Cerpen Muhammad Adhyatma Danendra
| (Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Bab 1: Jalan Keluar
“Gelap… Ah! Gelap banget dah! Kapan kita nyampe sih, Ni…” Keluh dari seorang gadis. Matanya biru terang, rambutnya pirang berantakan, memakai sarung tangan kulit, seragam militer, dan helm besi. “Diem, Del. Kita harusnya bersyukur kita masih hidup” Jawab gadis di depannya. Mata dan rambutnya gelap, memakai sarung tangan kulit dan helm besi, namun mengenakan baju mekanik. Dia kelihatan lebih pendek dari gadis di belakang. Tampak mereka berdua berjalan yang tampaknya seperti reruntuhan tertutup. Gelap—bagaikan akhir dunia. Langkah kaki mereka menggema karena sepi. Bau karat dan debu terasa menusuk di hidung. Puing-puing kecil berjatuhan. Anginnya lembap dan dingin—seperti pernah terjadi banjir di sini. “Dingin banget, rasanya kayak ditusuk trisula” Kata Avnin. “Eh? Trisula? Emang trisula apa ya?” Dia bergumam, seperti menyadari sesuatu. Dela berkata. “Gak nyalain lentera aja? Dunia itu harus penuh cahaya, bukan?” Usul Dela dengan percaya diri. “Nggak. Emangnya kita tahu di mana tempat isi minyak selanjutnya?” Avnin menyangkal. Di perjalanan, Avnin melihat papan reklame yang miring bertuliskan “Dijual ikan segar.” Dia juga melihat beberapa spanduk-spanduk toko di reruntuhan. Avnin bergumam. “Apa tempat ini kayak pasar?” Brukk! Tiba-tiba suara keras terdengar dari belakang. Avnin kaget dan langsung melihat belakangnya, ternyata itu Dela yang tersungkur jatuh di lantai. “Aku baik, kok.” Ucap Dela dengan senyum bodohnya sambil memberikan jempol. Avnin memegang tangan Dela dan membantunya bangun. Avnin berkata “Bodoh. Kamu harusnya hati-hati kalo jalan.” Namun suara gemuruh tiba-tiba terdengar keras. Avnin terkejut sedikit. “Dela?” Tanyanya. Dela menjawab. “Aku lapar.” Avnin mendengus pelan. “Kalo kamu bisa bantu kita keluar dari sini, kita bakal makan hari ini.” Tegas Avnin. Dela berdiri dan berteriak mengeluh. “Ah! Ayo kita cari jalannya!” Dela dengan membabi buta berlari ke arah tak menentu. Avnin terkejut oleh Dela dan langsung mengejarnya. Dela terlalu cepat untuk Avnin—tapi dia terus saja mengejar Dela. Namun, ketika mengejar Avnin melihat pintu yang begitu terang di depannya. Cahayanya bersinar lembut di mukanya. Matanya melebar berbinar melihat cahaya untuk terakhir kalinya. Jantungnya berdebar-debar—perasaan yang sudah lama ingin dia rasakan lagi. Langkahnya perlahan menuju ke arah cahaya. Sedikit lagi—jantungnya semakin cepat—semuanya terbayarkan. Avnin keluar dan melihat Dela berdiri ujung balkon—memandang ke atas langit. Angin sepoi-sepoi menyentuh lembut rambut dan wajahnya. Segar dan sejuk. Avnin ikut memandang ke atas… Tapi… Tembok besar? Sejak kapan?
