Cerpen Nadya Fadillah
Matahari belum sepenuhnya terbit, tetapi langit sudah memerah di ufuk timur. Kabut pagi masih menyelimuti desa pesisir, menciptakan bayangan samar-samar dari rumah-rumah kayu yang berdiri di atas tiang. Di kejauhan, ombak bergulung pelan, seolah enggan mengganggu ketenangan pagi itu. Namun, di balik ketenangan itu, ada kegelisahan yang merayap perlahan, seperti air pasang yang diam-diam menggerus pantai.
Marni duduk di beranda rumahnya, menatap laut yang seolah tak pernah berubah. Tapi ia tahu, perubahan itu sudah datang. Ia melihatnya setiap hari. Pagar-pagar besi yang mulai menjulang di sepanjang pantai, memagari lahan yang dulu menjadi tempat ia dan warga desa mencari nafkah. Pagar itu bukan untuk melindungi mereka, melainkan untuk mengusir mereka. "Pembangunan," kata orang-orang dari kota. "Untuk kemajuan," tambah mereka. Tapi Marni tak mengerti, kemajuan untuk siapa?
"Mak, kenapa kita harus pergi?" tanya Lintang, putri kecilnya, yang baru saja bangun dan menghampirinya. Matanya masih mengantuk, tetapi penuh keingintahuan.
Marni menarik napas panjang. Ia tak tahu harus menjawab apa. Bagaimana menjelaskan pada anaknya bahwa tanah yang telah menghidupi mereka selama puluhan tahun tiba-tiba bukan lagi milik mereka? Bagaimana menerangkan bahwa laut yang dulu bebas kini dipagari, seolah-olah ada yang berhak mengklaimnya?
"Kita tidak akan pergi, Lin," ujar Marni akhirnya, meski hatinya tak seyakin kata- katanya. "Ini tanah kita. Laut kita."
Tapi kata-katanya terasa hampa. Ia sendiri ragu. Beberapa warga sudah mulai pergi, menjual tanah mereka dengan harga murah kepada perusahaan-perusahaan besar yang datang dengan janji kemakmuran. Janji yang tak pernah terwujud. Marni ingat betul wajah Pak Darso, tetangganya, yang dulu begitu gigih menolak tawaran itu. Tapi akhirnya, ia pun menyerah. "Kita tidak bisa melawan, Marni," katanya, suaranya parau. "Mereka terlalu kuat."
Konflik agraria yang terjadi di desa ini bukan sekadar tentang tanah atau laut yang dipagari. Ini tentang hak hidup, tentang bagaimana hukum lebih sering berdiri di sisi orang- orang berkuasa. Surat-surat kepemilikan tanah yang dipegang warga tiba-tiba dianggap tidak sah, sementara sertifikat baru dengan nama perusahaan raksasa justru diakui. Aduan yang mereka layangkan ke pemerintah tak pernah mendapat jawaban, seakan suara mereka tak lebih dari riak kecil di lautan luas.
Suatu pagi, ketika kabut masih tebal, Marni memutuskan untuk mengumpulkan warga. Ia berjalan dari rumah ke rumah, mengetuk pintu, dan mengajak mereka berkumpul di balai desa. Wajah-wajah yang ia temui penuh kelelahan, tetapi ada sedikit harapan ketika mereka mendengar rencana Marni.
"Kita tidak bisa diam saja," ujar Marni dengan suara lantang di hadapan warga yang berkumpul. "Ini tanah kita. Laut kita. Jika kita diam, mereka akan mengambil semuanya."
Beberapa warga mengangguk, tetapi yang lain hanya menunduk. "Tapi apa yang bisa kita lakukan, Marni?" tanya Pak Jono, salah satu tetua desa. "Mereka punya surat-surat. Mereka punya hukum."
"Hukum seharusnya melindungi kita, bukan mengusir kita," balas Marni. "Kita harus menunjukkan bahwa ini hak kita! Kita harus melawan!"
Akhirnya, setelah berdiskusi panjang, mereka sepakat untuk melakukan aksi protes. Mereka akan mendatangi kantor perusahaan yang membangun pagar itu dan menuntut keadilan. Marni tahu ini tidak mudah, tetapi ia yakin ini adalah langkah yang harus diambil.
Keesokan harinya, Marni dan puluhan warga berjalan menuju kantor perusahaan. Mereka membawa spanduk dan poster bertuliskan "Kembalikan Tanah Kami" dan "Laut Bukan Milik Perusahaan". Suara mereka bersatu dalam yel-yel penuh semangat. Namun, sesampainya di depan kantor, mereka dihadang oleh sekelompok satpam berseragam hitam.
"Tidak boleh masuk," kata salah satu satpam dengan suara keras. "Ini wilayah privat."
"Ini wilayah kami!" teriak Marni, tak gentar. "Kami hanya ingin berbicara dengan pemimpin kalian. Kami ingin keadilan."
Satpam itu hanya tersenyum sinis. "Keadilan? Kalian pikir ini apa? Ini bisnis. Kalian tidak punya hak lagi di sini."
Tiba-tiba, ia mendengar suara langkah kaki. Beberapa orang berpakaian rapi mendekat, dengan wajah dingin. "Apa yang kalian lakukan?" tanya salah satu dari mereka, suaranya datar.
