Cerpen Muhammad Kodir
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Aku dan teman-temanku berlarian membelah kerumunan, menyibak kaki-kaki besar demi melihat rombongan tentara lewat. Tak pernah kulihat ada begitu banyak orang berkumpul di desa. Para tentara yang memakai seragam loreng biru itu berteriak-teriak untuk mundur guna memberi jalan kendaraan-kendaraan besar yang sedang menuju pantai. Aku dan teman-teman terkesima melihatnya. Itu sangat keren!
Orang-orang dewasa bilang, kendaraan mirip tank itu adalah kendaraan amfibi, entah apa artinya, yang jelas kendaraan-kendaraan itu bisa mengapung di laut. Hebat! Aku dan teman-teman berseru girang. Kami berlarian ke bibir pantai hingga disentak oleh orang-orang berseragam putih, kurasa mereka dari pemerintahan. Katanya anak-anak dilarang mendekat, padahal aku sangat ingin naik kendaraan itu. Sepertinya seru.
Aldi tiba-tiba melangkah maju, lalu memamerkan otot lengannya yang tak ada itu. “Besar nanti aku akan jadi tentara seperti mereka dan pergi ke ujung lautan,” ucapnya mantap, yang kemudian menunjuk laut.
“Bapakku bilang laut itu nggak ada batasnya,” celetukku, sambil mengeluarkan jari-jari kakiku yang tenggelam di pasir.
“Ah, bapakmu pembohong, Ar. Semua hal di dunia ini punya batasan,” timpal Heri, anak terpintar di kelas kami.
“Kalau aku ingin jadi sepertinya.” Jeno yang berdiri di sampingku menunjuk orang-orang berseragam putih, lebih tepatnya orang buncit di tengah. “Dia adalah bosnya. Lihat saja dari tadi dia terus dikawal dan hanya menunjuk saja. Pasti menyenangkan.”
Heri tiba-tiba menepis tangannya. “Ah, kau itu tidak cocok. Yang cocok itu aku, karena ayahku adalah anggota partai,” sergahnya sombong.
Jeno cuma berdecak. Kemudian ia menyikutku. “Kalau kau, Ar? Pengin jadi apa?” tanyanya.
Aku langsung membusungkan dada. “Aku akan jadi presiden,” jawabku mantap.
Semua orang tertawa, bahkan Heri sampai memegangi perutnya.
“Eh, Arnav! Kau hidung-hitungan saja nggak bisa, dan bapakmu cuma nelayan kecil. Bagaimana bisa jadi presiden?” ledeknya, membuatku ciut.
“Aaahhh...” Candra yang sedari tadi diam tiba-tiba mendesah lega. “Akhirnya mereka membongkarnya juga.”
Teman-teman mendadak terdiam, lalu ikut memandang lautan.
Semua ini berawal dari malam itu, meski sudah sangat lama, entah berapa bulan, tapi aku ingat dengan jelas. Di tengah malam biasanya aku terbangun untuk kencing, malam itu juga. Dengan was-was aku pergi ke kamar mandi, takut diintip hantu. Kudengar suara berisik samar dari teras, jam segini memang saatnya Bapak pergi melaut. Setelah kudengar lebih jelas, itu adalah suara mesin kendaraan. Buru-buru aku menyudahi kencingku dan berlari serambi.
Benar saja, kulihat truk-truk besar melintas dengan muatan penuh bambu menuju pantai. Beberapa rumah juga membuka pintunya, ikut penasaran sepertiku. Aku mengikuti Bapak yang mengikuti mereka bersama beberapa warga.
Aku mengintip dari balik pohon, memandang takjub truk-truk itu satu per satu parkir berjejer. Kulihat juga ada beberapa kapal di pantai. Hanya ada satu mobil di sana, dan bapakku bersama beberapa warga menghampiri orang yang keluar darinya.
“Maaf, Pak. Ada keperluan apa, ya?” tanya Bapak sopan.
Orang itu malah menatap tajam. “Bukan urusan kalian. Ini sudah dapat izin. Pergilah!” balasnya menggebu.
“Ini desa kami, Pak. Tak ada pemberitahuan sebelumnya. Memang mau buat apa?” Bapak masih saja berbicara lembut.
Orang itu berkacak pinggang. “Kami akan membangun pagar laut. Perintah dari orang berkuasa, bahkan Kepala Desa kalian sudah tahu.”
