Cerpen Nadia Wulandari
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Di sebuah desa pesisir yang sunyi, laut bukan hanya sekedar batas kehidupan, seorang pemuda bernama Hanan menghabiskan sebagian besar hidupnya di atas perahu. Air asin, angin laut, dan riak ombak adalah teman yang lebih setia daripada manusia. Namun, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya akhir-akhir ini. laut yang dulu penuh warna kini berubah menjadi kuburan yang dingin dan sekarat. Ikan-ikan menghilang, terumbu karang memucat. Suatu malam, saat Hanan termenung di dermaga, seorang lelaki tua mendekatinya. “Laut ini sudah berubah, Nak,” katanya. “Dulu, airnya bening, penuh ikan. Tapi sekarang? Kita hanya bisa menunggu keajaiban.” Hanan tak percaya pada keajaiban. Ia percaya pada kerja keras, pada naluri seorang nelayan. Namun, apa yang ia lihat keesokan harinya membuatnya mulai mempertanyakan segalanya.
Pagi itu, Hanan memutuskan untuk berlayar lebih jauh dari biasanya. Rasa gelisah mengantarnya ke kedalaman yang belum pernah ia selami. Ia menyelam melewati terumbu yang sekarat, hingga di antara bayang-bayang biru laut, sesuatu menarik perhatiannya. Sebuah struktur logam besar mencuat dari dasar laut. Bentuknya simetris, berkilauan di bawah cahaya matahari yang menembus air. Sekilas, ia tampak seperti reruntuhan kapal, tetapi ada sesuatu yang lebih aneh karang-karang di sekitarnya tampak sehat, lebih cerah dibandingkan bagian lain dari lautan ini. Saat Hanan mendekat, ia melihat sesuatu yang membuatnya merinding. Struktur itu berdenyut pelan, seakan bernapas. Seperti makhluk hidup. Dengan jantung berdebar, Hanan naik ke permukaan. Ia terengah-engah, mencoba memahami apa yang baru saja ia lihat, “ Apa ini? Siapa yang menaruh benda ini di sini?”
Malam itu, di tengah kegelisahannya, seorang ilmuwan muda bernama Ravan datang ke desa mereka. Ravan, seorang ahli bioteknologi kelautan, membawa berita yang begitu mengejutkan.
“Kami berencana untuk mengembangkan sesuatu yang bernama Terumbu AI,” kata Ravan. “Struktur buatan yang bisa meregenerasi ekosistem laut.” Ternyata, proyek Terumbu AI dikembangkan oleh perusahaan global dengan klaim menyelamatkan lautan.
Hanan mengerutkan keningnya, “Bagaimana mungkin sebuah mesin dapat menggantikan kehidupan di laut?”
“Bukan hanya suatu mesin saja,” Raka tersenyum. “Ini lebih dari apa yang kamu pikirkan. Terumbu AI adalah sistem cerdas. Ia bisa meniru cara karang tumbuh, beradaptasi dengan perubahan lingkungan, bahkan bisa berkomunikasi dengan ekosistem yang berada di sekitarnya. Itu sebabnya kamu melihat karang yang lebih sehat di sana.” Hanan lalu terdiam. Ia tumbuh besar bersama laut sebagai satu-satunya dunia yang ia kenal. Dan kini, ia harus menerima fakta bahwa ada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang bahkan bisa menyaingi alam itu sendiri. Namun, ia tidak menyadari bahwa keajaiban ini juga membawa dampak negatif yang lebih besar lebih dari sekadar ekosistem buatan. Seiring berjalannya waktu, Hanan semakin terlibat dengan proyek Terumbu AI. Ia menemani Ravan ke laut, mengamati bagaimana teknologi ini bekerja. Namun, di sisi lain, ia dihantui oleh pertanyaan yang tak bisa ia jawab sendiri. Jika laut bisa diperbaiki dengan teknologi, di mana tempatnya sebagai seorang nelayan? Apakah manusia harus menyerahkan lautan kepada mesin? Keresahannya bertambah saat ia menyadari bahwa semakin sedikit nelayan yang bisa bertahan hidup dan ikan kembali, tetapi dengan cara yang tak alami. Pola migrasi berubah, alat-alat tradisional menjadi tidak berguna, dan hanya mereka yang memiliki akses ke teknologi yang bisa bertahan, sensor AI mulai menggantikan intuisi yang diwariskan turun-temurun.
