Cerpen Nadya Andriani
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Di sebuah negeri kepulauan bernama Nusantara Raya, terdapat desa pesisir bernama Teluk Biru. Desa ini kaya akan budaya dan keindahan alam, dengan laut yang memberikan kehidupan bagi penduduknya. Nelayan pergi melaut sebelum fajar, sementara anak-anak berlari di pasir, mengumpulkan cangkang kerang dan mendengarkan cerita para tetua tentang lautan yang penuh rahasia.
Namun, keseimbangan ini mulai terganggu ketika seorang pengusaha kaya dan ambisius bernama Raka Wijaya memulai proyek raksasa: pembangunan gerbang laut. Dengan dalih melindungi desa dari perubahan iklim dan meningkatkan ekonomi lokal, Raka membangun pintu air besar yang mengontrol aliran laut. Tapi bagi Damar, seorang pemuda yang mencintai laut dan berdedikasi pada konservasi, proyek ini adalah ancaman besar.
Damar tidak sendirian dalam perjuangannya. Ia didampingi oleh Kirana, sahabat masa kecilnya yang kini menjadi jurnalis investigasi, serta Pak Surya, seorang tetua desa yang memiliki pengetahuan luas tentang lautan dan ekologi pesisir. Mereka melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana gerbang laut itu mulai mengubah arus air, mengganggu habitat ikan, dan mengancam keberlanjutan kehidupan nelayan.
"Ini tidak bisa dibiarkan, Kirana. Kita harus melakukan sesuatu," kata Damar suatu malam saat mereka duduk di beranda rumah Pak Surya.
Kirana mengangguk. "Aku sudah menghubungi beberapa rekan jurnalis. Mereka tertarik untuk mengangkat isu ini. Tapi kita butuh lebih banyak bukti."
Sejak pembangunan gerbang laut dimulai, banyak nelayan mengeluhkan hasil tangkapan yang menurun. Arus yang dulu membawa ikan ke dekat pantai kini berubah drastis. Terumbu karang yang dulunya menjadi rumah bagi berbagai spesies laut mulai mati perlahan akibat sedimentasi yang meningkat.
Suatu pagi, Damar berbicara dengan Pak Surya di tepi pantai.
"Pak, bagaimana kalau kita mengadakan pertemuan warga? Kita bisa menjelaskan dampak proyek ini dan mencari solusi bersama," usul Damar.
Pak Surya menghela napas. "Itu ide yang bagus, Nak. Tapi banyak warga masih takut. Mereka terlanjur percaya pada janji-janji Raka."
Beberapa warga memang mendukung proyek ini, tergiur oleh janji-janji pekerjaan dan pembangunan. Namun, yang lain mulai merasakan dampaknya—hasil tangkapan ikan menurun drastis, dan ekosistem laut terganggu. Damar dan Kirana mulai mengumpulkan bukti, mewawancarai warga, dan menggali lebih dalam tentang motif di balik proyek ini.
Mereka menemukan bahwa proyek tersebut didanai oleh investor luar negeri yang memiliki sejarah eksploitasi lingkungan di negara lain. Lebih buruk lagi, izin lingkungan diperoleh melalui suap dan manipulasi data. Saat Damar dan Kirana mencoba mengungkap kebenaran ini, mereka menghadapi ancaman dari orang-orang bayaran Raka.
"Aku mendapat pesan ancaman tadi pagi," kata Kirana sambil menunjukkan layar ponselnya kepada Damar.
Damar mengepalkan tangannya. "Kita tidak bisa mundur sekarang. Ini bukan hanya tentang kita, tapi tentang seluruh desa ini."
Suatu malam, Damar dan Kirana diteror oleh orang-orang tak dikenal yang mengintimidasi mereka untuk berhenti mengusik proyek gerbang laut. Mobil Kirana dirusak, dan rumah Damar dilempari batu. Namun, mereka tidak menyerah. Dengan bantuan Pak Surya, mereka mulai menggalang dukungan dari aktivis lingkungan dan organisasi non-pemerintah untuk membawa isu ini ke tingkat nasional.
