Saturday, March 1, 2025

Cerpen Lomba | Muna Khuril’ain | Garis Kasat Mata

Cerpen Muna Khuril’ain



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


Aku selalu percaya, laut menyimpan lebih dari sekadar garam dan ombak. Di bawah permukaannya yang tenang, ia menyembunyikan rahasia, janji, dan barangkali… harapan.


Dan harapanku sederhana, aku ingin melihat ayah pulang.


Tapi pagi itu, yang pulang hanya perahunya. Kosong. Basah. Bau asin yang menyengat lebih dari biasanya. Sejak hari itu, laut bukan lagi tempat untuk mencari ikan atau menikmati semilir angin. Bagiku, laut adalah pagar. Dingin, diam, dan tak pernah memberi jawaban.


Namun, anehnya, aku tak pernah bisa benar-benar menjauh. Setiap sore aku kembali ke dermaga tua ini, berdiri di tepi kayu yang lapuk, memandangi cakrawala yang sama, berharap ada keajaiban. Mungkin, suatu hari, laut akan mengembalikan apa yang ia ambil. Mungkin ayah hanya tersesat di balik gelombang, menunggu waktu untuk kembali.


Atau mungkin, akulah yang masih tersesat.


Hari itu, laut tampak lebih biru dari biasanya. Angin berdesir pelan, membawa aroma garam yang menusuk hidung. Tapi bagiku, laut selalu sama—tempat di mana aku kehilangan segalanya. Aku berdiri di ujung dermaga, menatap perahu-perahu kecil yang terombang-ambing di kejauhan. Sebuah perasaan aneh menggantung di dadaku, campuran antara rindu dan amarah yang tak pernah benar-benar pudar.


“Apa kau berharap dia akan kembali?”


Suara itu mengejutkanku. Aku menoleh, mendapati seorang lelaki tua duduk di sudut dermaga, matanya tajam menembus cakrawala yang sama dengan yang kutatap. Wajahnya keras, dengan keriput yang dalam, seolah laut sendiri yang mengukirnya.


“Ayahku,” jawabku pelan, suaraku hampir tenggelam oleh desiran ombak. “Aku ingin dia kembali.”


Lelaki itu mengangguk pelan, seolah memahami sesuatu yang bahkan aku sendiri belum sepenuhnya mengerti. “Laut tidak mengambil tanpa alasan, Nak. Kadang, yang kita cari bukan di permukaan.”


Aku tidak mengerti maksudnya. Tapi ada sesuatu dalam caranya berbicara yang membuatku tetap di sana, berdiri di sisinya, mendengarkan. Lelaki tua itu memperbaiki jaring di tangannya dengan cekatan, sementara aku terus memandangi laut, bertanya-tanya apakah ayahku masih ada di luar sana, terombang-ambing di antara gelombang dan waktu


Hari-hari berikutnya, aku terus kembali ke dermaga. Lelaki tua itu selalu ada di sana, seperti bagian dari pemandangan yang tak tergantikan. Kami jarang berbicara, tapi kehadirannya memberiku ketenangan yang aneh. Ia mengajariku membaca arah angin, memperbaiki jaring, bahkan cara mendengarkan suara laut.


“Laut ini seperti cermin,” katanya suatu hari. “Ia memantulkan apa yang ada di hati kita. Kalau kau datang dengan amarah, kau hanya akan menemukan badai. Tapi kalau kau datang dengan harapan…”


Aku menunggu kelanjutan kalimatnya, tapi ia hanya tersenyum samar, seolah jawaban itu harus kutemukan sendiri.


Di rumah, ibu mulai memperhatikanku dengan lebih cermat. Matanya penuh kekhawatiran setiap kali aku kembali dari dermaga. Aku tahu dia takut aku akan mengikuti jejak ayah, hilang di balik gelombang yang sama. Tapi aku juga tahu, ada sesuatu yang harus kutemukan di sana. Bukan hanya tentang ayah, tapi tentang diriku sendiri.


Malam itu, aku berdiri di jendela kamar, memandangi bulan yang menggantung rendah di langit. Andai aku bisa berbicara dengan laut, pikirku. Andai aku tahu apa yang sebenarnya terjadi pada ayah.


Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku membuat sebuah permintaan.


Laut, jika kau benar-benar menyimpan ayahku… berikan aku satu petunjuk. Apa saja. Aku hanya ingin tahu.


Pagi berikutnya, aku menemukan sesuatu yang aneh di dermaga. Sebuah botol kaca, terdampar di antara tali-tali jaring dan kayu basah. Di dalamnya, ada selembar kertas kusut yang terlihat seperti peta. Tapi bukan peta biasa. Garis-garisnya tampak acak, seperti coretan tangan anak kecil, tapi ada sesuatu yang menarik di sana—sebuah tanda silang merah, tepat di tengahnya.


Lelaki tua itu memperhatikanku dari sudut matanya. “Itu milikmu?”


Aku menggeleng. “Aku menemukannya di sini.”


Ia mendekat, memandangi peta itu dengan seksama. “Kadang, laut memberi jawaban dengan cara yang tak kita duga,” gumamnya pelan. “Mungkin ini petunjuk yang kau cari.”


Aku memandang peta itu lagi, jantungku berdetak lebih cepat. Apakah ini jawaban dari permintaanku semalam? Tapi bagaimana mungkin? Laut tidak bisa mendengar. Atau… bisakah?


“Jika kau ingin tahu,” kata lelaki tua itu, suaranya lebih serius, “kau harus berani melaut.”


Aku menelan ludah. Sejak ayah hilang, aku tidak pernah berani naik perahu lagi. Tapi peta di tanganku seolah memanggil, menarikku untuk melangkah lebih jauh.


