Thursday, March 13, 2025

Cerpen Lomba | A. Munanjar | Dongeng Nurmalam

Cerpen A. Munanjar 



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)  


Iring-iringan truk engkel memasuki wilayah desa pesisir pantai ujung barat Pulau Jawa. Setengah mengantuk Joko mulai mengurangi kecepatan truk melewati jalan berlubang sampai nanti tiba di tujuan. Ia menyipitkan mata agar kemudinya tetap stabil di tengah kepulan debu yang beterbangan menghalangi pandangan. 


Sudah beberapa minggu ini Joko dan para sopir truk lainnya bolak-balik membawa berton-ton bambu petung dari para pemasok yang berbeda. Ia biasanya menerima upah setengah juta atau lebih setelah menjalankan tugasnya. Besaran upahnya bergantung berapa lama waktu yang dibutuhkan mengantar bambu.


Joko tidak tahu siapa pemilik ribuan bambu petung ini dan tidak juga tahu akan digunakan untuk apa. Tugasnya hanya membawa barang di truknya sampai di tempat tujuan. Persoalan izin membawa barang ada di tangan bosnya, sejauhnya ini semua berjalan lancar. Para sopir truk mengantongi surat yang sudah ditandatangani kepala pemerintahan wilayah setempat, mulai dari kepala desa sampai kepala kecamatan. 


Sebenarnya Joko tidak peduli akan dimanfaatkan untuk apa bambu-bambu tersebut. Namun, menangkap obrolan saat sedang istirahat bersama kawan-kawan sopir truk lainnya di satu hari, ia mendengar jika bambu-bambu tersebut akan dibuat menjadi pagar laut oleh sekelompok nelayan. Joko hanya menyimak tanpa turut berkomentar, sekelompok nelayan itu diperintahkan untuk membatasi garis laut yang akan dijadikan daratan. Katanya wilayah desa pesisir pantai tersebut akan dijadikan kawasan bisnis dan tempat tinggal kaum-kaum elit serta para pejabat yang membantu jalannya proyek. Melanjutkan obrolan mereka, kawan-kawan Joko mulai berandai-andai menjadi salah satu pemilik rumah di kawasan tersebut, hidup bergelimang harta, dan memiliki mobil mewah. Mereka tertawa terkikik memimpikan hidup sejahtera dan berganti profesi jadi pejabat atau pebisnis. Joko ikut tertawa kecil mendengar guyonan kawan-kawannya sambil meneguk sisa bir di gelasnya.


Truk Joko berada di irin-iringan terakhir, berjarak sekitar lima meter dari truk yang ada di depannya. Rasa lelah dan kantuknya semakin menjadi. Ia memejam dan menguap lebar. Namun, saat membuka mata, dalam sekejap Joko mendadak menginjak  cepat rem yang membuat truk menjadi tidak stabil. Tak kurang dari satu meter, di depan truk berdiri penyeberang yang dibuat kaget tak bergerak karena hampir saja tertabrak truk Joko.


Dalam perasaan was-was, Joko turun untuk memastikan kondisi penyeberang yang sudah tampak tenang. Joko mendekati penyeberang yang ternyata adalah perempuan tua bertudung camping, mengenakan pakaian tertutup model setelan training olahraga, bahu kanannya kokoh memikul keranjang ikan, sementara tangan kirinya masih erat memegang gagang lampu petromaks dengan nyala redup.


Joko meminta maaf dengan penuh rasa bersalah, ia benar-benar tidak melihat ada orang yang menyebrang. Perempuan tua yang dalam kondisi sehat dan bugar itu tersenyum tulus pada Joko, ia memastikan jika dirinya baik-baik saja dan menasehati Joko untuk lebih berhati-hati lagi. Masih dengan rasa bersalahnya, Joko berniat untuk mengantar perempuan tua itu pulang sebagai tanda permintaan maaf. Namun, dengan lembut perempuan tua itu menolak tawaran Joko, ia pamit dan melanjutkan langkah kecilnya menyebrang jalan. Perempuan tua itu berjalan menuju jalan setapak yang mengarah ke perbukitan. Joko lekat memandang ringanya jalan perempuan tua itu sampai menghilang di telan sisa malam.


Kembali melanjutkan perjalanan, Joko dihantui wajah dan senyum perempuan tua yang sedari tadi tidak lepas dari bayang ingatannya. Joko merasa pernah melihat sosok perempuan tua tersebut, ia merasa tak asing dengan senyum dan wajahnya. Namun, sampai ia tiba di tujuan bersama fajar yang mulai bergerak menuju pagi, ia tidak menemukan apapun di ingatannya tentang perempuan tua tersebut.


***


Nurmalam pulang usai melaut. Ia menambatkan tali perahunya jauh dari barisan perahu-perahu nelayan desa pesisir pantai. Temaram lampu petromaks menuntun Nurmalam melewati panjangnya garis pantai sampai ia tiba di ujung desa. Kemudian ia melanjutkan langkahnya menyebrang jalan desa menuju jalan setapak yang mengarah ke rumahnya di kaki bukit. 