Ketegangan semakin memuncak ketika Raka sendiri datang ke Teluk Biru untuk bertemu dengan warga. Ia berbicara dengan karisma, meyakinkan mereka bahwa gerbang laut ini adalah satu-satunya cara agar desa tetap bertahan dari ancaman kenaikan permukaan air laut. Namun, Damar berdiri menantangnya di hadapan semua orang.
"Jika kau benar-benar peduli pada desa ini, kenapa kau tidak tinggal di sini dan melihat sendiri dampaknya?" tanya Damar lantang.
Raka hanya tersenyum tipis. "Aku sudah melihat datanya, dan semuanya menunjukkan bahwa proyek ini akan membawa keuntungan jangka panjang. Mungkin kalian hanya perlu bersabar."
"Kau hanya melihat angka-angka, tapi kau tidak melihat orang-orang yang kehilangan mata pencahariannya!" sahut Kirana.
Namun, Raka hanya pergi tanpa menjawab. Malam itu, terjadi diskusi panjang di balai desa. Beberapa warga mulai ragu, tetapi banyak yang masih takut untuk melawan karena pengaruh besar Raka dan para investor di belakangnya.
Beberapa minggu kemudian, badai besar melanda Teluk Biru. Gerbang laut, yang seharusnya melindungi desa, justru gagal menahan tekanan air, menyebabkan banjir besar. Rumah-rumah terendam, kapal-kapal nelayan hancur, dan desa hampir musnah. Ini menjadi bukti nyata bahwa proyek ini bukanlah solusi, melainkan bencana.
"Damar! Kita harus mengevakuasi warga!" teriak Kirana di tengah hujan deras.
Damar mengangguk. "Pak Surya, tolong bawa anak-anak dan orang tua ke tempat yang lebih tinggi! Aku dan pemuda desa akan mencari korban yang masih terjebak!"
Pada malam badai itu, Damar dan beberapa pemuda desa berusaha keras menyelamatkan warga yang terjebak di rumah mereka. Pak Surya, meskipun sudah tua, tetap membantu dengan memandu mereka ke tempat yang lebih aman. Kirana yang selama ini melaporkan kejadian ini ke media nasional, akhirnya mendapat perhatian besar dari masyarakat luas. Foto dan video kehancuran Teluk Biru tersebar luas di internet, membuat tekanan publik semakin kuat terhadap Raka dan pemerintah yang mendukungnya.
Dengan keberanian, Damar memimpin warga untuk menghancurkan bagian gerbang yang rusak agar air bisa kembali mengalir secara alami. Pak Surya membimbing mereka dengan pengetahuannya, sementara Kirana menyiarkan kejadian ini ke seluruh negeri. Tekanan publik memaksa pemerintah pusat turun tangan, menghentikan proyek Raka, dan memulai investigasi resmi.
Setelah bencana itu, Raka Wijaya menghilang dari peredaran. Desas-desus mengatakan dia melarikan diri ke luar negeri untuk menghindari jeratan hukum, sementara yang lain percaya dia hanya menunggu waktu untuk kembali dengan rencana baru. Namun, bagi warga Teluk Biru, kehidupan harus terus berjalan. Mereka bergotong royong membangun kembali desa mereka, memperbaiki perahu, dan mulai menanam kembali hutan bakau yang rusak akibat perubahan arus.
Damar dan Kirana semakin aktif dalam advokasi lingkungan, bekerja sama dengan organisasi konservasi untuk memastikan kejadian serupa tidak terulang. Mereka mengadakan lokakarya bagi anak-anak desa, mengajarkan mereka pentingnya menjaga ekosistem laut. Pak Surya, meskipun usianya sudah lanjut, tetap menjadi sumber kebijaksanaan bagi generasi muda.
Suatu sore, saat matahari perlahan tenggelam di cakrawala, Damar dan Kirana duduk di dermaga, menatap lautan yang mereka cintai.
"Kita mungkin belum menang sepenuhnya," kata Kirana, "tapi kita sudah membuat perbedaan."
Damar tersenyum, mendengar deburan ombak yang kini kembali bebas. "Perjuangan belum selesai. Tapi selama masih ada yang peduli, harapan akan tetap ada."
Dengan angin laut yang membawa aroma garam dan suara burung camar di kejauhan, mereka tahu bahwa perjuangan ini hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Teluk Biru telah memberi mereka lebih dari sekadar rumah—ia telah memberi mereka tujuan.