Cerpen Muhammad Salim Rafi
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba) |
Di sebuah desa nelayan kecil yang terletak di tepi pantai, hidup seorang pemuda bernama Bima. Desa itu, meskipun sederhana, memiliki pesona yang tak ternilai, dengan angin laut yang sejuk dan deburan ombak yang menghantam pantai setiap hari. Bima tinggal bersama ibunya, Siti, di rumah kayu sederhana yang dikelilingi tanaman hijau yang tumbuh subur. Rumah mereka tampak kecil, namun penuh dengan kehangatan dan kebersamaan. Sejak kecil, Bima sudah terbiasa dengan kehidupan laut yang keras dan penuh tantangan. Setiap pagi, sebelum fajar menyingsing, ia bangun dengan tekad yang kuat untuk melaut, berusaha mendapatkan hasil tangkapan yang cukup untuk bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan ibunya.
Laut, bagi Bima, adalah tempat yang paling dia kenal—tempat yang memberi banyak hal, seperti ikan dan kerang, yang menjadi sumber penghidupannya. Namun, di balik keindahannya, laut juga memiliki sisi yang berbahaya. Laut adalah tempat yang penuh misteri, yang bisa memberi banyak rezeki namun juga bisa merenggut semuanya dalam sekejap. Dalam ketenangan maupun kegelisahannya, Bima selalu merasakan kedekatan yang mendalam dengan laut, tempat yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya.
Namun, ada satu hal yang selalu Bima anggap hanya sebagai cerita belaka: Pagar Laut. Konon, di tengah laut, ada sebuah benteng alami yang terbentuk dari batu karang yang sangat besar. Benteng ini bisa melindungi desa dari gelombang besar atau bencana alam lainnya. Cerita ini sering diceritakan oleh orang-orang tua di desa, namun bagi Bima, itu hanya mitos. Pagar Laut hanyalah cerita untuk menenangkan ketakutan mereka terhadap laut yang penuh misteri.
Suatu malam, badai datang begitu mendalam. Angin berteriak keras, menghantam atap rumah, dan hujan turun deras. Laut yang biasanya tenang kini mengamuk. Bima yang sedang memperbaiki perahunya di pantai segera berlari menuju rumah untuk mencari ibunya. Dalam hatinya, ia merasa ada yang berbeda malam ini. Laut itu seakan marah, memberi peringatan yang lebih dalam. Bima berlari menembus hujan, merasa ada sesuatu yang salah.
“Ibu! Ibu!” teriak Bima, memasuki rumah yang remang-remang akibat diterpa angin.
Ibunya, Siti, berdiri di pintu, menatap laut dengan mata penuh kecemasan. “Bima, cepat! Pergi ke tempat yang lebih aman!” teriaknya, suaranya hampir kalah oleh angin yang mengamuk.
“Tapi ibu... laut... kenapa?” tanya Bima, bingung. Di luar, ombak besar sudah mulai menghantam pantai, merusak beberapa perahu nelayan yang terparkir. Tak ada waktu untuk berdebat lagi, Bima menggandeng tangan ibunya dan berlari menuju tempat yang lebih tinggi.
Malam itu adalah malam yang panjang dan menakutkan. Badai mereda keesokan harinya, namun pemandangan yang ada begitu mengerikan. Rumah-rumah rusak, perahu-perahu tenggelam, dan hampir semua yang ada di desa hancur. Bima merasa kakinya berat saat berjalan menuruni pantai yang telah berubah. Ia melihat reruntuhan, mengingatkan pada betapa rapuhnya hidup manusia di hadapan alam.
Namun, di tengah kekacauan itu, ada sesuatu yang menarik perhatian Bima. Di kejauhan, di tengah laut, ia melihat sesuatu yang tampak berbeda. Ada formasi batu karang yang sangat besar, membentuk seperti dinding atau gerbang yang terbentang di permukaan laut. Batu-batu itu tampak kokoh, seolah-olah menjadi penghalang bagi ombak besar yang datang ke daratan. Pagar Laut.
Bima terdiam, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Pagar Laut—sesuatu yang selama ini hanya ia anggap mitos—ternyata ada, berdiri kokoh di tengah laut, seolah menghalangi gelombang besar untuk menghancurkan desa mereka. Pagar Laut itu jelas bukan hal yang bisa diabaikan begitu saja. Tetapi, yang membuat Bima terkejut adalah kenyataan bahwa pagar itu tidak terlihat sekuat yang ia bayangkan. Batu-batu karang yang membentuknya terlihat rapuh, seolah-olah sudah terlalu lama terabaikan.