Sebelum pulang. Hari ini, ia sengaja menemui seseorang yang masa kecilnya dulu kerap ia temani kala si anak menunggu bapaknya pulang melaut di bibir pantai seorang diri. Nurmalam mendongengkan kisah perempuan yang ditugaskan Ibu Pertiwi untuk menebar ikan-ikan laut sebelum para nelayan melaut di malam hari. Ikan-ikan itu ia cukupkan untuk para nelayan menghidupkan keluarganya. Termasuk bapaknya si kecil. 


Dalam setiap kesempatan, karena tidak setiap hari bapaknya si anak kecil ini melaut, Nurmala datang den menemnai si anak kecil. Ia tak pernah bosan mendengar dongeng yang berulang Nurmalam ceritakan. Si anak kecil mendengar tanpa banyak bertanya sampai biasanya ia tertidur di depan perapian kecil yang Nurmalam nyalakan untuk menghangatkan tubuh mereka. Ia tertidur pulas beralaskan jarik dan berselimut sarung tua milik bapaknya.


Singkat cerita, bapaknya si anak kecil itu menjadi korban keganasan badai laut. Ia tenggelam dan jasadnya tak pernah ditemukan. Si anak kecil akhirnya dibawa dan diasuh oleh bibinya karena seorang diri. Ia tumbuh menjadi pemuda baik dan tahu diri. Kini ia bekerja menjadi sopir untuk menghidupi kebutuhannya dan membalas jasa keluarga bibinya. 


Aroma tubuh Joko dapat tercium jelas oleh Nurmalam. Ia sengaja datang tiba-tiba di depan truk Joko, sekadar menampakan dirinya karena rindu pada anak kecil yang dilarang oleh bapaknya menjadi nelayan. Di kampung nelayan itu, hanya Joko anak yang dilarang orangtuanya untuk pergi ke laut. Bukan sekadar ia anak semata wayang bapaknya, tapi bapaknya bersikeras melarang Joko menjadi nelayan karena ia tak melihat ada masa depan buat Joko. Ia berniat menyekolahkan Joko agar menjadi sarjana, tapi maut terburu mematikan niat bapaknya Joko.


Melihat Joko saat ini, ternyata tak banyak berbeda dari almarhum bapaknya. Keduanya masih menjadi masyarakat kelas bawah dengan hanya berbeda profesi saja. Namun, Nurmalam bahagia karena ia dapat melihat ke dalam lubuk hati Joko, yang masih memiliki kejujuran dalam menjalankan hidupnya. 


Tidak banyak yang disampaikan Nurmalam pada Joko. Melihat Joko, ia bisa tenang saat berpulang nanti. Rahasianya sudah ia titipkan pada Joko.  Nurmalam sampai di halaman rumahnya, ada beberapa keranjang makanan dan buah-buahan yang diletakkan di anak tangga beranda rumah. Hari ini usianya genap 65 tahun. Setiap tahun orang-orang kampung merayakan kelahiran dirinya dengan memberikan pangan terbaik yang mereka punya sebagai wujud syukur akan keberadaan dirinya di sana. Meski setiap tahun kemeriahan itu berkurang,  ternyata masih ada yang mengingat keberadaan dirinya yang dipercaya banyak membantu kehidupan nelayan.


Nurmalam membuka pintu dan mengabaikan keranjang makanan di anak tangga. Ia duduk dan membuka jendela, menikmati kesejukan udara pagi, dan bicara pada fajar ronanya masuk ke dalam rumahnya, "Tugasku sudah selesai menebar ikan-ikan di laut untuk menghidupi para nelayan. Mereka kini tidak lagi ingin menjadi nelayan. Banyak dari mereka yang menyerah dan memilih menjual perahunya, bahkan tanah warisan buyut mereka." Nurmalam memejamkan mata. Tubuhnya perlahan menjadi sisik-sisik ikan yang beterbangan saat sinar mentari menerpa tubuhnya. 


Joko menghirup kopi di warung pinggir pantai. Pagi itu tak tampak keramaian para nelayan. Hanya beberapa nelayan saja yang menambatkan perahu sambil mengeluhkan biaya nelayan mereka yang naik berkali lipat karena keberadaan pagar laut. Selain mereka harus memutar jauh menuju laut, ternyata hasil tangkapan mereka juga berkurang keluhan itu hanya ada di obrolan mereka dan hilang diterpa angin laut.


Sementara itu, kesibukan lainnya mulai tampak dari truk yang membawa bambu. Sekelompok nelayan mulai membagi tugasnya, mereka bahu membahu menurunkan bambu. Sebagian mulai mengangkut bambu dengan perahu. Sebagian lagi, walau hanya kelihatan kecil karena jarak yang jauh, terlihat kesibukan mereka yang menancapkan bambu di batas laut.


Joko menikmati kopinya dengan pemandangan kesibukan para nelayan. Ia masih memikirkan sosok perempuan tua yang hampir ditabraknya tadi dini hari. Tiba-tiba selembar sirip ikan terjatuh di punggung tangannya saat akan menyeruput kopi. Joko mengambil sisik ikan tersebut, memandangnya lekat, dan teringat dengan dongeng kisah perempuan yang ditugaskan Ibu Pertiwi untuk menebar ikan-ikan laut sebelum para nelayan melaut.