Aku adalah seorang nelayan, yang
menggantungkan hidupku ke lautan, selama laut masih berisi ikan maka aku tidak
perlu khawatir akan kelaparan. Para penduduk pesisir yang hampir semua memiliki
mata pencaharian yang sama seperti ku yaitu seorang nelayan juga sama-sama
menggantungkan hidup mereka dan keluarga di lautan. Tapi entah apa salah kami
hingga kami harus mengalami hal ini, hal yang sangat mengerikan yang di lakukan
oleh orang-orang bodoh yang tak bertanggungjawab.
Sebuah pagar yang terbuat dari kayu bambu,
membentang panjang di lautan membentuk sebuah pagar raksasa yang menyulitkan
kami untuk mencari ikan, wilayah laut yang sebelumnya luas, laut yang
sebelumnya menjadi ladang kehidupan kami, kini terasa sempit dan
terkotak-kotak. Pagar bambu itu berdiri kokoh, seperti tembok raksasa yang
menghalangi kami mencari ikan. Kami tak bisa melaut seperti biasanya, dan
jaring yang kami tebarkan sering kali tersangkut di bilah-bilah bambu yang
tertanam di dasar laut.
Hari demi hari berlalu, hasil tangkapan
semakin sedikit. Dulu, sekali melaut, kami bisa membawa pulang cukup ikan untuk
dimakan dan dijual. Sekarang, berhari-hari kami berlayar, tapi hanya mendapat
sedikit, bahkan kadang pulang dengan tangan kosong.
Anak-anak kami mulai kelaparan.
Dapur-dapur yang dulu selalu mengepulkan asap kini sering kali dingin. Di
rumah, istri kami harus berhemat, menyisihkan sedikit demi sedikit beras yang
tersisa. Anak-anak kecil menangis kelaparan, meminta makan, tapi yang bisa kami
berikan hanyalah air garam dan sisa-sisa nasi kemarin.
Di ujung dermaga, seorang bocah lelaki,
anak dari nelayan tua bernama Pak Raji, duduk memeluk perutnya yang
keroncongan. “Ayah, aku lapar,” bisiknya pelan. Pak Raji hanya bisa mengusap
kepala anaknya dengan mata berkaca-kaca, karena di embernya, tak ada satu ekor
ikan pun yang bisa dibawa pulang.
Kelaparan semakin menjadi. Beberapa
keluarga mulai menjual barang berharga mereka demi membeli segenggam beras. Ada
yang merantau ke kota, mencoba peruntungan, tapi kembali dengan tangan hampa.
Kami semua terjebak dalam penderitaan yang diciptakan oleh pagar itu—pagar yang
memisahkan kami dari sumber kehidupan kami sendiri.
Namun, sampai kapan kami harus menerima
keadaan ini? Apakah mereka yang membangun pagar itu tahu bahwa mereka sedang
membunuh kami perlahan-lahan? Atau mereka memang tak peduli
Kamu ingin lanjut dengan konflik yang
lebih besar, misalnya para nelayan melawan atau mencari cara lain untuk
bertahan hidup?
Entah apa salah kami sampai kami harus di
perlakukan seperti ini, apa salah kami, kami hanya ingin hidup kami hanya ingin
makan.
Kalian memang penjahat bajingan, kenapa
kalian tega melakukan sebuah tindakan yang kejam kepada orang-orang yang lebih
lemah, bangsat, bodoh, tidak ada kata-kata yang biaa menggambarkan keburukan
perbuatan kalian.
Malam itu, di tengah kesedihan dan
kelaparan yang semakin menggigit, seorang pemuda dari desa seberang datang
membawa kabar. Ia berlari tergesa-gesa ke dermaga, napasnya tersengal. “Kakak,
berita tentang pagar ini sudah sampai ke kota! Ada banyak orang yang mulai
membicarakannya!” katanya dengan mata berbinar.
Kami semua yang berkumpul di dermaga
terdiam sejenak, mencerna kata-katanya. Benarkah? Apakah penderitaan kami
akhirnya akan berakhir setelah banyak orang di liar sana tau?
Dua hari kemudian, sebuah perahu kecil
bersandar di pantai. Di atasnya, ada beberapa orang asing, mereka bukan
nelayan, bukan juga penduduk desa kami. Mereka membawa kamera dan buku catatan,
bertanya tentang pagar bambu yang menutup laut. “Kami jurnalis,” kata salah
satu dari mereka. “Kami ingin menuliskan kisah kalian. Karena dunia harus tahu
tentang ini.”