Bab 2 : Andai Saja
Tembok itu terlihat sangat besar—terbentang begitu luas sejauh mata memandang. Seperti pagar besar yang menjulang tinggi dan berdiri kokoh. Namun hampir tidak ada sedikitpun celah untuk melihat bagian dalamnya. Avnin tercengang melihat tembok sebesar ini di hadapannya. Apa pernah ada hal ini sebelumnya? Avnin seolah melihat kabut samar-samar dan siluet gedung-gedung tinggi di belakang tembok. Tiba-tiba, Dela dengan heboh berteriak kagum. “Woah! Lihat tuh! Gede banget! Ni, kira-kira itu apa ya?” Dela pun tak tahu harus jawab apa. Nginggg… Tiba-tiba terdengar suara dering seperti dari speaker. Suaranya muncul… tapi terdengar rusak. Seperti suara TV yang kehilangan sinyal. Tiba-tiba, suara seseorang berbicara muncul. “Tes, tes. Kalian bisa dengar aku? Oke. Jangan khawatir dengan apa yang kalian lihat sekarang.” Aneh. Suaranya tadi rusak—tiba-tiba menjadi sangat jernih—yerlalu jernih. “Tembok besar itu berguna untuk mencegah tsunami dan abrasi. Jadi, jangan khawatir! Sekian informasi saat ini! Dadah!” Avnin mencoba membaca situasi. Kata-katanya seperti buru-buru dan terlalu baku. Sudah jelas—tak dapat dipercaya. Namun, Dela memegang pundak Avnin dengan antusias. “Hey, kamu denger itu? Kita bakal baik-baik aja.” Avnin langsung menepis tangan sahabatnya. “Jangan percaya! Bisa jadi itu jebakan!” Kata Avnin yang tiba-tiba serius. Tapi juga terlihat khawatir dan was-was. Dela dengan muka datarnya bingung. Tapi, dia malah mengangguk seolah tak bersalah. “Iya juga. Pepatah lama juga pernah bilang “Jangan percaya perkataan orang asing”. Gitu katanya. Tapi aku percaya kamu, kok.” Jawabnya dengan polos. “Ini bukan saatnya buat itu, Del! Lagi pula, itu bukan perkataan seorang pepatah!” Ucapnya dengan serius. Namun, suara gemuruh lagi-lagi terdengar. “Ah! Aku lapar! Langsung ambilin ransumnya, Ni!” Keluh Dela. “I-Iya deh.” Jawab Avnin. Dia juga merasa kasihan melihat sahabatnya yang kelaparan. Mereka pun bersandar di dinding reruntuhan. Avnin mengeluarkan ransum dari tasnya. Dia melihat ransumnya rasa coklat. Dia pun merobek bungkusannya dan mengambil setengah dari isinya untuk Dela. Mereka pun bersulang—seolah itu adalah hari yang spesial untuk mereka. “Selamat makan!” Mereka pun menggigit ransum itu bersama dan berkata. “Enak”. Kedua sahabat itu melihat ke arah langit biru yang indah sambil mengunyah ransum itu. Tiba-tiba Dela bertanya. “Sebenernya… kita itu apa? Kenapa tembok itu… seolah ngebatasin kita?” Pertanyaan ini mungkin terdengar aneh. Namun di situasi seperti ini—tak ada pertanyaan yang aneh. Avnin mencoba menjawab. “Mungkin… kita hanya manusia buangan di sini. Terdampar di dunia tanpa akhir yang jelas. Aku juga penasaran apa yang ada di belakang sana.” Avnin kembali berkata. “Oh ya, kamu lihat? Laut di sana kelihatan kotor banget. Tembok itu mungkin adalah pelindung terakhir umat manusia… Tapi… Emang iya? Nggak semua yang kelihatan baik itu baik. Bisa jadi itu cara licik mereka yang di atas buat misahin kita yang di bawah. Kalo emang ini demi semua, kenapa harus ada tembok kayak begini?” Ucap Avnin. Memang terlihat laut yang hijau kotor. Terlihat bangkai-bangkai dan tulang-tulang ikan di permukaan laut. Terdapat sampah-sampah yang