Saturday, March 15, 2025

Cerpen Lomba | Muhammad Fadil | Pagar Makan Rezeki Orang

Cerpen Muhammad Fadil



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)  |


Di sebuah desa kecil bernama Kohod, yang terletak di pesisir Tangerang, hiduplah seorang nelayan miskin bernama Pak Tono. Setiap hari, ia berangkat melaut dengan perahu kayunya yang sudah lapuk dimakan usia. Bersama istrinya, Bu Suriah, dan ketiga anaknya si bungsu berumur dua tahun, yang tengah duduk di bangku SD, dan si sulung yang sudah putus sekolah mereka menjalani hidup dengan penuh perjuangan.


Malam itu, setelah seharian melaut, Pak Tono pulang dengan wajah lesu. Tangannya yang kasar menggenggam jaring kosong.


Bu Suriah, yang sedang menidurkan si bungsu, langsung menyadari raut wajah suaminya.


"Sepi lagi, Pak?" tanyanya lembut.


Pak Tono duduk di lantai, menghela napas panjang. "Iya, Bu. Ikan makin sedikit. Limbah dari pabrik itu bikin laut rusak. Bapak enggak bisa melaut jauh."


Anak sulung mereka, Rudi, yang duduk di sudut ruangan, ikut angkat bicara. "Makanya, Pak, Rudi kepengin bantu. Biar bisa ikut nyari rezeki juga."


Pak Tono menggeleng. "Kamu masih bocah, Nak. Laut itu nggak segampang yang kamu kira."


"Tapi, Pak, kalau cuma mengandalkan hasil tangkapan Bapak, kita mau makan apa?" Rudi membantah.


Bu Suriah menepuk pundak anaknya. "Sabar, Nak. Rezeki itu ada jalannya sendiri."


Pak Tono menatap anak sulungnya dengan mata sendu. Ia tahu Rudi tidak salah. Hidup mereka semakin sulit. Bahkan, untuk makan besok saja, mereka harus mengirit beras yang tersisa.


Malam itu, Pak Tono tidak bisa tidur.


Sementara itu, di ujung desa, rumah kepala desa berdiri megah seperti istana. Garasinya berjejer mobil-mobil mewah, dari Alphard hingga Fortuner. Warga sering berbisik-bisik, bertanya-tanya dari mana kepala desa bisa punya kekayaan melimpah. Ada yang menduga hasil kerja keras, ada pula yang yakin itu hasil korupsi. Namun, siapa berani melapor? Boro-boro didengar, yang melapor malah bisa balik dituduh.


Pak Tono bukan orang yang suka mengurusi urusan orang lain. Yang ia pikirkan hanyalah bagaimana caranya menafkahi keluarganya. Tapi menjadi nelayan di Kohod bukan perkara mudah. Laut yang dulu kaya hasil tangkapan, kini lebih banyak dipenuhi sampah dan limbah dari pabrik. Ikan makin sulit didapat, dan jika ada pun ukurannya kecil-kecil. Akhirnya, selain menangkap ikan, Pak Tono juga memulung botol bekas untuk dijual.


Suatu pagi, seperti biasa, Pak Tono berangkat melaut. Tapi, begitu sampai di tempat biasanya mencari ikan, ia terkejut bukan main. Lautnya bukan lagi lautan luas yang biasa ia lihat, melainkan penuh dengan pagar-pagar bambu yang berjejer rapi. Air laut yang seharusnya bebas diakses, kini seperti kandang ayam.


Pak Tono mengerutkan dahi. “Lho, ini apaan? Kok laut jadi kayak sawah?” gumamnya.


Ia mencoba mendayung lebih dekat, tapi perahunya terhalang pagar-pagar itu. Tidak ada jalan masuk. Sialnya, tanpa akses ke laut, ia pulang dengan tangan kosong.


Sesampainya di darat, para nelayan lainnya juga tampak bingung dan kesal. Mereka pun berkumpul, mendiskusikan masalah ini.


“Kita sudah susah cari ikan, sekarang malah laut kita dipagarin!” seru salah seorang nelayan.


“Ini pasti ulah orang-orang berduit!” sahut yang lain.


