Saturday, March 8, 2025

Cerpen Lomba | Mufida Hanania Khairy | Terkekang

Cerpen Mufida Hanania Khairy



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


Terkekang dalam suatu keadaan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Disaat orang-orang diluar sana tertawa kesenangan, disisi lain ada orang yang merasa hidup tidaklah adil. Mengingatkanku pada kejadian laut yang dihalangi dari para nelayan. Begitu banyak pihak yang dirugikan. Di negara yang lebih menghargai orang yang curang dibandingkan yang mengutamakan kejujuran. Di negara untuk orang-orang yang biasa suap-menyuap untuk mendapatkan kesuksesan adalah hal biasa. Terkadang aku menanyakan pada ayahku tentang hal ini. Namun ayah lebih menyarankanku untuk menutup mulut saja. “Bukan urusan anak kecil” katanya.


Entahlah aku terlalu bingung dengan keadaan ini. Umurku 8 tahun saat kejadian itu terjadi, aku pun belum terlalu mengerti apa yang terjadi. Beranjak remaja sedikitnya aku mulai mengerti bahwa dunia tak seindah harapanku, tidak sebaik yang kita inginkan. Mengerti bahwa dunia itu kejam untuk orang-orang yang tidak punya uang dan tidak punya privilese. Ayahku selalu mengajarkanku untuk menegakkan kebaikan dimana saja. Singkatnya tahun demi tahun ayah kemudian mengikuti sebuah aksi demo yang dilakukan warga dengan amarah memuncak akibat “pagar laut” yang merenggut mata pencaharian mereka. 


Sejak saat itu ayah menghilang seolah-olah tak pernah ada di muka bumi ini. Aku mengetahui setelah melihat ibu yang menangis tersedu-sedu di teras rumah. Pandangan yang sungguh menyakitkan. Sedari itu terasa ada api gejolak di dalam diriku yang membara, merasa adanya ketidakadilan yang nyata. Menjadi tahu negaranya busuk hingga intinya. 


Menginjak umurku yang ke 16, semakin banyak kebijakan perusahaan sekitar kami yang tidak masuk akal. Tidak logis seolah-olah kami hanyalah angka dalam laporan. Kebijakan yang baru membuat pundak terasa lebih berat. Bukan hanya keluargaku saja yang merasakan. Para tetangga sambil memegang perut mereka hanya mengharapkan adanya suatu keajaiban yang datang entah dari mana. Sebuah harapan yang sudah lama pupus. 


Sejak kejadian “pagar laut” kebijakan-kebijakan baru mulai bermunculan. Pemotongan upah para buruh yang bekerja di dalam perusahaan tersebut sedangkan harga beras yang terus meningkat membuat banyak orang kelaparan. Jika mereka saja yang mempunyai pekerjaan  hanya bisa bertahan 3 minggu, bagaimana nasib mereka yang hanya bergantung pada pekerjaan kasar atau serabutan. Apa yang dulunya dapat mencukupi hingga 1 minggu, kini hanya bisa untuk mencukupi 1 hari.


Hidup kian nelangsa. Kemiskinan merajalela, para pekerja di PHK tanpa alasan yang jelas. Tetangga kami Pak Rafi seorang pria paruh baya berteriak dengan lantang “HEI, APA KAU TIDAK MELIHAT KEADAAN KAMI?” teriaknya parau. “APA KAU RELA KAMI KELAPARAN SEPERTI INI? KAMI BISA MATI SENGSARA” teriaknya lagi. Aku sungguh lelah hidup seperti ini, bagaikan tikus yang hendak mencari makan diluar tanpa tahu nasib selanjutnya. Bisa tewas dimakan kucing, diinjak orang, dan lainnya. Mau sampai kapan kita seperti ini?


Pak Rafi cukup beruntung karena ia tinggal seorang diri sehingga ia hanya perlu menafkahi dirinya sendiri. Namun untuk tetangga kami yang sudah berkeluarga situasi ini semakin menyulitkan mereka. Apalagi untuk Bu Siti tetangga kami yang mempunyai 3 orang anak yang masih kecil-kecil, sudah begitu suaminya sudah lama meninggal. Anak-anaknya yang biasanya dapat makan dengan kenyang, sekarang hanya bisa makan seadanya itupun kalau ada yang bisa dibeli. 


