Saturday, March 8, 2025

Cerpen Lomba | Muhamad Rofik | Pagar Laut

Cerpen Muhamad Rofik



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


Di suatu hari aku berjalan menyusuri  dermaga yang begitu berisik dengan suara mesin kapal nelayan di sana. Dan terdapat beberapa perahu yang kondisinya sudah rusak. Camar-camar  sesekali mengeluarkan lengkingnya di udara, “Kraaak......Kraaaaak...” Di sisi lain, ada beberapa nelayan tampak sedang bersendau gurau di atas perahu mereka dengan wajah  yang penuh semangat untuk mencari ikan di lautan lepas. Hari-hari ini para nelayan di sibukkan untuk melawan orang- orang yang mempunyai uang. Perlawanan mereka bukan hanya sekadar untuk mempertahankan mata pencarian mereka sehari-hari, lebih dari itu yang mereka lakukan, mereka juga menjaga harga diri mereka atas lautan yang sudah mereka tempati selama bertahun-tahun sebagai tempat penghasilan mereka. 


Di ujung dermaga, aku melihat Pak Tono, seorang nelayan tua, yang sudah puluhan tahun bergelut dengan ombak laut, melawan badai dengan risiko nyawa jadi taruhannya. Matanya sangat tajam meski umurnya sudah menginjak usia menua.


“Pak Tono!”. Sambil melambaikan tangan memanggil pak Tono ,” Bagaimana kabarnya?” sambil aku mendekati pak Tono.


“Seperti yang kau lihat, nak. Alhamdulillah sehat”. Jawab pak Tono.


“kamu sudah makan?” Jika belum, Beliau akan  mengajakku untuk makan di rumahnya, walaupun hanya lauk ikan hasil tanggapan di laut saja. Aku sudah beberapa kali merasakan kenikmatan ikan yang masih segar di rumah pak Tono, 


“Sudah, Pak”


“Alhamdulillah kalau sudah. Syukuri nikmat apa pun yang diberikan oleh Tuhan”. Aku mengangguk.


“Bagaimana kelanjutan kasus pagar laut yang terbuat dari bambu yang terbentang sepanjang 30,16 kilometer (KM) yang itu?”, tanyaku pada pak Tono.


Pak Tono menatap laut dengan tatapan yang tajam. “ Laut ini adalah hak bersama Nak. Tapi mereka datang menggunakan perahu besar dengan membawa muatan bambu yang begitu banyak, ke pantai ini, mereka mengubur hak kami. Mereka ingin laut ini menjadi daratan, ladang bagi mereka. Mau sampai kapan kami harus membayar untuk menikmati hidup kami sendiri?” Suaranya parau, tapi penuh dengan semangat, yang siap untuk melawan mereka.


“Apakah benar pagar laut di anggap sebagai langkah mitigasi ancaman tsunami?”. Meskipun tidak sepenuhnya dapat menahan gelombang tsunami tersebut. Itu pertanyaan yang aku lontarkan. Logikaku sebenarnya sudah mencegah. Tapi mulutku terlepas. Pernyataan ini aku dengar dari penyerobot. Ingin aku konfrontasikan dengan orang yang asli nelayan, pak Tono.


“Pak Tono menahan tawa!!


“Pak, tidak usah dijawab.” Aku membalas. Mereka sedang memainkan kabaret kebodohan.


“Mereka sangat rakus”, kataku pada Pak Tono.


“Begitulah” ujar Pak Tono,” Laut ini, Pantai ini, akan kami pertahankan. Karena dari lautan inilah sumber  kehidupan kami”. Lanjut Pak Tono Sambil tertawa kecil.


“ mereka mencoba mengakali sistem. Mengubahnya dengan segala cara”, Kataku dengan nada kesal”.


“Padahal kita di atas dunia ini harus hidup sesuai dengan hukum moral. Hukum moral itu tidak mengenal kompromi, ia mengajarkan kita untuk bertindak berdasarkan prinsip yang benar, bukan karena keuntungan sesaat atau tekanan eksternal. Dan lihatlah apa yang terjadi sekarang. Mereka menganggap laut ini, yang merupakan hak nelayan sebagai warga negara Indonesia, yang mana, para nelayan bisa jual beli ikan dari hasil tanggapan mereka dari laut, untuk menghidupkan anak dan istri mereka di rumah”. Akan tetapi mereka merenggut semua itu hanya untuk keuntungan semata saja”. Ujarku pada Pak Tono dengan tegas.


“Begitulah”, ujar Pak Tono, “ Laut ini, pantai ini, akan kami pertahankan, akan kami perjuangkan. Karena dari laut inilah sumber kehidupan kami”. Sambil tertawa kecil.