Pak Tono yang sejak tadi diam akhirnya bersuara, “Kita harus cari tahu siapa yang bikin pagar ini! Jangan-jangan ini kerjaan kepala desa!”


Warga sepakat untuk mengadukan masalah ini ke kepala desa. Namun, ketika mereka datang beramai-ramai, sang kepala desa hanya duduk santai di teras rumahnya, menyeruput kopi sambil memainkan ponselnya.


“Pak, kami mau mengadu soal pagar di laut!” kata seorang nelayan.


Kepala desa menurunkan ponselnya sebentar, lalu mengangkat alis. “Oh, pagar, ngapain laut dipegerin. Saya juga baru tahu.”


“Tapi, Pak! Kami nggak bisa melaut kalau ada pagar itu!”


“Ya, sabar dulu, nanti saya cari tahu,” jawab kepala desa enteng, lalu kembali fokus ke ponselnya.


Warga pulang dengan kecewa. Pak Tono merasa ada yang tidak beres. Usut punya usut, ternyata ada desas-desus bahwa kepala desa bekerja sama dengan sebuah perusahaan besar. Mereka menjadikan laut sebagai tambak pribadi, sehingga nelayan kecil seperti Pak Tono tak bisa mencari ikan lagi.


Tak tahan lagi, para nelayan akhirnya memutuskan untuk bertindak sendiri. Malam harinya, dengan membawa parang dan cangkul, mereka beramai-ramai pergi ke laut. Mereka mulai mencabut satu per satu pagar bambu yang menghalangi akses mereka.


Namun, baru saja mereka mencabut beberapa pagar, tiba-tiba segerombolan preman datang. Mereka membawa pentungan dan menghalangi para nelayan.


“Stop! Jangan ada yang berani sentuh pagar ini!” bentak salah satu preman.


“Laut ini milik semua orang! Kami berhak melaut!” seru Pak Tono berani.


Preman itu tertawa sinis. “Milik semua orang? Hahaha… ini udah ada pemiliknya!”


“Siapa pemiliknya?” tanya seorang nelayan.


Preman itu mendengus. “Nggak usah banyak tanya! Pokoknya bukan kalian!”


Pak Tono menggelengkan kepala. “Laut ini cuma milik Gusti Allah! Bukan manusia!”


Preman itu terdiam. Tak ada yang bisa membantah perkataan itu.


Namun, tak lama kemudian, salah satu preman melemparkan pukulan ke seorang nelayan. Terjadilah bentrokan! Para nelayan yang hanya bermodalkan tangan kosong harus menghadapi preman-preman bertubuh besar yang bersenjata pentungan. Beberapa nelayan jatuh tersungkur, sementara yang lain berusaha melawan sekuat tenaga.


Pak Tono sendiri terkena pukulan di kepala hingga jatuh ke air. Namun, meski tubuhnya sakit, ia tetap berusaha berdiri. “Kita nggak boleh kalah! Ini laut kita! Ini sumber rezeki kita!” teriaknya.


Bentrok itu berlangsung beberapa menit, sampai akhirnya suara sirene polisi terdengar. Para preman segera kabur, meninggalkan para nelayan yang terluka.


Polisi datang, tapi bukan untuk menangkap preman. Justru beberapa nelayan yang diciduk dan dibawa ke kantor polisi. Kepala desa yang sebelumnya diam, kini muncul dengan wajah penuh senyum.


“Sudah saya bilang, sabar dulu. Jangan main hakim sendiri,” ucapnya dengan nada melecehkan.


Pak Tono masih duduk di atas pasir, menatap lautan yang semakin jauh dari jangkauan mereka. Tubuhnya penuh luka, dan para nelayan lain pun mengalami nasib serupa. Malam itu, mereka pulang dengan rasa pahit tidak hanya kehilangan kesempatan mencari ikan, tetapi juga kehilangan harapan akan keadilan.


Saat para nelayan sedang berkumpul di warung kopi kecil di pinggir desa, seorang pemuda datang menghampiri mereka. Namanya Jaya, anak seorang nelayan yang sejak kecil menyaksikan betapa kerasnya hidup di laut. Namun, tidak seperti ayahnya, Jaya memilih jalan berbeda. Ia merantau ke kota, belajar banyak hal tentang dunia digital, dan kini kembali ke desa dengan sebuah ponsel canggih di tangannya.