mengalir terbawa arus laut. Baunya terasa menyengat bahkan dari jauh. Dela menutup hidungnya dan mengeluh. “Ugh! Bau banget.” Avnin berkata. “Baunya gak beda jauh ketika kita masih di dalam reruntuhan.” Dela melihat mata Avnin yang menuju ke arah laut dengan begitu serius. Dela memukul lengannya dengan main-main. Dela tersenyum lembut—mencoba meringankan suasana hati Avnin. “Ni. Kamu terlalu serius deh. Kamu harusnya santai aja. Dunia ini luas. Bisa aja kamu salah, loh.” Avnin bergumam lembut “Del… kamu nggak inget, ya?” Tiba-tiba menunduk sedikit. Dela pun sedikit kebingungan dengan sikap Avnin sekarang. Avnin menempelkan tubuhnya ke tubuh Dela dan menaruh kepalanya di pundak Dela. Avnin tampak sedikit gemetar. Dia berbicara lagi, tapi suaranya tidak jelas dan hampir tak terdengar. Melihat Avnin seperti ini, Dela hanya tersenyum—seolah Dela memahami perasaan Avnin sekarang. Dela pun memeluk tubuh Avnin dengan penuh kasih sayang. “Hei. Kamu gak sendiri, kok. Kita kan dua orang. Aku pengen kita berdua jalanin keputusasaan ini bersama-sama. Kalo kita mati, aku mau kita mati dengan bahagia.” Jawab Dela dengan lembut. Pelukannya terasa begitu hangat. Kehadirannya di dunia ini sudah cukup membuat Avnin tenang. Avnin pun berkata. “Bodoh banget.”—“Jangan tinggalin aku… ya?” Dela menjawab dengan tulus. “Aku janji.”
Terdengar suara speaker menyala lagi. Namun… tidak terdengar seperti siaran. “Jaya Tuan kami! Penyelamat kami! Biarkan kami mengabdikan diri kami untuk anda!” Suara teriakan banyak orang itu menggema. Seperti merayakan seseorang. Tapi di baliknya… seperti ada yang salah.
Siapa “mereka”?
Bab 3 : Nelayan
Mereka berdua berjalan menuju laut yang kotor itu. Mereka sampai di pesisir laut—memang bukan pemandangan yang indah. Dela melihat bangkai-bangkai ikan di laut dengan penasaran. Dela pun bertanya-tanya. “Eh, Ni. Yang bulet-bulet lonjong itu namanya ikan, kan?” Avnin pun menjawab. “Bener. Emang namanya ikan.” Avnin mengambil bangkai ikan di pesisir laut. “Aku denger bangkai masih aman dimakan. Tapi… gimana caranya?” Dela memegang pundak Avnin dan menyipitkan matanya seolah tidak percaya. “Beneran? Jangan-jangan informasi yang kamu dapet itu salah.” Ucap Dela tak percaya. Avnin langsung meninju muka Dela. “Informasi yang kudapet itu gak pernah salah!” Bantah Avnin dengan sedikit marah. Dela memegang pipinya dan dengan santai bilang. “Hei, santai dong. Aku cuman bercanda, kok.” Avnin duduk di atas lututnya dan melihat begitu banyak Ikan yang mati. “Aku penasaran. Kenapa mereka mati?”. Dela mencoba menjawab. “Aku tahu! Pasti karena lautnya kotor, ‘kan!” Avnin kembali bertanya. “Tapi, gimana yang udah jadi tulang?” Dela melihat ke arah tulang-tulang di permukaan laut. Dia tidak menyangka itu adalah ikan juga. “Ikan?” Gumam Dela. Avnin terlihat begitu serius dengan pemandangan laut kotor yang dia lihat. Sebuah pikiran terbenak dipikiran Avnin. “Kalo aku menyelam… Mungkin ada sesuatu di sana?” Gumam Avnin. Dela dengan spontan menarik Avnin dan merangkulnya erat. Dela berbicara “Ah! Enak aja! Dari baunya aja gak meyakinkan.” Avnin langsung menyundul dagu Dela. “Aku gak sebodoh itu ya! Jelas aku gak bakal nyelam gitu aja!” Avnin kembali melihat laut itu. Dela pun