjadi di rumah? Hajatan apa yang akan diadakan di kampung, atau hajatan itu diadakan oleh Bapak? Entah. Apakah ini ada hubungannya pagar bambu yang berjejer sepanjang laut tempat Bapak menyambung hidup?
Aku ingin memejamkan mata, mengistirahatkan badan dan pikiran yang penuh dengan rasa cemas. Tapi, seperti ada yang mengganjal mataku untuk terpejam. Ada kotoran yang menempel di pikiran, sulit dibersihkan. Apakah aku akan begadang lagi malam ini.
Semalam aku begadang karena menyelesaikan revisi tulisan yang kukirim ke media tadi pagi. Aku menulis beragam bentuk tulisan; resensi buku, cerpen, esai, opini, dan puisi, untuk menambah penghasilan untuk kebutuhan sehari-hari. Semalam, aku menulis cerpen. Aku aktif menulis sejak semester satu. Meskipun banyak dari tulisanku yang berakhir tidak sesuai dengan ekspektasi; tidak ada kejelasan pemuatan, honor yang tidak seberapa, bahkan terkadang hanya dibayar terimakasih, aku tetap mengirim karya.
Aku tidak pernah mendapat kiriman uang maupun sembako dari rumah, oleh karena itu, aku memutar otak bagaimana aku bisa tetap hidup dengan kemampuan yang kupunya. Sejak masuk SMP, aku sudah terbiasa membaca berbagai sumber bacaan. Baik fiksi maupun ilmiah, semua telah kulibas habis. Aku sudah biasa membaca buku di perpustakaan sekolah. Bahkan penjaga perpustakaan sudah jadi kawanku berdiskusi tentang hasil bacaan.
Selain membaca, aku juga terbiasa menulis di buku harian. Tak terasa, keterampilanku menulis terasah dari sana. Saat masih SMP, Bapak memberiku hadiah buku harian saat ulang tahun ke tiga belas. Awalnya, aku hanya menulis asal saja, apa yang ingin kutulis, ya aku tulis saja.
Sampai lulus SMA, aku sudah menghabiskan belasan buku harian. Tentu saja buku harian itu telah mengabadikan beragam perasaan dan kejadian yang kualami. Setelah lulus SMA, aku sengaja melanjutkan pendidikan tinggi, dengan mengambil jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia untuk mengembangkan keterampilanku. Aku memilih Sekolah Literasi Gratis sebagai penunjangnya. Informasi terkait SLG ini, kudapat juga dari sang penjaga perpustakaan.
Setelah berulang-ulang menghitung baja ringan di langit-langit, perlahan mataku terasa berat. Aku tertidur pulas, dengan instrumen lo-fi yang berpadu dengan nyanyian malam menyertai tidurku.
***
Aku terbangun saat mendengar azan subuh. Aku langsung duduk untuk mengumpulkan nyawa, lalu bergegas menuju kamar mandi. Di kota ini, meskipun pagi masih dini, aku tidak merasakan dinginnya air yang mengucur dari kran. Sebaliknya, aku selalu merasa sejuk setelah mandi sebelum salat subuh.
Setelah salat, aku mengambil jaket yang menggantung di balik pintu kamar, lekas mengenakannya, lalu mengaitkan tas pada punggung melalui tangan. Aku harus bergegas menuju terminal. Aku tidak mau ketinggalan bis menuju pesisir yang hanya ada di pukul enam pagi.
Menaiki sepeda kayuh butut yang kubeli dari pasar loak, terburu-buru aku menuju terminal yang berjarak lima kilometer dari asrama kampus. Ayam jantan berkokok menyertai cahaya kekuningan yang menyembul dari ufuk timur. Burung-burung kutilang turut berbunyi, seperti memberiku semangat untuk mengayuh lebih cepat.
Pikiranku sudah terbayang bunyi ombak pesisir yang sejuk di pagi hari. Beserta suara dedaunan kelapa yang saling bertabrakan, menimbulkan nyanyian abstrak tak berirama, namun menyegarkan jiwa. Mungkinkah ibu sedang memasak untuk persiapan hajatan, atau sedang merintih karena musibah yang menimpa. Entah.
Aku telah sampai di terminal, syukur, bis yang akan membawaku ke pesisir belum berangkat. Aku segera memesan tiket dan masuk ke bis. Hanya tersisa dua kursi kosong di paling belakang, dekat kamar mandi. Aku duduk, meletakkan tas di bawah, depan kursi, lalu membukanya. Kemudian kutarik sebuah novel dari dalamnya, lantas membuka pada halaman yang terakhir kali kubaca; Episode 17 dari Novel Dompet Ayah Sepatu Ibu karya JS. Khairen . Di halaman yang kuberi tanda itu, kurang lebih tertulis:
“Selalu cium tangan kedua orang tuamu saat akan berangkat, dan baru tiba. Tidak peduli seberapa tua umurmu, atau sehebat apa pun pencapaianmu.”