Semua orang tercengang. Aku tertawa kecil. Mana bisa memagari laut? Lucu.
“Pergilah! Laut ini sudah bersertifikat atas nama kami!” pungkas orang itu tajam.
Mereka mulai menurunkan bambu-bambu itu dan mengusungnya ke kapal. Meski sangat penasaran, aku memutuskan untuk kembali sebelum dipergoki Bapak.
Malam-malam berikutnya, truk-truk itu datang lagi. Tiap itu terjadi aku akan membuka jendelaku lebar-lebar dan menunda agenda pipisku. Ternyata mereka benar-benar memagari laut. Saat pulang sekolah, aku dan teman-teman biasanya mampir ke rumah Jeno yang langsung menghadap laut untuk memanen buah ceri yang ada di halamannya. Aku akan memanjat ke cabang tertinggi untuk melihat pagar ajaib itu. Semakin hari pagar bambu itu semakin panjang dan berkelok-kelok.
Saat aku dan teman-teman bermain, aku sering mencuri dengar pembicaraan ibu-ibu. Mereka bergosip tentang pagar itu, buat apa, milik siapa, dan atas izin siapa. Semua menjadi misteri. Kepala Desa sepertinya enggan menjawabnya, hanya bilang itu untuk pembangunan dan pertumbuhan ekonomi tanpa menjelaskan lebih.
Suatu malam aku kembali terbangun, kali ini truk-truk itu sudah tak datang lagi. Pasti sudah selesai. Namun berisik datang dari Bapak dan rekan-rekan melautnya, sambil menyiapkan jaring mereka terus saja mengeluh karena harus memutar jauh untuk ke tengah laut, belum lagi perahu mereka sering rusak karena mengenai pagar bambu itu. Lalu di siang harinya Ibu juga akan mengeluh karena uang belanja berkurang untuk membeli bahan bakar perahu, otomatis uang jajanku ikut berkurang.
Aku mulai membenci pagar laut itu.
Karena Heri selalu memamerkan mainan mobil barunya dan aku kekurangan uang, di Minggu subuh saat air surut aku ikut Jeno dan abangnya mencari hewan laut. Aku akan memakai sepatu boot Jeno untuk menghindari tajamnya karang dan bulu babi yang sesekali kutemui. Aku dan Jeno akan berseru girang saat menemukan kerang besar, lalu merintih saat dicapit kepiting. Meski kami banyak bermainnya, abangnya Jeno selalu berbaik hati memberiku uang receh untuk hewan-hewan yang kukumpulkan.
Namun, sumber keuanganku pun dibuat seret oleh pagar laut itu. Setiap minggu tangkapan kami terus saja berkurang. Kata abangnya Jeno ekosistemnya rusak karena bambu-bambu itu. Awalnya aku tak tahu apa itu ekosistem, setelah kutanya guruku, ternyata itu adalah berbagai makhluk hidup yang tinggal di satu tempat.
Abangnya Jeno pun berhenti mencari kerang dan aku kehilangan sumber keuanganku. Pagar itu benar-benar pembawa sial.
Aku ingin sekali protes, tapi aku tak tahu harus ke mana, alhasil Bapak Ibu lah yang jadi sasaranku. Entah ini karena bawelanku, atau Bapak yang sudah muak, Bapak dan para nelayan akhirnya melaporkannya ke pihak berwajib. Setidaknya itulah yang kudengar dari gosip ibu-ibu. Entah pihak berwajib yang mana, mungkin partai tempat ayahnya Heri bekerja. Entahlah.
Meski begitu, pagar laut itu masih saja berdiri. Aku mulai pasrah, mungkin warga juga.
Aku pernah bertanya ke Bapak saat ia memperbaiki jaringnya yang robek di teras. “Pak sebenarnya laut itu punya siapa? Kenapa mereka memagarinya?”
Bapak mendesah jengah. “Tak ada yang punya. Pagar itu hanya permainan orang-orang serakah yang berkuasa.”
“Maksud Bapak siapa?” tuntutku.
Bapak mengangkat bahu. “Pemerintah? Perusahaan? Entahlah. Mereka hanya mengklaimnya.”
“Lalu kenapa Bapak tidak mengklaimnya lebih dulu?”