"Apa yang terjadi semalam nggak boleh dibiarkan begitu saja, Pak," kata Jaya setelah mendengar cerita Pak Tono dan nelayan lainnya.


"Lha, mau gimana lagi? Melapor ke polisi? Yang ada kita yang ditangkep," sahut seorang nelayan dengan nada pasrah.


Jaya tersenyum. "Siapa bilang harus lapor polisi? Kita punya senjata lain. Sosial media."


Para nelayan saling berpandangan. Mereka tidak terlalu paham apa maksud Jaya.


"Aku rekam aja kejadian semalam," kata seorang pemuda lain, Udin, sambil mengeluarkan ponselnya. "Tapi aku nggak tahu harus ngapain dengan video ini."


Jaya mengambil ponsel Udin, melihat video itu, lalu mengangguk puas. "Ini cukup. Aku bakal unggah ke internet, kasih tagar yang pas, dan kita lihat apakah dunia akan peduli."


Para nelayan hanya bisa menghela napas. Mereka tidak terlalu mengerti bagaimana internet bisa membantu mereka, tetapi mereka juga tidak punya pilihan lain.


Beberapa jam setelah Jaya mengunggah video itu ke media sosial dengan tagar #BebaskanLautKami, sesuatu yang mengejutkan terjadi. Video itu mulai menyebar.


Awalnya, hanya beberapa orang yang berkomentar, kebanyakan dari warga desa sekitar. Namun, tak lama kemudian, video itu diunggah ulang oleh akun-akun besar yang sering membahas isu sosial.


"Apa-apaan ini? Laut kok dipagari?! Kejam banget!" tulis seorang warganet.


"Nelayan kecil makin susah! Tolong viralkan biar ada tindakan!" komentar lainnya.


Dalam hitungan jam, video itu ditonton ribuan kali, lalu ratusan ribu. Wartawan mulai menghubungi Jaya untuk menanyakan kejadian sebenarnya. Bahkan, ada aktivis lingkungan yang ikut menyoroti kasus ini dan meminta pemerintah turun tangan.


Sementara itu, di desa, kepala desa mulai merasa panas. Ia tidak menyangka bahwa persoalan pagar bambu di laut akan menjadi perhatian nasional.


"Siapa yang menyebarkan video itu?!" bentaknya kepada para bawahannya.


Namun, semuanya sudah terlambat.


Dua hari kemudian, media televisi mulai meliput kejadian tersebut. Wartawan datang ke Kohod, mewawancarai para nelayan, dan menyiarkan keadaan mereka ke seluruh negeri.


Di Jakarta, beberapa aktivis menggelar aksi kecil di depan kantor pemerintah daerah, menuntut agar kasus ini diselidiki. Menteri Kelautan bahkan ikut berkomentar di Twitter, berjanji akan mengusut permasalahan ini.


Dampak dari viralnya video itu membuat pihak berwenang akhirnya turun tangan. Sejumlah pejabat dikirim ke desa untuk melakukan investigasi. Polisi yang tadinya diam kini mulai bertindak, dan beberapa preman yang terlibat bentrokan akhirnya ditangkap.


Namun, yang lebih mengejutkan adalah keputusan pemerintah daerah: pagar bambu yang menghalangi nelayan akhirnya dibongkar!


Pak Tono dan para nelayan hanya bisa menatap dengan takjub saat pagar-pagar itu ditarik satu per satu dari laut. Untuk pertama kalinya dalam sekian lama, mereka bisa kembali melaut dengan bebas.


Jaya dan Udin tersenyum puas. "Lihat kan, Pak? Kadang, yang kita butuhkan bukan cuma keberanian, tapi juga cara yang tepat untuk menyampaikan suara kita."


Pak Tono menepuk pundak Jaya. "Terima kasih, Nak. Kami ini cuma orang kampung yang nggak paham internet. Tapi ternyata, suara kami bisa didengar juga."


Hari itu, angin laut terasa lebih segar dari biasanya. Para nelayan kembali ke perahu mereka, siap berlayar dengan harapan baru.