Saturday, March 15, 2025

Cerpen Lomba | Naila Asad | Mendobrak Pagar Laut



“Berita kapan tamatnya sih?” ucap Lina, anak berumur 10 tahun yang sedang berebut acara program televisi untuk menonton serial kartun favoritnya dengan kakeknya yang menonton berita. Kala itu anak kecil hanya tahu kalau berita adalah acara paling membosankan yang aneh. Melihat banyak orang dewasa berdebat, bertengkar, saling sikut satu sama lain, membingungkan pikirnya.

5 tahun berlalu, Lina kemudian beranjak remaja dengan rasa ingin tahu yang tinggi dan haus akan informasi yang pada akhirnya ia pahami seiring berjalannya waktu. Bahkan kini, informasi tentang negeri yang terkadang tak ia pahami sepenuhnya, semakin membuatnya berpikir. Dunia yang penuh suara, gaduh, bising tapi kini ia akhirnya tahu ada sesuatu yang lebih besar dibalik itu semua. Ada pagar yang terbentang, dibangun dan hanya dapat diakses oleh orang-orang berkuasa, yang memiliki harta benda yang entah dari mana asalnya dan merekalah yang dapat menjadi akar dari banyak permasalahan membingungkan yang terjadi di negeri ini.

Suara televisi terdengar dari ruang tamu. Kakeknya masih duduk dengan tenang di kursi favoritnya menatap layar dengan serius, sementara Lina kini ikut menyimak dengan seksama. Berita-berita yang tak pernah berhenti tentang pertikaian, kebijakan yang tak kunjung meringankan rakyat, dan lihatlah sekarang berita tentang terbentangnya pagar di lautan yang kembali membuatnya bingung, pada akhirnya proyek tersebut menyulitkan nelayan. “Lautan itu bukan sekedar air, nak,” kata kakeknya suatu malam setelah menonton berita yang membahas soal pagar di lautan dengan kontroversi milik perusahaan swasta atau konglomerat negeri ini. “Lautan itu simbol dari sesuatu yang lebih besar— perlawanan. Perjuangan untuk melawan sesuatu yang tidak adil.” Lina terdiam, tidak sepenuhnya mengerti. Namun kalimat kakeknya kembali menciptakan rasa penasaran yang ingin diketahuinya lebih lanjut. Laut sebagai simbol perlawanan.

Kata-kata itu menghantui Lina sepanjang malam. Apa yang dimaksud kakeknya dengan perlawanan? Kenapa laut yang luas itu menjadi simbol perlawanan? Bukankah laut hanya sebuah ruang kosong? Namun, seiring berjalannya waktu, Lina mulai memahami bahwa yang dimaksud kakeknya bukanlah laut itu sendiri, tetapi apa yang terjadi di baliknya—tentang mereka yang berusaha menguasai alam demi keuntungan pribadi, tanpa memedulikan nasib orang-orang yang hidup di pesisir.

Lina mulai menyelidiki lebih jauh. Ia membaca artikel tentang dampak reklamasi pantai, tentang bagaimana proyek-proyek besar ini meminggirkan mereka yang telah tinggal di pesisir selama bertahun-tahun. Lautan yang dulu mereka andalkan sebagai sumber kehidupan kini terancam dengan proyek-proyek yang merusak ekosistemnya. Mereka, yang selama ini bergantung pada laut untuk hidup, kini dipaksa untuk menelan kenyataan bahwa laut yang mereka cintai akan dirusak dan terganggu ekosistemnya demi pembangunan. Seiring berjalannya waktu, Lina akhirnya mendalami bidang penyelidikan nya setelah terus menggali informasi yang dahulu tak disukainya. Bahwa negeri ini dipenuhi pagar-pagar yang diciptakan untuk mengekang kebebasan. Pagar-pagar itu seringkali tersembunyi, namun dampaknya nyata. Pagar laut, yang awalnya sebagai sekedar batas antara pihak berlawanan yang tak ingin wilayahnya terbagi. Padahal, sumber daya negeri ini milik bersama jika tanpa adanya kejelasan dan perizinan yang baik dan benar. Kini terlihatlah perbedaanya, ia adalah batas antara mereka yang memiliki kekuasaan dan mereka yang terpinggirkan. Pagar itu tidak terlihat jelas, tetapi dampaknya sangat nyata bagi mereka yang berusaha bertahan hidup di tanah dengan ketergantungan penghasilan demi hidup dari sumber daya alam yang kini terancam.

