Friday, March 14, 2025

Cerpen Lomba | Muhammad Adzam Al-Fahreza | Pagar di Laut yang Menghalangi Mimpi

 Cerpen Muhammad Adzam Al-Fahreza 



 (Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)  |


Reza menatap laut dari pinggir pantai dengan perasaan gelisah. Sejak kecil, ia sudah akrab dengan laut. Ayahnya seorang nelayan, begitu juga kakeknya. Bagi mereka, laut bukan hanya tempat mencari nafkah, tapi juga tempat berbagi cerita dan menikmati hidup. Tapi sekarang, semuanya berubah. Sebuah pagar besi tinggi sepanjang 30,16 kilometer berdiri di sepanjang pantai, seolah-olah mengusir mereka dari laut yang sudah mereka kenal seumur hidup.


Reza masih ingat hari pertama pagar itu muncul. Pagi itu, ia dan para nelayan lain siap berlayar, tapi yang mereka temukan malah tiang-tiang besi berdiri kokoh di jalur keluar perahu mereka. Beberapa pekerja sibuk memasang pagar, sementara alat berat membawa material tambahan.


“Apa ini?” tanya Pak Rudi, seorang nelayan tua, dengan nada kesal.


Salah satu pekerja hanya melirik sekilas, lalu kembali bekerja seolah-olah tak ada yang perlu dijelaskan. Tak lama, seorang pria berbadan besar dengan jas rapi datang menghampiri. “Ini tanah milik perusahaan,” katanya datar. “Kami punya izin resmi untuk membangun pagar di sini.”


Para nelayan saling pandang. Milik perusahaan? Sejak kapan laut bisa dimiliki?


Reza mengepalkan tangannya. “Kami butuh laut untuk mencari makan. Ini bukan cuma tempat kerja kami, ini hidup kami.”


Pria itu hanya mengangkat bahu. “Saya hanya menjalankan perintah. Kalau ada keluhan, silakan ajukan ke pihak berwenang.”


________________________________________


Hari-hari berikutnya penuh dengan kebingungan. Para nelayan mencoba mencari jalur lain, tapi itu berarti perjalanan lebih jauh dan biaya bahan bakar semakin mahal. Hasil tangkapan pun menurun drastis. Banyak yang mulai menyerah, menjual perahu mereka, dan mencari pekerjaan lain.


Reza tidak ingin tinggal diam. Ia bersama beberapa nelayan pergi ke kantor desa untuk meminta penjelasan. Tapi jawaban yang mereka dapatkan justru semakin membingungkan.


“Pihak perusahaan sudah mendapatkan izin untuk membangun di sana,” kata seorang pegawai desa sambil menyesap kopi. “Semua sudah sesuai aturan.”


“Tapi itu laut! Bagaimana bisa ada izin untuk sesuatu yang harusnya milik semua orang?” protes Reza.


Pegawai itu hanya mengangkat bahu. “Kalau kalian merasa dirugikan, coba ajukan protes resmi.”


Protes resmi? Bagaimana bisa mereka, para nelayan sederhana, melawan perusahaan besar yang punya banyak uang dan pengaruh?


Namun, Reza tidak mau menyerah. Ia tahu mereka butuh dukungan. Ia mulai menghubungi teman-temannya yang kuliah di kota, mencari informasi tentang cara memperjuangkan hak mereka. Dengan bantuan mereka, Reza mulai merekam kondisi para nelayan yang kesulitan, membuat video, dan membagikannya di media sosial. Ia juga mengajak warga untuk ikut berdemonstrasi menuntut keadilan. Setiap hari, semakin banyak orang yang tertarik dengan perjuangan mereka.


________________________________________


Awalnya, tak banyak yang peduli. Tapi perlahan, berita tentang pagar di laut mulai menarik perhatian. Wartawan datang meliput, aktivis lingkungan mulai angkat suara, dan masyarakat pun bertanya-tanya tentang kebijakan ini.


“Kalau perusahaan bisa mengambil laut seenaknya, bagaimana nasib para nelayan kecil di seluruh negeri?” kata seorang aktivis dalam wawancara.


Tekanan dari masyarakat semakin besar, hingga akhirnya pemerintah mulai turun tangan. Mereka mengadakan penyelidikan dan menemukan ada kejanggalan dalam proses izin pembangunan pagar tersebut. Ada dugaan korupsi yang melibatkan beberapa pejabat, dan kasus ini mulai diselidiki lebih dalam.