"Kami ingin berbicara dengan pemimpinnya. Kami butuh keadilan! Ini tanah kami, Pak!"
Orang itu hanya tersenyum tipis. "Ini sudah bukan milik kalian lagi. Ada surat-suratnya.
Ada hukumnya."
Marni merasa dadanya sesak. Hukum. Kata itu seperti pisau yang menusuk hatinya. Hukum yang seharusnya melindungi mereka, justru digunakan untuk mengusir mereka. Hukum yang seharusnya adil, ternyata hanya berpihak pada yang kuat.
Tapi Marni tidak menangis. Ia tidak mau menyerah. Ia memandang orang itu dengan tatapan tajam.
"Kalian bisa mengambil tanah kami, tapi kalian tidak bisa mengambil laut kami. Laut akan selalu ingat kami. Laut akan selalu milik kami."
Orang itu hanya menggeleng, lalu pergi, meninggalkan Marni dan warga lainnya yang masih berdiri di depan pagar itu. Marni merasa darahnya mendidih. Ia mencoba menerobos, tetapi satpam itu mendorongnya hingga ia terjatuh. Warga yang lain berusaha membantu, tetapi mereka dihadang dengan pentungan dan tameng. Suara teriakan dan tangisan memenuhi udara. Marni bangkit dengan susah payah, wajahnya memerah karena marah dan malu.
"Kalian bisa memukul kami, tapi kalian tidak bisa mematahkan semangat kami!" teriaknya, suaranya parau tapi penuh keyakinan.
Namun, perjuangan mereka tertahan oleh orang-orang yang berkuasa. Marni yang dianggap sebagai provokator ditangkap secara paksa, dibawa entah ke mana. Yang lain mendapat ancaman, bahkan rumah-rumah mereka dipaksa dikosongkan dalam waktu singkat. Malam-malam mereka dilalui dengan ketakutan, takut suara-suara yang menentang akan dibungkam selamanya.
Sementara itu, Lintang berlarian di sekitar desa, mencari ibunya yang tak kunjung pulang. Ia mendatangi beberapa warga dengan mata berkaca-kaca. "Di mana Emak? Kenapa Emak Lintang belum pulang?" tanyanya dengan suara lirih.
Salah satu warga, seorang perempuan paruh baya, berjongkok di hadapan Lintang dan mengusap kepalanya. "Ibumu sedang berdiskusi dengan para penguasa, Lin. Dia akan kembali dalam beberapa hari lagi," katanya lembut, meski suaranya bergetar. Padahal, ia tahu bahwa Marni telah ditangkap dan dibawa ke tempat yang tidak mereka ketahui. Perempuan itu lalu menggenggam tangan Lintang erat dan membawanya ke rumahnya, berusaha menenangkannya agar tak terus bertanya.
Beberapa hari kemudian, Marni dibebaskan setelah tekanan dari berbagai organisasi masyarakat sipil dan media yang mulai meliput kasus ini. Kembali ke desa, ia disambut oleh warga yang masih setia mendukungnya. Warga yang sebelumnya diancam dan dipaksa mengosongkan rumah mereka kini bisa bernapas lega. Ketakutan yang sempat menyelimuti desa perlahan sirna.
Tak mengenal kata menyerah, Marni dan warga mulai menyusun rencana lainnya. Mereka mengajukan gugatan hukum dan menggalang dukungan dari masyarakat luas. Namun, sama seperti usaha mereka sebelumnya, ajuan gugatan itu tidak juga mendapatkan jawaban. Dukungan dari masyarakat luas pun tidak sesuai dengan harapan mereka.
Melihat ibu dan warga yang semakin terdesak, Lintang teringat akan pesan-pesan ibunya tentang pentingnya mempertahankan tanah dan laut sebagai warisan nenek moyang. Dengan tekad bulat untuk berjuang bersama, ia mendekati para pemuda desa yang mahir dalam teknologi. Bersama-sama, mereka mulai merekam video dokumenter, menuliskan kisah perjuangan mereka, dan menyebarkan berita ke berbagai platform digital.
Bulan-bulan berlalu, perjuangan mereka mulai membuahkan hasil. Perlahan tapi pasti, cerita mereka menyebar luas, menjadi viral, menarik perhatian media nasional, serta memicu diskusi yang lebih besar tentang ketidakadilan yang mereka hadapi. Berbagai organisasi lingkungan serta hak asasi manusia pun ikut turun tangan membantu. Dengan itu, gugatan hukum yang pernah warga ajukan akhirnya diproses, meski dengan lambat.
Kabar bahwa pagar-pagar itu akan ditinjau ulang oleh pemerintah membuat seluruh warga merasa lega. Meski belum ada keputusan final, ini adalah kemenangan kecil bagi mereka. Marni tahu perjuangan belum selesai, tetapi ia juga tahu bahwa mereka telah membuktikan satu hal, ombak tidak bisa dipagari.
Di tepi pantai, Marni berdiri memandang laut. Ombak terus bergulung, seolah mengingatkannya bahwa alam dan manusia memiliki ikatan yang tak bisa diputuskan. Ia tersenyum, tetapi sebuah pertanyaan berputar di benaknya, sampai kapan hukum akan berpihak pada mereka yang berkuasa?