“Aku akan pergi,” kataku akhirnya. Suaraku terdengar mantap, meski ada ketakutan yang masih menggantung di ujung lidahku. “Aku harus tahu apa yang laut sembunyikan.”


Lelaki tua itu tersenyum tipis, lalu menepuk bahuku. “Kalau begitu, bersiaplah. Laut tidak hanya menguji keberanianmu, tapi juga hatimu.”


Dan begitu saja, petualanganku dimulai. Bukan hanya untuk menemukan ayah, tapi juga untuk menemukan siapa diriku sebenarnya di balik gelombang yang tak pernah berhenti.


Ketika perahu kecil itu mulai menjauh dari pantai, aku merasa seolah melangkah keluar dari dunia yang kukenal. Angin menerpa wajahku dengan lembut, tapi ada sesuatu di udara yang membuat bulu kudukku berdiri. Laut di bawahku tampak tenang, tapi aku tahu, di bawah permukaan itu ada sesuatu yang lebih dalam, lebih misterius.


Aku memandangi peta di tanganku, mencoba memahami arah yang harus kutuju. Tanda silang merah itu seperti magnet, menarikku ke tempat yang tak kuketahui. Tapi aku merasa, jawaban yang kucari ada di sana. Mungkin ayahku masih hidup, terdampar di pulau terpencil. Atau mungkin, aku hanya akan menemukan sisa-sisa kenangan yang tertinggal. Tapi aku tahu satu hal. Aku tidak bisa kembali tanpa mencoba.


Di tengah laut, aku berhenti. Air di sekitarku berkilau di bawah sinar matahari, seolah laut sendiri sedang menatapku. Aku menutup mata, membiarkan angin dan bau asin memenuhi paru-paruku. Dalam keheningan itu, aku mendengar sesuatu—bukan suara ombak, tapi sesuatu yang lebih halus, lebih dalam.


Ayah…


Aku membuka mata, jantungku berdetak kencang. Di kejauhan, aku melihat sesuatu mengapung di air. Sebuah kotak kayu kecil, tertutup rapat. Aku mendayung mendekat, jari-jariku gemetar saat mengangkatnya ke atas perahu.


Ketika kubuka, di dalamnya ada sebuah kompas tua dan selembar surat yang basah. Tulisannya hampir pudar, tapi aku bisa membaca satu kalimat yang membuat napasku tertahan:


"Jika kau menemukan ini, berarti kau sudah siap untuk tahu kebenarannya."


Aku menatap laut yang luas di hadapanku, menyadari satu hal yang tak pernah kupikirkan sebelumnya.


Laut tidak mengambil ayahku. Laut menyembunyikannya. Dan aku bertekad, siap untuk menemukan apa yang ada di balik gelombang.


Enam bulan sejak hari aku menemukan kotak itu di tengah laut. Sejak saat itu, hidupku berubah. Tidak, aku tidak menemukan ayah seperti yang kuharapkan. Tapi aku menemukan sesuatu yang jauh lebih penting, kebenaran.


Surat di dalam kotak itu bukan berasal dari ayah, melainkan dari seseorang yang mengenalnya. Lelaki tua di dermaga—orang yang selama ini duduk diam memperbaiki jaringnya, menatap laut dengan mata penuh rahasia—dialah yang menulis surat itu. Dia adalah sahabat ayahku, satu-satunya orang yang tahu apa yang sebenarnya terjadi di hari ayah menghilang.


“Ayahmu memilih untuk tetap di laut,” katanya suatu malam, saat aku kembali ke dermaga dengan surat itu di tangan. “Dia merasa laut lebih memahaminya daripada daratan. Tapi dia tak pernah benar-benar meninggalkanmu.”


Aku tak mengerti sepenuhnya saat itu. Bagaimana mungkin seseorang memilih laut daripada keluarga? Tapi seiring waktu, aku mulai memahami. Ada luka yang hanya bisa disembuhkan oleh kesunyian ombak, oleh bisikan angin yang tak pernah menghakimi. Dan mungkin, itu yang ayah butuhkan.


Kini, setiap sore aku berdiri di dermaga yang sama. Tapi bukan lagi dengan harapan kosong menunggu ayah pulang. Aku berdiri di sini untuk merasa dekat dengannya, untuk berbicara dalam diam dengan laut yang sama yang memeluknya. Aku belajar menerima bahwa tidak semua kehilangan harus ditemukan kembali dalam bentuk yang sama. Kadang, menemukan berarti melepaskan.


Lelaki tua itu masih ada di sana, duduk di sudut dermaga, tapi kini kami berbagi lebih dari sekadar keheningan. Kami berbagi kenangan, cerita, dan kadang-kadang tawa kecil yang mengisi kekosongan di antara kami.


Aku juga mulai melaut. Bukan untuk mencari ayah lagi, tapi untuk menemukan diriku sendiri. Laut yang dulu kupandang dengan takut, kini menjadi sahabat. Setiap gelombang membawa pesan, setiap angin mengajarkan pelajaran baru.


Dan di suatu pagi yang tenang, saat matahari baru saja muncul di ufuk timur, aku melihat sesuatu yang membuat hatiku bergetar. Sebuah perahu kecil di kejauhan, terombang-ambing pelan menuju dermaga. Bukan perahu ayah, aku tahu itu. Tapi anehnya, aku tersenyum.


Karena kini, aku tahu, tak peduli siapa yang datang atau siapa yang pergi, laut akan selalu menjadi penghubung. Antara aku dan ayah, antara masa lalu dan masa depan.


Dan di balik setiap gelombang, selalu ada harapan.