dengan ekspresi bodohnya bertanya. “Apa yang menarik coba?” Meski begitu, terlihat alisnya mengerut sedikit. Avnin tidak menjawab. Keadaan sekitar begitu sunyi bagai hamparan tak berpenghuni. Di perjalanan mereka—belum pernah terdengar kicauan burung-burung di udara. Dela mengamati Avnin yang seolah melihat sesuatu di dalam laut. Seketika, dada Avnin terasa berat—napasnya seolah terhenti. Avnin terduduk di tanah dengan wajah pucat. Dela dengan panik mengambil tubuh Avnin. “Ni, ada apa?” Tanya Dela dengan khawatir. Avnin akhirnya bisa bernapas lagi. “A-aku baik, kok.” Dela pun menghela lega. Dengan pelan—dia menepuk pundak sahabatnya. “Ni, kamu jangan terlalu gegabah. Kalo mau pergi bareng sama aku, ya.” Ucap Dela. Avnin sedikit terkejut. Tapi dia juga masih ingin bersama Dela. “B-boleh.” Jawab singkat dari seorang Avnin. Dia memegang tangan Dela dan berdiri. Mereka pun berjalan menuju sisi lain tembok yang seperti tak ada habisnya. Di tengah jalan, terlihat papan-papan tertancap di pesisir laut, namun tulisannya sudah kabur dan susah dibaca. Terdapat juga perahu-perahu kayu yang terbengkalai. Di sana ada jaring, kail, dan beberapa peralatan nelayan yang rusak. Mereka juga melihat beberapa bom dan senjata api bertebaran di laut. Semakin jauh mereka berjalan—tanah yang mereka pijak mulai semakin basah dan lengket. Bau di sekitar terasa lebih menyengat. Di tengah perjalanan—mereka melihat pemukiman bahkan pelabuhan. Terlihat dinding-dinding yang roboh, kaca-kaca yang jendela pecah, dan atap yang bolong. “Apa tempat ini masih layak huni?” Tanya Avnin dengan gelisah. Dela menjawab dengan sedikit bercanda. “Siapa juga yang mau tinggal di sini, ‘kan?” Avnin bertanya lagi. “Tapi… mungkin aja? Gimana kalo ada nelayan yang terjebak di sini?” Dela bergumam. “Nelayan, ya?” Semakin jauh mereka berjalan. Hati Avnin mulai berdetak kencang. Perasaannya campur aduk. Angin yang lembap lumayan kencang hingga membuat topinya terhempas jauh. Avnin pun langsung mengejar topinya yang terbang. Ketika dia mengambil kembali topinya. Dia tidak merasa senang. Justru, dia merasa kehilangan sesuatu. Sesuatu yang lebih berharga dari topi yang dia genggam. Tanpa sadar, dia melihat bangunan yang hancur... Dia seperti menyaksikan pemandangan yang tidak seharusnya dia lihat. Seketika, Avnin melihat sosok seperti bayangan anak kecil di dalam bangunan itu. Namun… sosoknya begitu familiar. Apa mungkin angin itu untuk mencuri perhatiannya? Sosok itu mendekati Avnin. Dia pernah melihat ini—merasakan ini. Tapi di mana? Dia tahu jawabannya. Tetapi seperti ada sesuatu yang membuatnya tidak bisa menjawabnya. Avnin mendengar bisikannya. "Ni... Ni..." Memanggilnya seolah meminta tolong. Badannya menegang dan gemetar—napasnya tercekat di tenggorokan—mulutnya terbuka sedikit—matanya melebar merinding. Ini bukan rasa yang menyenangkan. Rasanya seperti dia ditarik ke kehampaan mencekam yang pernah terjadi sebelumnya. Tiba-tiba, suara derit kayu terdengar dari belakang. Avnin langsung menoleh ke belakang. Ternyata... "Ni? Kamu kenapa?" Tanya polos Dela, suaranya ringan. Avnin terkejut dan terduduk di tanah yang lengket. Dela bertanya lagi. “Ni? Kamu kenapa?” Avnin langsung berdiri dan memukul wajahnya