Entahlah kami benar-benar merasa terkekang dan terkendalikan bagai boneka. Amarah yang tersimpan dalam dada kini semakin meluap-luap. Hari demi hari situasi semakin panas antara kami dan perusahaan itu. Puncaknya saat hilangnya kepercayaan masyarakat kepada instantsi menyebabkan rangkaian protes dan unjuk rasa dimana-mana hingga tewasnya 2 warga sekitar menjadi pemantik dimulainya kerusuhan. 


“KITA TIDAK BOLEH LAGI DIINJAK-INJAK SEPERTI INI, HARGA DIRI KITA!. “TIDAK ADA YANG BOLEH MENGHINA KITA LAGI, KITA SUDAH DIHINA SEHINA-HINANYA MAKA AYO LAWAN, LAWAN KETIDAKADILAN INI” teriakan Pak Rafi sungguhlah lantang. Aku terbangun dari tidurku yang nyenyak. Dengan keadaan setengah sadar aku menengok ke arah jendela yang ada di sebelah kananku. Mataku terbelalak, pandangan yang kulihat sekarang bukanlah keadaan sore hari yang seperti biasanya. 


Ribuan orang sedang melakukan aksi demo di depan gerbang perusahaan itu. Aparat keamanan silih berganti datang, situasi semakin tidak terkendalikan. Para pekerja yang meneriakkan hak mereka, upah mereka yang dipotong seenaknya, mereka yang di PHK tanpa alasan yang jelas seolah-olah mereka tak ada artinya di dalamnya. Mereka yang berteriak karena “pagar laut” yang menyudutkan mereka. Mereka membawa teriakan yang keras dan spanduk, menuntut keadilan dan perubahan. 


Aparat keamanan mulai terlihat datang, membuat barikade untuk menghalangi para demonstran yang semakin merangsek maju. Seorang pemuda bernama Rudi berdiri di depan barisan berusaha menenangkan amarah massa. Ia bersuara dengan lantang dengan megafonnya “Saudaraku, aku tahu kalian semua marah namun suara kita akan lebih terdengar apabila kita bersatu tanpa kekerasan. Tetap damai” nahas suaranya tak didengarkan oleh massa. Bagaikan anjing yang melonglong yang diabaikan begitu saja. 


Orang-orang yang bekerja di manajemen memperingati dengan keras lewat pengeras suara yang tersebar di seluruh gedung bahwa massa harus tetap tunduk atau tidak mereka akan dilawan dengan lebih keras. Seorang warga mengambil alih megafon Rudi “AYO LAWAN TERUS, KITA LAKUKAN BUKAN HANYA UNTUK DIRI KITA SENDIRI. INI UNTUK ANAK DAN CUCU KITA DI MASA DEPAN” Kata-katanya semakin membakar massa untuk terus merangsek maju. Hingga akhirnya massa semakin lama tidak terkendalikan dan berhasil mendobrak barikade dan gerbang perusahaan. 


Aparat keamanan melempar gas air mata serta terjangan peluru sudah tidak tertahankan lagi. Keadaan sungguh lah kacau. Setelah kejadian itu terjadi malam itu udara terasa berat. Hujan yang membasahi jalanan sudah tak mampu untuk menahan ketegangan yang telah terjadi. Malam itu aku belajar bahwa apabila rakyat sudah berteriak dan tak ada yang mendengarkannya maka suatu hari nanti tak akan ada lagi yang dapat menahannya. Dendam yang tersimpan, lama-lama akan meledak suatu hari nanti.


Tanggal 27 Februari 2018, 20 tahun berlalu sejak kejadian itu terjadi. Menjadikan pelajaran yang berharga bukan hanya untuk orang-orang yang berada pada saat tempat kejadian perkara, tetapi juga untuk anak-anak sekarang dan seterusnya. Bahwa mengerti persatuan adalah hal yang penting untuk ada di antara kita. Mendengarkan saran dan kritik adalah hal yang harus dilakukan. 


Kejadian ini akan menjadi sejarah gelap, sebuah peristiwa dengan kekerasan dan kegelapan. Namun apabila kita bisa memetik pelajaran yang berharga di dalamnya maka tidak akan ada lagi perpecahan yang sebelumnya terjadi. Mengerti bahwa kekerasan hanya menambah luka. Melalui renungan dan kesadaran maka kita bisa merajut kembali rajutan persatuan yang telah terputus. Sehingga kita dapat menciptakan masa depan yang lebih baik dan cerah untuk kedepannya.