Di sisi lain, tekanan juga datang dari luar negeri. Beberapa organisasi lingkungan internasional mengecam tindakan ini karena dianggap merusak ekosistem laut. Mereka menyoroti dampak buruknya terhadap lingkungan dan kesejahteraan masyarakat pesisir.


Tak lama setelah kasus ini menjadi sorotan nasional, Presiden yang sedang menjabat langsung memerintahkan TNI AL untuk turun tangan. Dalam waktu singkat, sebanyak 15 kilometer dari pagar besi itu dibongkar. Keputusan ini disambut dengan kegembiraan oleh para nelayan yang selama ini merasa terpinggirkan.


Namun, meskipun sebagian pagar sudah dihancurkan, kasus ini belum sepenuhnya selesai. Masih ada bagian pagar yang berdiri, dan nasib para nelayan belum sepenuhnya kembali seperti semula. Beberapa pihak yang dianggap bertanggung jawab atas pembangunan pagar ini telah ditangkap, tapi penyelidikan masih berlanjut.


Malam itu, Reza duduk di tepi pantai bersama beberapa nelayan lainnya. Mereka berbincang tentang masa depan, tentang kemungkinan laut benar-benar kembali ke tangan mereka. “Apa kita akan menang?” tanya seorang pemuda nelayan, ragu-ragu.


Reza mengangguk yakin. “Kita sudah berjalan sejauh ini. Kita tidak boleh berhenti sekarang.”


Di hari-hari berikutnya, protes dan dukungan terus berdatangan. Masyarakat semakin peduli, media terus meliput, dan tekanan terhadap pihak berwenang semakin besar. Setiap kali Reza melihat layar ponselnya, ada berita baru tentang penyelidikan yang masih berjalan, tentang tokoh-tokoh besar yang mungkin terlibat.


Di sisi lain, tekanan dari berbagai pihak mulai membuahkan hasil. Sejumlah pejabat tinggi yang terlibat dalam pemberian izin pembangunan pagar laut mulai dipanggil untuk diperiksa. Beberapa dari mereka akhirnya dinyatakan bersalah dan dihukum.


Suatu siang yang panas, Reza berdiri di pantai bersama para nelayan lain. Mereka menyaksikan alat berat datang, kali ini bukan untuk membangun, tapi untuk merobohkan pagar besi yang selama ini menghalangi mereka.


Suara besi runtuh bergema di sepanjang pesisir. Para nelayan bersorak, beberapa bahkan meneteskan air mata. Reza menghembuskan napas lega. Setidaknya, ada langkah maju dalam perjuangan mereka.


Namun, ia tahu perjuangan belum selesai. Masih ada pagar yang harus dirobohkan, masih ada keadilan yang harus diperjuangkan. Satu hal yang Reza pelajari dari semua ini: keadilan tidak datang begitu saja. Kadang, kita harus berjuang lebih keras untuk mendapatkannya.


Setelah pagar dihancurkan, pemerintah menjanjikan pemulihan ekosistem laut yang terdampak dan pemberian kompensasi bagi nelayan yang kehilangan mata pencaharian akibat proyek tersebut. Meski begitu, proses ini tidak berjalan dengan mudah. Banyak janji yang masih harus ditepati, dan Reza tahu bahwa mereka harus terus mengawal proses ini hingga benar-benar selesai.


Sambil memandang laut yang terbuka kembali, Reza merasa harapan itu masih menyala. Perjuangan belum berakhir, tapi setidaknya, mereka telah membuka jalan. Suatu hari nanti, ia ingin melihat laut kembali menjadi tempat yang bebas dan adil bagi semua orang. Laut yang selama ini menjadi sumber kehidupan mereka, kini kembali menjadi milik bersama.


Dan perjuangan mereka tak akan berhenti di sini. Mereka telah membuktikan bahwa suara masyarakat kecil bisa mengguncang penguasa. Bahwa ketika mereka bersatu, mereka bisa melawan ketidakadilan dan memenangkan hak mereka kembali. Hari itu, di bawah langit biru yang terbentang luas, Reza merasa bahwa perjuangannya baru saja dimulai.


Namun, di balik kemenangan kecil itu, Reza tahu satu hal: mereka harus tetap waspada. Sejarah menunjukkan bahwa ketidakadilan bisa datang kapan saja, dari arah yang tak terduga. Ia bersumpah, selamanya akan menjadi penjaga lautnya, bersama para nelayan lain, menjaga kebebasan mereka yang telah diperjuangkan dengan susah payah.