Semburat cahaya bersinar di wajah Basokeng. Lesung pipinya yang ditutupi kumis tebal menguratkan kebahagiaan. Basokeng tersenyum penuh kemenangan setelah Mbah Ocong, warga terakhir yang belum melepaskan tanahnya, akhirnya bersedia juga menjual empangnya.
“Ini demi kebaikan Mbah juga kan? Daripada tidak dapat apa-apa. Lima puluh ribu permeter lumayan loh.”
“Ya wes,” kata Mbah Ocong pasrah, merelakan empang yang sudah digarapnya secara turun temurun dilepas. Mata Basokeng berbinar-binar telah menaklukkan pria tua di hadapannya yang begitu keras kepala dari dulu mempertahankan tanahnya.
Pak Winhu pasti akan senang, batin Basokeng. Besoknya, ia mengantar Mbah Ocong ke sebuah kawasan yang di kiri-kanan jalannya berderet bangunan-bangunan beton mewah, serupa ikan sarden yang sedang berbaris siap masuk ke dalam kaleng. Mereka berhenti tepat di depan sebuah gedung besar dengan gugusan lampion merah dan tulisan aksara Han terparkir rapi di dinding-dindingnya. Seorang petugas berseragam langsung menyambut mereka dan mempersilakan mereka duduk di sebuah ruangan luas tapi membuat Mbah Ocong menggigil. Setelah menunggu sepelemparan jarum jam, seorang pria putih bersih nan rapi menemui mereka.
“Selamat siang, Pak Kades! Maaf membuat menunggu,” kata pria tersebut sambil merangkul Basokeng. “Oh, ini pasti Mbah Ocong ya?” lanjutnya sambil mengulurkan tangan. Mbah Ocong langsung menyambutnya.
“Siap, Pak Winhu! Iya betul ini Mbah Ocong. Mau menjual tanahnya,” kata Basokeng tanpa tedeng aling-aling.
“Wah mantap! Ayo kalau begitu langsung saja. Sudah ada notaris juga di dalam.”
Setelah melakukan transaksi, Mbah Ocong menyerahkan sertifikatnya, dan ia tetap dipersilakan duduk menunggu sementara Basokeng dan Pak Winhu meminta izin keluar sebentar. Selang beberapa menit, mereka berdua kembali dengan senyuman yang hampir menyerupai tawa.
“Untuk sekarang, kami berikan DP nya dulu ya, Mbah! Setelah semua administrasinya sudah diurus, baru kami langsung lunasi,” kata Pak Winhu. Mbah Ocong manggut-manggut. Setelah itu, Basokeng dan Mbah Ocong meninggalkan kawasan mewah tersebut dengan kebahagiaan yang tetap awet bermukim di wajah Basokeng. Sementara beberapa pertanyaan bergelantungan di kepala Mbah Ocong, sampai ia tak tahan untuk mengungkapkannya.
“Kenapa tanah warga harus dijual kepada mereka?”
Basokeng yang dari tadi menyetir mobil Rubiconnya sedikit terkejut mendengar pertanyaan demikian keluar dari bibir Mbah Ocong. Ia berusaha menyusun kata-kata. “Tanah-tanah itu untuk kepentingan negara, Mbah. Untuk Proyek Strategis Nasional.”
“Nanti akan dibangun apa di atas tanah-tanah itu?” susul Mbah Ocong.
“Kalau itu urusan pemerintah, Mbah. Tugas kita cuman patuh saja pada negara. Jadi kalau ada orang yang menolak menjual tanah pada negara, berarti orang itu telah membangkang pada negara,” kata Basokeng dengan nada yang sedikit menukik ke atas.
Mbah Ocong tidak ingin melawan negara, karena itu akhirnya merelakan tanahnya dipakai oleh negara, di samping juga karena tanahnya berupa empang sudah tak lagi produktif karena sirkulasi airnya tertutup setelah sungai diuruk secara misterius oleh seseorang atau sekelompok orang. Entahlah. Mbah Ocong kemudian membayangkan, fasilitas apa yang akan dibangun oleh negara kelak di atas tanahnya. Ia hanya berharap di dalam relung hati, semoga fasilitas tersebut dapat mengeluarkannya dari kubangan kemelaratan hidup yang terus saja menghajar tubuh rentanya.