Bapak meletakkan jarum bambu dan senarnya, lalu menatapku tajam. “Arnav, orang-orang seperti kita akan selalu kalah dengan mereka yang punya uang dan kuasa. HAM dan kebebasan kita akan selalu disisihkan.”
Aku mengernyit bingung. “Kita sudah merdeka, kan, Pak?”
Bapak tertawa pahit, lalu kembali merajut. “Merdeka apanya? Negeri ini bukan untuk orang-orang kecil macam kita.” Bapak kembali menatapku. “Arnav, kalau besar nanti kamu punya kesempatan ke luar negeri, pergilah. Jika negara ini begini terus, tak akan ada yang tersisa untukmu nanti, kecuali penindasan dan ketidakadilan.”
“Tapi aku cinta negara ini,” pungkasku.
Bapak kembali merajut. “Bapak juga,” lesahnya.
“Kalau begitu, aku akan jadi presiden dan memberikan laut itu ke Bapak,” celetukku bersungguh-sungguh.
Bapak malah tertawa. Entah apa maksud tawa itu.
Suatu sore aku sedang mengerjakan PR Matematika yang membuatku ingin meledak. Saat mendatangi Ibu, dia akan menyuruhku bertanya pada Bapak karena sibuk memasak. Lalu saat kudatangi Bapak, dia menyuruhku belajar dengan Ibu karena beliau pengin nonton berita dengan tenang. Akhirnya kututup saja bukuku dan bergabung dengan Bapak, biar kutanyakan saja pada abangnya Jeno nanti.
Tiba-tiba di TV muncul berita tentang desa kami dan pagar laut sialan itu. Pewarta mengatakan pagar itu sepanjang 30,16 kilometer, kata Bapak itu sebanding dengan Bandara Soekarno-Hatta ke Monas. Aku langsung terperangah. Teringat perjalanan melelahkan saat kami jalan-jalan ke Jakarta. Ternyata panjang juga pagar itu.
Saat aku mendatangi abangnya Jeno untuk bertanya tentang PR-ku, pagar laut itu muncul juga di ponsel abangnya Jeno. Hingga setiap hari kudengar ibu-ibu terus saja menggosipkannya, dan berita pagar itu muncul di setiap saluran berita yang Bapak tonton. Hingga akhirnya datanglah para tentara ini dan bapak-bapak berbaju putih itu.
Jam terus berlalu, kendaraan amfibi itu masih saja belum kembali. Aku dan teman-teman sampai bosan menunggu, akhirnya kami pun kembali ke rumah masing-masing.
Setelah mandi aku dan Jeno kembali ke pantai. Langit berubah kemerahan. Tiba-tiba Jeno menunjuk ke laut. Itu kendaraan yang kami tunggu-tunggu, juga perahu para nelayan, salah satunya milik bapakku.
Aku berlari ke bibir pantai sambil membawa botol air. Bapak dan rekan-rekannya mendorong perahu penuh potongan bambu ke tepi. Setelah itu Bapak langsung terduduk di pasir, wajah letih dan baju basahnya membuatku iba. Langsung saja kuberikan botolku. Bapak tersenyum senang dan menenggak air itu sampai habis.
Aku ikut duduk di sampingnya, memandang kendaraan amfibi itu kembali ke darat. Para tentara dan orang-orang itu sudah kelelahan, tapi wajah lega kentara di wajah mereka.
“Pak, apa aku bisa jadi presiden?” tanyaku tiba-tiba, teringat ucapan Heri tadi pagi.
Bapak mengelus rambutku. “Tentu saja, semua punya hak.”
“Kata Bapak tak akan ada yang tersisa untukku jika begini terus.”
Bapak tersenyum lembut. “Bahkan jika tak ada yang tersisa, teruslah berjuang, seperti laut dalam yang menyembunyikan kekuatan di kedalamannya, tak tergoyahkan oleh gelombang di permukaan. Seperti arti namamu.”
“Baiklah. Aku akan terus berjuang seperti lautan,” seruku bersemangat.
Bapak mencolek hidungku. “Asal ingat saja. Jangan berikan laut dan hutan, atau apapun itu pada orang serakah. Lautan bukan untuk dimiliki.”
Aku mentap lekat langit senja. Bertekad. Aku akan terus berjuang. Seperti laut dalam yang tak tergoyahkan oleh badai. Seperti ombak yang tak pernah berhenti menghantam.
Seperti harapan yang tak akan pernah bisa dipagari.