Pak Tono tersenyum sinis.” Hukum moral memang ada, Anak. Tapi di dunia ini, sekarang pengendalinya adalah yang memegang uang dan kekuasaan. Dan kami, nelayan gurem, tidak punya apa-apa selain tangan kasar dan hati yang terendam air laut”. Ujar Pak Tono lagi.


“ Apa yang bisa nelayan lakukan , pak?” tanyaku pada Pak Tono.


Pak Tono menoleh ke arah laut sambil menghela napas yang panjang.” Kami harus tetap pada garis perjuangan. Jangan pernah keluar sejengkal pun dari garis itu. Kami harus melawan mereka. Karena pagar laut ini telah mengganggu aktivitas kami para nelayan dan warga pesisir setempat. Bahkan, struktur pagar ini dinilai dapat membahayakan keselamatan kami para nelayan.  Kalau bukan kami para nelayan siapa lagi yang harus menuntut atas pagar laut ini? Tapi bukan dengan kekerasan, itu hanya akan menghancurkan kami semua para nelayan. Kami harus bersatu, menggalang solidaritas, membangun kekuatan bersama, dan menunjukkan bahwa kita para nelayan tidak bisa di permainkan begitu saja oleh mereka yang mempunyai uang dan kekuasaan.


“Jika jalan itu buntu, apakah jalan kekerasan akan ditempuh?”, tanyaku pada Pak Tono.


“ Itu opsi terakhir, anak”


Kemudian beberapa nelayan yang lain mulai berkumpul di dekat kami. Mereka saling berbisik, berbicara tentang bagaimana mereka bisa bertahan. Ada yang menyarankan untuk turun ke jalan, pun minta bantuan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) untuk mengajukan tuntutan atas pagar laut itu, namun suara- suara itu bagaikan gema yang tertelan angin. Mereka sedang berada di ambang kegamangan, merasa terjepit oleh sistem yang tidak adil ini. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, itu sekarang  bersembunyi di mana? Para nelayan sudah sulit menemukan sila itu di kampung mereka yang berada di daerah pesisir.


Mendengar itu aku merenung sejenak, membayangkan apa yang terjadi jika semuanya hanya melawan mereka tanpa solusi sama sekali.


Melihat zaman sekarang, dunia ini semakin dikuasai oleh kapitalisme, seperti yang kita lihat zaman sekarang yang kian hari, orang yang mempunyai uang, mempunyai kekuasaan di dunia ini, mereka bisa melakukan apa pun dengan uang mereka, bahkan menggunakan kekuasaan yang mereka miliki.


Akan tetapi apakah kita sebagai rakyat biasa seperti ini harus menerima kenyataan ini begitu saja? Adakah solusi lain untuk berjuang melawan mereka tanpa harus menggunakan kekerasan dan perlawanan yang sia-sia? Tanyaku pada Pak Tono


“ Jangan pesimis. Tidak ada perjuangan yang sia-sia”, ujar Pak Tono


Akhirnya Pak Tono pun tidak tinggal diam lagi. Pak Tono pun mulai berbicara di berbagai forum dan media untuk menyuarakan keresahan para nelayan yang kehilangan akses ke laut lepas.


Dengan Keberaniannya berbicara melawan korporasi besar membuatnya mendapat dukungan dari komunitas nelayan lainnya, tetapi mereka juga menghadapi tekanan dari pihak- pihak yang bersangkutan.


Namun pada Akhirnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)  pun melakukan inspeksi mendadak (sidak) dan mengadakan sidang terkait permasalahan ini. Namun, belum ada keputusan konkret yang dihasilkan.


Pada akhirnya Kementerian kelautan dan perikanan (KKP) pun harus menghadapi dilema dalam mengambil keputusan, karena ada tarik- menarik kepentingan antara perlindungan lingkungan, kepentingan ekonomi, dan hak nelayan.


Di tengah kebuntuan kebijakan, pada akhirnya Presiden pun mengeluarkan perintah tegas untuk membongkar pagar laut tersebut. Presiden pun menegaskan bahwa kebijakan ini harus mengutamakan kepentingan rakyat, terutama nelayan yang terkena dampak secara langsung.


Akhirnya perjuangan Pak Tono dan para nelayan lainnya membuahkan hasil, yang mana pak Presiden mengeluarkan perintah untuk membongkar pagar laut yang terbentang sepanjang 30,16 kilometer (KM) tersebut.


Pada keesokan harinya bertepatan pada hari kamis  Tim gabungan TNI AL ( Angkatan Laut), bersama dengan para masyarakat yang tinggal di daerah pesisir tersebut memulai pembongkaran pagar laut tersebut