Saturday, March 15, 2025

Cerpen Lomba - Muhammad Syabilul Ikhsan - Kenapa Kami Dibatasi?

 


Aku adalah seorang nelayan, yang menggantungkan hidupku ke lautan, selama laut masih berisi ikan maka aku tidak perlu khawatir akan kelaparan. Para penduduk pesisir yang hampir semua memiliki mata pencaharian yang sama seperti ku yaitu seorang nelayan juga sama-sama menggantungkan hidup mereka dan keluarga di lautan. Tapi entah apa salah kami hingga kami harus mengalami hal ini, hal yang sangat mengerikan yang di lakukan oleh orang-orang bodoh yang tak bertanggungjawab.


Sebuah pagar yang terbuat dari kayu bambu, membentang panjang di lautan membentuk sebuah pagar raksasa yang menyulitkan kami untuk mencari ikan, wilayah laut yang sebelumnya luas, laut yang sebelumnya menjadi ladang kehidupan kami, kini terasa sempit dan terkotak-kotak. Pagar bambu itu berdiri kokoh, seperti tembok raksasa yang menghalangi kami mencari ikan. Kami tak bisa melaut seperti biasanya, dan jaring yang kami tebarkan sering kali tersangkut di bilah-bilah bambu yang tertanam di dasar laut. 


Hari demi hari berlalu, hasil tangkapan semakin sedikit. Dulu, sekali melaut, kami bisa membawa pulang cukup ikan untuk dimakan dan dijual. Sekarang, berhari-hari kami berlayar, tapi hanya mendapat sedikit, bahkan kadang pulang dengan tangan kosong. 


Anak-anak kami mulai kelaparan. Dapur-dapur yang dulu selalu mengepulkan asap kini sering kali dingin. Di rumah, istri kami harus berhemat, menyisihkan sedikit demi sedikit beras yang tersisa. Anak-anak kecil menangis kelaparan, meminta makan, tapi yang bisa kami berikan hanyalah air garam dan sisa-sisa nasi kemarin. 


Di ujung dermaga, seorang bocah lelaki, anak dari nelayan tua bernama Pak Raji, duduk memeluk perutnya yang keroncongan. “Ayah, aku lapar,” bisiknya pelan. Pak Raji hanya bisa mengusap kepala anaknya dengan mata berkaca-kaca, karena di embernya, tak ada satu ekor ikan pun yang bisa dibawa pulang. 


Kelaparan semakin menjadi. Beberapa keluarga mulai menjual barang berharga mereka demi membeli segenggam beras. Ada yang merantau ke kota, mencoba peruntungan, tapi kembali dengan tangan hampa. Kami semua terjebak dalam penderitaan yang diciptakan oleh pagar itu—pagar yang memisahkan kami dari sumber kehidupan kami sendiri. 


Namun, sampai kapan kami harus menerima keadaan ini? Apakah mereka yang membangun pagar itu tahu bahwa mereka sedang membunuh kami perlahan-lahan? Atau mereka memang tak peduli


Kamu ingin lanjut dengan konflik yang lebih besar, misalnya para nelayan melawan atau mencari cara lain untuk bertahan hidup?


Entah apa salah kami sampai kami harus di perlakukan seperti ini, apa salah kami, kami hanya ingin hidup kami hanya ingin makan.


Kalian memang penjahat bajingan, kenapa kalian tega melakukan sebuah tindakan yang kejam kepada orang-orang yang lebih lemah, bangsat, bodoh, tidak ada kata-kata yang biaa menggambarkan keburukan perbuatan kalian.


Malam itu, di tengah kesedihan dan kelaparan yang semakin menggigit, seorang pemuda dari desa seberang datang membawa kabar. Ia berlari tergesa-gesa ke dermaga, napasnya tersengal. “Kakak, berita tentang pagar ini sudah sampai ke kota! Ada banyak orang yang mulai membicarakannya!” katanya dengan mata berbinar. 


Kami semua yang berkumpul di dermaga terdiam sejenak, mencerna kata-katanya. Benarkah? Apakah penderitaan kami akhirnya akan berakhir setelah banyak orang di liar sana tau? 


Dua hari kemudian, sebuah perahu kecil bersandar di pantai. Di atasnya, ada beberapa orang asing, mereka bukan nelayan, bukan juga penduduk desa kami. Mereka membawa kamera dan buku catatan, bertanya tentang pagar bambu yang menutup laut. “Kami jurnalis,” kata salah satu dari mereka. “Kami ingin menuliskan kisah kalian. Karena dunia harus tahu tentang ini.” 