Tidak cukup satu jam, mereka berdua telah kembali ke desa. Rubicon hitam berpelat cantik tampak menonjol di tengah-tengah pemukiman kumuh. Rubicon itu terus melaju hingga tiba di depan kantor desa. Basokeng dan Mbah Ocong baru saja mau keluar ketika melihat dari kejauhan beberapa orang berkerumun di depan kantor desa sambil berseru-teriak tentang pagar laut. Basokeng paham apa yang telah terjadi. Sebelum orang-orang itu mengetahui keberadaannya, Rubicon hitam itu memutar arah, meluncur ke sebuah rumah yang cukup besar di desa itu.
“Kenapa kita malah ke rumah Pak Kades?” tanya Mbah Ocong.
Basokeng tak langsung menjawab. Ia lebih memilih sibuk memarkir mobil kebanggaannya daripada meladeni pertanyaan-pertanyaan Mbah Ocong yang edan. Baru saja Rubicon hitamnya terparkir rapi, sebuah serangan kembali keluar dari mulut Mbah Ocong.
“Ada apa dengan pagar laut itu? Apakah juga negara memintanya?”
Basokeng menarik napas dalam-dalam. “Iya. Itu juga Proyek Strategis Nasional.”
“Tapi para nelayan kesulitan melaut, Pak Kades. Saya khawatir Penunggu Laut juga akan terusik dan murka pada kita,” kata Mbah Ocong dengan napas berat.
“Iya iya, saya paham maksud Mbah. Tapi ini demi kebaikan negara, demi kebaikan kita juga.”
“Lima tahun lalu anak saya hilang saat mencari ikan, diambil oleh Penunggu Lautan,” kata Mbah Ocong dengan nada lemah.
“Sudah sudah, Mbah. Tidak usah khawatir.”
Basokeng kemudian menyuruh anak buahnya mengantar Mbah Ocong kembali ke rumahnya yang tidak terlalu jauh. Basokeng hanya menepuk-nepuk jidatnya mendengar ocehan mitos yang disampaikan oleh Mbah Ocong. Dasar orang tua, batinnya. Arkian, Basokeng langsung menghubungi seseorang untuk membubarkan orang-orang yang ada di kantor desa. Tak cukup waktu lama, orang-orang berbadan kekar berhasil membubarkan warga. Tidak ada kekerasan. Tidak ada kerusuhan. Pembubaran berlangsung dengan tenang. Para warga hanya takut dicap sebagai pembangkang negara. Basokeng kembali tersenyum sumringah.
***
Deru deram truk yang lalu lalang melintasi jalanan desa memecah keheningan siang itu. Para emak-emak yang baru saja istirahat setelah bertarung dengan tungku seketika terhenyak berkat suara gemuruh tersebut, serupa suara angin yang sedang berkelahi di siang bolong. Truk-truk yang entah berapa jumlahnya dengan teratur berbaris menuju pesisir yang ada di ujung desa. Yang menarik perhatian, truk-truk tersebut memuat bambu dalam jumlah yang sangat banyak, bahkan lebih banyak dari kemarin dan kemarinnya lagi. Sudah beberapa hari, polusi suara mencemari keheningan desa, dan sudah beberapa hari pula tidur siang warga terganggu, dan tak ada yang berani mengeluh.
Yang lebih menarik perhatian, di pantai yang ada di ujung desa, nampak Basokeng dan Pak Winhu sedang sibuk mengatur truk-truk yang akan menurunkan bambu muatannya. Basokeng terlihat berusaha keras, urat-urat di pelipis kepalanya mengencang. Sementara Pak Winhu bersandar pada sebuah mobil Fortuner yang sedang terparkir, memilih sibuk bermain-main dengan asap rokoknya. Ia kemudian tertawa tipis melihat Basokeng yang sedang sibuk memberi komando. Di ufuk sana, ia melihat langit yang sedang gelap. Tampaknya, langit di sini juga akan menangis.
“Harus dibilang dua kali baru paham, dasar orang-orang tidak berpendidikan,” keluh Basokeng sambil berjalan mendekat ke arah Pak Winhu.
“Sabar, Pak Kades! Nanti kan Pak Kades bakal dapat banyak juga,” kata Pak Winhu sambil menggesek jari telunjuknya ke ibu jarinya tepat di depan muka Basokeng.
“Hitungannya dua juta permeter kan?” seketika muka Basokeng yang gelap menjadi cerah.
“Eits, seperti biasanya. Satu juta dong.”
“Ini kan kaveling di atas laut. Hitungannya tentu beda, Pak,” sergah Basokeng.
“Ok lah. Santai Pak Kades. Gampang itu. Nanti saya sampaikan kepada Bos Besar.”