dengan pelan. “Oi! Gausah nakutin aku gitu dong!” Ucap Avnin dengan sedikit marah. Dela membantu Avnin untuk berdiri. Lalu berkata. “Kamu kayak abis ngelihat hantu.” “O-oh… aku cuman keinget sesuatu.” Jawab Avnin. Suara Avnin terdengar ragu-ragu, namun Dela memutuskan untuk diam. Dela melepas genggamannya dan melihat ke arah tembok. Avnin ikutan melihat. Menjalar lumut di beberapa titik pada tembok besar. Tapi hampir semua bagiannya mulus dan bersih. Dela tersenyum kecil dan menengok ke arah Avnin. “Avni-,” Sirine keras tiba-tiba berbunyi keras. Suara speaker kembali muncul. “Peringatan!” Suara orangnya berbeda. Dan tampak buru-buru. “Jangan sepelekan ini! Akan ada ombak besar yang menerjang pagar di arah timur laut dari pusat pagar. Tolong menghindar dari daerah itu secepatnya!” Speakernya mati. Mereka terlihat bingung. Namun mereka langsung merasakan tekanan kuat dari arah kanan. Tanahnya di bawah mereka bergetar hebat. Sesuatu yang mungkin tidak pernah mereka bayangkan sedang mendekati mereka. Angin di sekitar mereka terhempas kuat membawa aroma asin dan amis yang menusuk hidung mereka. Peringatan itu benar… Ombak besar itu sudah setara tsunami kecil. Mata Avnin melebar. Mengucur di wajahnya keringat yang membasahi pelipisnya. Mimpi buruk yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya sedang terjadi di depannya begitu cepat. Kenangan yang hilang telah kembali begitu cepat. Tanpa pikir panjang, Dela menggenggam erat tangan Avnin dan membawanya lari menuju tepi ombak. Napas dan langkah mereka berat, seolah dunia menarik mereka untuk berpasrah. Tanah yang lengket menghalangi jalan mereka. Puing-puing bangunan yang jatuh terbawa ombak memaksa mereka untuk berhati-hati. Secepatnya mereka ingin menyusul menuju tepi—Ombak itu sudah mendekat seperti monster yang siap menelan semua yang ada di jalannya. Tidak ada pilihan lain. Dela menggertakkan giginya, dia mengangkat tubuh Avnin ke pundaknya. “Del!? Kamu ngapain!? Turunin aku!” Avnin berontak, suaranya panik. Dela tidak goyah, tetap diam dan fokus pada tujuannya, seperti ada prioritas yang harus dia tepati. Napasnya lagi-lagi tersengal, namun tidak sedikitpun dia melambatkan langkahnya. Di akhir batasnya, Dela memusatkan seluruh kekuatannya pada satu tujuan. Yakin dan pasti. Ombak itu—Raksasa cairan kelabu yang hanya beberapa langkah lagi sebelum menerjang. Dunia di sekitar mereka seolah melambat. “Kau harus selamat.” bisik lembut Dela. Dia melempar Avnin dari ombak itu. Avnin terhuyung jauh, dunia di sekitarnya berputar. Matanya melebar kembali—Air mata yang tertahan selama ini bertebaran di udara. Dia memandang terakhir kalinya dia melihat senyum di wajah Dela. Dia mengingat semua kenangan yang dia lalui selama ini bersama Dela. Suaranya tercekat—lenyap di tengah deru ombak yang menerjang mengatakan. “Del… Jangan...”
Bonus Dialogue
“Mereka… aku benci mereka.”
“Pelanggaran dalam janji kita. Seolah tiada penyesalan. Aku benci perilakumu. Aku benci dengan cara kita bersama. Kau pikir aku pengen bersahabat denganmu?
“Mereka… Trisula… ya?”
“Tapi… Ini semua demi dirimu. Aku tahu, aku udah jadi bagian dari mereka. Tapi, aku masih pengen kita bersama. Cuman itu yang kupikirkan.”
“Kau… kau pembohong!”