Harapan yang hampir padam mulai menyala kembali. Kami mengajak mereka melihat pagar itu, menunjukkan bagaimana jaring kami tersangkut, bagaimana laut yang luas kini seperti terkurung seperti dalam kandang. Mereka mencatat, mengambil gambar, bahkan mewawancarai warga dan nelayan. 


Tak butuh waktu lama, berita itu menyebar semakin luas. Media mulai meliput, aktivis lingkungan angkat bicara, bahkan pejabat di kota mulai merasa tertekan dengan tuntutan rakyat. 


Dan akhirnya, sesuatu yang tak terduga terjadi. Pada suatu pagi, suara gemuruh terdengar dari arah laut. Ketika kami bergegas ke pantai, kami melihat kapal-kapal besar mendekat. Tapi bukan kapal nelayan melainkan kapal dari pemerintah dan organisasi lingkungan. Mereka datang dengan membawa alat berat, menatap pagar yang berjejer itu dengan tatapan serius. 


Seorang pria dengan seragam resmi turun dari kapal. “Kami sudah menerima banyak laporan. Demi kesejahteraan para warga, Pagar ini harus segera dihancurkan.” 


Mata kami membelalak. Beberapa dari kami tak percaya, takut ini hanya harapan palsu. Tapi kemudian, alat-alat berat mulai bekerja. Bilah-bilah bambu yang menghalangi kami selama ini mulai runtuh satu per satu. Ombak kembali mengalir tanpa hambatan, dan di sela-sela reruntuhan pagar, kami melihat ikan-ikan kecil berenang bebas. 


Kami menangis bukan karena kesedihan, tapi karena harapan yang akhirnya kembali nyata. 


Laut kami akhirnya telah kembali. Kami pun kembali hidup.


Tapi masalah belum selesai. Pagar itu memang telah dihancurkan, laut kami telah kembali, tapi si penjahat yang membangun pagar itu masih berkeliaran entah di mana. Mereka yang telah membuat kami kelaparan, mereka yang telah mengambil laut kami, tak bisa dibiarkan begitu saja. 


Kami tidak bisa hanya diam dan bersyukur. Kami harus mencari tahu siapa dalang di balik semua ini dan memastikan mereka tidak akan pernah bisa melakukan hal yang sama lagi bukan hanya kepada kami, tetapi juga kepada nelayan lain di tempat mana pun. 


Malam itu, kami berkumpul di rumah Pak Raji. Para nelayan duduk melingkar, wajah mereka penuh dengan tekad. “Siapa pun yang membangun pagar itu pasti memiliki kepentingan besar”, kata seorang nelayan tua. “Mungkin mereka ingin menguasai laut ini untuk diri mereka sendiri.” 


“Aku mendengar rumor,” kata seorang pemuda. “Ada sekelompok orang kaya dari kota yang ingin menjadikan laut kita sebagai milik pribadi. Mereka yang membayar orang-orang untuk memasang pagar itu.” 


Kami semua terdiam. Amarah mulai membara dalam dada. 


“Kalau begitu, kita harus mencari bukti,” kataku akhirnya. “Kita harus tahu siapa mereka sebenarnya dan menyeret mereka ke hadapan hukum.” 


Beberapa nelayan muda setuju untuk pergi ke kota, menyusup ke pelabuhan, dan mencari tahu siapa yang selama ini mengendalikan semuanya. Kami tidak punya banyak uang, tidak punya kekuatan besar, tapi kami punya tekad. Kami sudah terlalu lama ditindas, dan sekarang waktunya membalas. 


Pencarian pun dimulai. Beberapa hari kemudian, salah satu nelayan yang pergi ke kota kembali dengan wajah tegang. “Aku menemukan sesuatu,” katanya. “Ada seorang pengusaha besar di kota, Dia punya banyak perusahaan perikanan dan dikabarkan ingin menguasai seluruh wilayah laut di sini.” 


Mendengar berita itu sangat mengejutkan bagi kami, tapi rasa muak sudah langsung terasa. Seorang pria kaya dari kota, yang tak pernah berlayar seumur hidupnya, ingin mengambil laut kami? 


Kami tidak bisa membiarkan ini terus terjadi. 


Kami akan mengejarnya. Kami akan memastikan keadilan ditegakkan. Dan kali ini, tidak akan ada pagar yang menghalangi kami lagi.