Dengan rasa bingung, Bima mendekat. Setiap langkahnya terasa berat, seperti ada beban yang mengikat tubuhnya. Ia merasa seperti sedang berhadapan dengan sesuatu yang sangat besar, sesuatu yang lebih dari sekadar batu dan laut. Sesampainya di dekat pagar itu, ia merasakan angin laut yang berbeda—sebuah angin yang terasa sejuk, namun juga penuh penyesalan.
"Apa yang bisa aku lakukan?" bisik Bima pelan, seolah bertanya kepada dirinya sendiri. Batu karang yang membentuk Pagar Laut itu terlihat mulai bergerak perlahan, tergerus oleh arus yang semakin kuat. Bima tahu bahwa jika ia tidak melakukan sesuatu, Pagar Laut itu akan hilang, dan dengan hilangnya pagar itu, desa mereka akan kembali rentan terhadap ancaman laut.
Bima teringat kata-kata ibunya semalam. “Laut ini tidak hanya memberi kita hidup, Bima, tapi juga bisa mengambil semuanya jika kita tidak hati-hati.”
Tiba-tiba, sebuah perasaan dalam dirinya berkata bahwa ia harus meminta maaf kepada laut. Bima merasakan sebuah ikatan yang dalam, ikatan yang selama ini ia lupakan. Laut yang telah memberinya kehidupan, yang telah memberi mereka banyak hal, sekarang membutuhkan sesuatu—penghargaan, perhatian, dan rasa hormat.
Dengan hati yang penuh penyesalan, Bima berlutut di depan batu karang yang membentuk Pagar Laut. “Kami sudah melupakanmu,” bisiknya. “Kami hanya sibuk dengan hidup kami, kami lupa bahwa laut juga punya cara untuk melindungi kami, memberi kami tanda. Maafkan kami.”
Tiba-tiba, sesuatu yang aneh terjadi. Angin laut mulai berhembus dengan lembut. Pagar Laut yang semula tampak rapuh kini mulai pulih, batu-batu karang itu bergerak kembali, seolah-olah mendengarkan permohonan Bima. Pagar Laut yang dulu terabaikan itu kini kembali kokoh, melindungi desa dari ancaman ombak besar.
Bima merasa sesuatu yang kuat mengalir dalam dirinya. Ia tahu bahwa apa yang terjadi malam itu bukan hanya kebetulan. Laut, meskipun tampak kejam, sebenarnya memberi mereka peluang untuk memperbaiki kesalahan mereka. Laut memberi mereka kesempatan untuk menghargai keberadaannya, untuk kembali menjaga hubungan mereka dengan alam.
Keesokan harinya, Bima kembali ke desa. Ia menceritakan kepada ibunya dan para warga desa tentang apa yang ia temui, tentang Pagar Laut yang nyata, dan tentang bagaimana mereka hampir kehilangan perlindungan itu karena kesalahan mereka yang melupakan laut. Warga desa pun mulai sadar. Mereka tidak bisa hanya bergantung pada hasil laut tanpa memberi penghargaan yang layak. Mereka harus belajar untuk menghargai laut dan menjaga keseimbangan dengan alam.
Bima tidak hanya menjadi nelayan yang mencari ikan. Ia kini menjadi seseorang yang menjaga laut, menjaga hubungan antara manusia dan alam. Setiap kali ia melaut, ia tidak hanya mencari nafkah, tetapi juga berbicara dengan laut, meminta izin, berterima kasih, dan berjanji untuk menjaga keseimbangan itu.
Pagar Laut yang dulu terlupakan kini bukan hanya sekadar pelindung fisik, tetapi juga menjadi simbol penting—bahwa kita tidak bisa terus melupakan alam dan hanya meminta. Alam punya cara untuk memberi kita pelajaran, dan kita harus belajar untuk menghargainya.
Bima tahu, bahwa selama mereka saling menghormati, Pagar Laut akan selalu ada—melindungi desa mereka dari segala ancaman yang datang, memberikan kehidupan, dan mengingatkan mereka untuk tidak pernah melupakan apa yang telah diberikan oleh alam.