Suatu malam, di bawah sinar bulan yang memantul di air, Hanan menemukan dokumen rahasia di antara barang-barang Ravan. Data-data yang menunjukkan bahwa Terumbu AI tidak hanya meregenerasi ekosistem saja, tetapi juga menjadi alat pemantauan canggih bagi korporasi besar. Lalu Hanan menemui Ravan, ilmuwan itu menunduk dengan ekspresi penuh rasa bersalah.
“Aku tidak ada pilihan lain,” lirihnya. “Mereka membiayai penelitian ini. Jika aku menolak, mereka akan menghancurkan segalanya.” Lanjutnya.
Hanan menatapnya dengan tatapan sinis. “Jadi ini bukan tentang menyelamatkan ekositem laut? Ini tentang siapa yang menguasainya, begitu?”
Dan sebelum mereka bisa melakukan apa pun, ancaman yang lebih besar datang. Dari kejauhan, kapal-kapal besar bukan kapal nelayan biasa mulai bermunculan di perairan mereka. Kapal-kapal asing, dengan jaring raksasa yang menyapu habis segala kehidupan di bawah laut. Para nelayan di desa tahu mereka tak punya harapan melawan mesin-mesin raksasa itu. Tapi yang lebih mengejutkan adalah kenyataan bahwa teknologi yang seharusnya menyelamatkan laut justru digunakan untuk menghancurkannya. Hanan menemukan dokumen rahasia di peralatan Raka data yang menunjukkan bahwa Terumbu AI tidak hanya meregenerasi karang, tetapi juga menciptakan sistem pemantauan laut yang dikendalikan oleh pihak tertentu. Terumbu AI bukan hanya proyek penyelamatan, tetapi juga senjata bagi mereka yang ingin menguasai lautan. Marah sekaligus kecewa, Hanan menghadap Ravan. “Oh jadi selama ini bukan tentang menyelamatkan laut? Ini tentang mengendalikannya?” Ravan menatapnya dengan mata penuh penyesalan. “Aku tak punya pilihan lain, Hanan. Aku sudah mengatakan kepadamu mereka mendanai penelitian ini. Jika aku menolaknya, mereka akan menghancurkan segalanya. Seharusnya kamu bisa memahami kondisku saat ini”
Namun bagi Hanan, hanya ada satu pilihan yaitu melindungi lautnya, dengan atau tanpa bantuan teknologi. Hanan tahu, mereka tak bisa melawan dengan cara biasa. Mereka harus menggunakan senjata musuh untuk melawan musuh itu sendiri. Hanan tak pantang menyerah. Bersama beberapa nelayan dan ilmuwan lain yang masih peduli pada laut, ia mulai menyusun rencana.
“Apa yang akan kita lakukan sekarang?” Tanya seorang nelayan tua.
“Kita buat pagar laut,” kata Hanan dengan tegas. “Bukan hanya untuk melindungi karang, tapi untuk menghentikan kapal-kapal perusak itu.”
Dengan bantuan seorang hacker lingkungan, mereka menyusup ke sistem Terumbu AI. Mereka mengubah kode-kode yang sebelumnya dikendalikan oleh pihak asing, membuatnya menjadi benteng yang tak bisa ditembus. Saat kapal-kapal ilegal mendekat, mereka mendapati sesuatu yang mustahil terjadi karang buatan mulai bergerak, menciptakan dinding alami yang memblokir jalur mereka. Sensor AI mengarahkan gelombang sonar yang bisa mengacaukan sistem navigasi kapal. Kekacauan pecah. Kapal-kapal industri mencoba bertahan, tetapi mereka tak bisa mengakses sistem mereka sendiri. Teknologi yang mereka gunakan untuk menguasai laut kini melawan mereka. Panik, kapal-kapal itu mundur.membuat mereka terpaksa berbalik. Keesokan harinya saat fajar menyingsing, laut kembali tenang dan sunyi. Para nelayan menangis bahagia karena mereka telah merebut kembali laut mereka.
Hari berlalu, bulan berganti. Laut mulai kembali hidup. Karang-karang buatan terus bertumbuh, menciptakan ekosistem baru yang lebih kuat. Hanan masih menjadi nelayan, tapi kini ia juga penjaga laut. Ia mengawasi Terumbu AI, memastikan bahwa teknologi tetap menjadi sekutu bukan musuh. Dan di desa itu, legenda baru terlahir. Tentang seorang nelayan yang menolak tunduk pada teknologi, tetapi juga tidak takut menggunakannya untuk melindungi rumahnya. Dan tentang laut yang akhirnya memiliki penjaganya sendiri bukan manusia, bukan mesin, tapi keduanya.