Harapan yang hampir padam mulai menyala
kembali. Kami mengajak mereka melihat pagar itu, menunjukkan bagaimana jaring
kami tersangkut, bagaimana laut yang luas kini seperti terkurung seperti dalam
kandang. Mereka mencatat, mengambil gambar, bahkan mewawancarai warga dan
nelayan.
Tak butuh waktu lama, berita itu menyebar
semakin luas. Media mulai meliput, aktivis lingkungan angkat bicara, bahkan
pejabat di kota mulai merasa tertekan dengan tuntutan rakyat.
Dan akhirnya, sesuatu yang tak terduga
terjadi. Pada suatu pagi, suara gemuruh terdengar dari arah laut. Ketika kami
bergegas ke pantai, kami melihat kapal-kapal besar mendekat. Tapi bukan kapal
nelayan melainkan kapal dari pemerintah dan organisasi lingkungan. Mereka
datang dengan membawa alat berat, menatap pagar yang berjejer itu dengan
tatapan serius.
Seorang pria dengan seragam resmi turun
dari kapal. “Kami sudah menerima banyak laporan. Demi kesejahteraan para warga,
Pagar ini harus segera dihancurkan.”
Mata kami membelalak. Beberapa dari kami
tak percaya, takut ini hanya harapan palsu. Tapi kemudian, alat-alat berat
mulai bekerja. Bilah-bilah bambu yang menghalangi kami selama ini mulai runtuh
satu per satu. Ombak kembali mengalir tanpa hambatan, dan di sela-sela
reruntuhan pagar, kami melihat ikan-ikan kecil berenang bebas.
Kami menangis bukan karena kesedihan, tapi
karena harapan yang akhirnya kembali nyata.
Laut kami akhirnya telah kembali. Kami pun
kembali hidup.
Tapi masalah belum selesai. Pagar itu
memang telah dihancurkan, laut kami telah kembali, tapi si penjahat yang
membangun pagar itu masih berkeliaran entah di mana. Mereka yang telah membuat
kami kelaparan, mereka yang telah mengambil laut kami, tak bisa dibiarkan
begitu saja.
Kami tidak bisa hanya diam dan bersyukur.
Kami harus mencari tahu siapa dalang di balik semua ini dan memastikan mereka
tidak akan pernah bisa melakukan hal yang sama lagi bukan hanya kepada kami,
tetapi juga kepada nelayan lain di tempat mana pun.
Malam itu, kami berkumpul di rumah Pak
Raji. Para nelayan duduk melingkar, wajah mereka penuh dengan tekad. “Siapa pun
yang membangun pagar itu pasti memiliki kepentingan besar”, kata seorang
nelayan tua. “Mungkin mereka ingin menguasai laut ini untuk diri mereka
sendiri.”
“Aku mendengar rumor,” kata seorang
pemuda. “Ada sekelompok orang kaya dari kota yang ingin menjadikan laut kita
sebagai milik pribadi. Mereka yang membayar orang-orang untuk memasang pagar
itu.”
Kami semua terdiam. Amarah mulai membara
dalam dada.
“Kalau begitu, kita harus mencari bukti,”
kataku akhirnya. “Kita harus tahu siapa mereka sebenarnya dan menyeret mereka
ke hadapan hukum.”
Beberapa nelayan muda setuju untuk pergi
ke kota, menyusup ke pelabuhan, dan mencari tahu siapa yang selama ini
mengendalikan semuanya. Kami tidak punya banyak uang, tidak punya kekuatan
besar, tapi kami punya tekad. Kami sudah terlalu lama ditindas, dan sekarang
waktunya membalas.
Pencarian pun dimulai. Beberapa hari
kemudian, salah satu nelayan yang pergi ke kota kembali dengan wajah tegang.
“Aku menemukan sesuatu,” katanya. “Ada seorang pengusaha besar di kota, Dia
punya banyak perusahaan perikanan dan dikabarkan ingin menguasai seluruh
wilayah laut di sini.”
Mendengar berita itu sangat mengejutkan
bagi kami, tapi rasa muak sudah langsung terasa. Seorang pria kaya dari kota,
yang tak pernah berlayar seumur hidupnya, ingin mengambil laut kami?
Kami tidak bisa membiarkan ini terus
terjadi.
Kami akan mengejarnya. Kami akan
memastikan keadilan ditegakkan. Dan kali ini, tidak akan ada pagar yang
menghalangi kami lagi.