Mata Basokeng berbinar menyaksikan pagar laut yang terbentang di hadapannya. Ia membayangkan bentangan pagar itu menjelma menjadi barisan uang, sebanyak itu pula keuntungan yang akan diraup olehnya dari proyek ini. Usahanya selama ini mencaplok nama warga ke dalam sertifikat kaveling di atas laut tentu tidak akan sia-sia, batinnya. Perjuangannya bernegosiasi dengan Staf Pertanahan dan Dinas sebentar lagi akan membuahkan hasil. Berakit-rakit ke hulu berenang-renang kemudian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian, batinnya.
Setelah segala sesuatunya dirasa beres, Basokeng dan Pak Winhu bergegas pulang sementara para pekerja melanjutkan memasang pagar laut. Basokeng tiba di rumahnya ketika air dari langit tumpah. Akhir-akhir ini hujan selalu turun bahkan saat bukan musim hujan sekalipun. Basokeng memilih bersantai pada kursi goyangnya setelah meminta kepada istrinya dibuatkan kopi. Seruput demi seruput kopi membersamai lamunannya pada sore yang hujan itu.
“Mengapa orang-orang kota itu sangat menginginkan wilayah laut itu?” batinnya. “Kalau orang-orang tahu kalau saya memalsukan sertifikat tanah di atas kaveling laut itu, bisa celaka saya,” lanjutnya membanting. Tiba-tiba pintu rumahnya diketuk, dan salah satu pekerja datang melapor.
“Orang-orang pada berhenti bekerja, Pak Kades,” kata pria itu dengan napas putus-putus.
“Kenapa?”
“Mereka pada ketakutan.”
“Maksudmu? Ada polisi? Tentara? Ayo bicara yang jelas!”
“Bukan bukan.” Pria itu menenangkan napasnya. “Beberapa orang pekerja mengaku melihat sesosok makhluk putih keluar dari kabut di sela-sela pohon Mangrove.”
“Apa maksudmu? Jangan mengada-ada! Kembali bekerja!”
“Tapi orang-orang pada ketakutan. Sebagian malah sudah ada yang pulang duluan.”
“Dasar bodoh! Hal seperti itu saja kalian percaya,” cerca Basokeng. “Untuk saat ini, tidak apa-apa istirahat dulu saja. Pokoknya besok lanjutkan pekerjaan!” lanjutnya.
Besoknya, para pekerja melanjutkan pemasangan pagar laut. Saat hujan mulai turun, dari dalam hutan Mangrove di pesisir pantai, sesosok makhluk putih dengan rambut yang menjulang ke bawah muncul dan mengagetkan para pekerja. Salah satu pekerja yang dekat dengan lokasi kemunculan sosok itu seketika mengalami syok berat. Beberapa hari kemudian pekerja tersebut mengalami trauma dan berakhir gila. Orang-orang meyakini sosok itu adalah Penunggu Laut yang murka. Semenjak hari itu, tidak ada lagi orang yang berani memasang pagar laut. Mendengar kenyataan itu, Basokeng jadi geram. Ia mengumpat-umpat para pekerjanya yang tidak becus dan malah percaya dengan takhayul konyol itu.
Besoknya ia datang untuk melihat sendiri sosok itu secara langsung. Jika aku menemukannya akan kugorok dia, batinnya. Sampai menjelang matahari tergelincir ke barat, sosok itu tak jua muncul. Makhluk itu cuman mitos, batinnya. Tak lama kemudian, hujan turun. Ketika Basokeng baru akan kembali, tiba-tiba ia melihat sesosok putih muncul dari dalam pepohonan Mangrove. Bulu kuduknya berdiri. Ia baru akan kabur ketika kembali mengingat tujuannya untuk memastikan makhluk itu. Ia kembali menoleh ke sosok itu dan melangkah ke arahnya. Dengan tangan bergetar, ia mengeluarkan golok yang sudah dipersiapkannya. Sosok itu diam lalu bergerak dengan cepat masuk ke dalam hutan-hutan Mangrove. Basokeng tidak bergeming, ia mengejar makhluk itu. Gerak sosok itu tak terlalu cepat. Tak berselang lama sebuah akar Mangrove membuat sosok itu terjungkal. Basokeng tak mau kehilangan kesempatan. Secepat kilat, ia langsung mengunci pergerakan makhluk itu. Dengan dada bergetar, ia mencopot pakaian putih sosok itu. Basokeng semakin terkejut menemukan Mbah Ocong berada di balik ini semua.
“Hentikan semua ini, Pak Kades. Alam akan murka jika kita serakah. Para nelayan kesusahan hidup. Saya pun jadi semakin melarat karena kesulitan mencari ikan,” teriak Mbah Ocong dengan sebumbung keringat keluar dari tubuh ringkihnya.
5 comments