Lina merasa sedih sekaligus geram dengan beragam kondisi tidak menguntungkan di negerinya ini jika ia bandingkan dengan negara lainnya. Ia tidak bisa tinggal diam melihat ketidakadilan ini. Ia tahu bahwa banyak orang di luar sana yang merasa terperangkap oleh sistem, oleh kebijakan yang tidak memihak


pada mereka yang membutuhkannya disaat mereka kehilangan arah tak tentu akibat ulah yang berkuasa. Tapi ia juga tak tahu, seperti yang dikatakan kakeknya, bahwa perlawanan itu tidak akan pernah berhenti. Laut dan segala sumber daya bumi tidak akan pernah diam, dan begitu juga dengan mereka yang memperjuangkan hak-hak mereka.

Siang itu, dikala teman sekolahnya sedang duduk di ruang kelas, Lina mendengar perbincangan antara teman-temannya tentang protes yang akan dilakukan oleh kelompok masyarakat pesisir yang menentang reklamasi. Lina merasa hati kecilnya tergerak. “Ini saatnya,” pikirnya. “Aku harus ikut terlibat. Aku harus berbuat sesuatu.”

Lina segera menghubungi teman-temannya, yang selama ini juga memiliki ketertarikan dan menginginkan keterlibatan secara langsung dalam aksi nyata yang sama tentang isu lingkungan dan keadilan sosial. Mereka kemudian memutuskan untuk ikut dalam aksi tersebut, meski mereka tahu ini bukanlah hal yang mudah. Mereka tidak hanya menghadapi perlawanan dari pihak yang berkuasa, tetapi juga menghadapi ketidakpedulian dari sebagian besar masyarakat yang tidak merasa terdampak oleh proyek-proyek besar itu.

Malam sebelum aksi dimulai, Lina duduk di pinggir pantai, memandangi laut yang luas. Pikirannya pun kacau. “Apakah suara kami akan didengar? Apakah kami bisa benar-benar bisa mendobrak pagar yang tak terlihat ini?” pikirnya dalam hati. Namun, saat melihat ombak yang terus menghantam pantai, ia merasa ada kekuatan yang luar biasa. Laut tidak pernah berhenti, meskipun ada batasan yang mencoba menghalanginya. Ombak itu terus datang, menggulung apa saja yang ada di depannya. “Kami juga seperti ombak,” bisik Lina pada dirinya sendiri. “Kami tidak akan berhenti. Kami harus melawan.”

Hari yang mereka nantikan pun tiba, Lina dan teman-temannya bergabung dengan ribuan orang yang berkumpul untuk menyuarakan penolakan terhadap reklamasi. Aksi itu penuh dengan semangat, meskipun penuh risiko. Mereka berbaris di sepanjang pantai, membawa spanduk dan poster yang berisi pesan tentang perlindungan lingkungan dan hak-hak masyarakat pesisir. Mereka melawan, bukan hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi untuk mereka yang suaranya selama ini tidak pernah terdengar.

Aksi itu menjadi sorotan media, dan meskipun mereka belum berhasil menghentikan proyek reklamasi, perlawanan mereka menjadi simbol bahwa suara-suara mereka yang terpinggirkan tidak akan pernah hilang begitu saja. Pagar Laut yang dahulu tampak kokoh kini mulai retak, sedikit demi sedikit.

Bertahun-tahun kemudian, Lina duduk kembali di samping kakeknya, menonton berita. Kali ini, berita tentang perlawanan mereka yang akhirnya membawa perubahan. Proyek reklamasi yang semula dijalankan dengan gegabah akhirnya dihentikan, dan mereka yang selama ini terpinggirkan mendapatkan hak mereka kembali. Lina tersenyum, ikut serta merasa bangga. walau ia tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya dan dikemudian hari saat mereka yang berkuasa pada akhirnya akan terus melihat peluang dan kesempatan untuk mengambil hak yang terpinggirkan.

Pagar Laut itu akhirnya runtuh, bukan hanya karena perlawanan mereka, tetapi karena keberanian untuk terus berjuang meski segala hal tampak mustahil. Seperti ombak yang tak pernah berhenti, perjuangan mereka juga tak pernah berhenti.

“Lautan tidak pernah diam, Kakek,” kata Lina sambil tersenyum. “Dan begitu juga dengan kami.”