“Berita kapan tamatnya sih?” ucap Lina, anak berumur 10
tahun yang sedang berebut acara program televisi untuk menonton serial kartun favoritnya dengan kakeknya yang menonton berita.
Kala itu anak kecil hanya tahu kalau berita adalah
acara paling membosankan yang aneh. Melihat banyak orang dewasa berdebat, bertengkar, saling sikut satu sama lain,
membingungkan pikirnya.
5 tahun berlalu, Lina kemudian beranjak remaja dengan rasa
ingin tahu yang tinggi dan haus akan informasi yang pada akhirnya ia pahami
seiring berjalannya waktu. Bahkan kini, informasi tentang negeri yang terkadang
tak ia pahami sepenuhnya, semakin membuatnya berpikir. Dunia yang penuh suara, gaduh, bising tapi kini ia akhirnya tahu ada sesuatu
yang lebih besar dibalik itu semua. Ada pagar yang terbentang, dibangun dan
hanya dapat diakses oleh orang-orang berkuasa, yang memiliki harta benda yang entah dari mana asalnya
dan merekalah yang dapat menjadi
akar dari banyak permasalahan
membingungkan yang terjadi di negeri ini.
Suara
televisi terdengar dari ruang tamu. Kakeknya masih duduk dengan tenang di kursi
favoritnya menatap layar dengan serius, sementara Lina kini ikut menyimak
dengan seksama. Berita-berita yang tak pernah berhenti tentang pertikaian,
kebijakan yang tak kunjung meringankan rakyat, dan lihatlah sekarang berita
tentang terbentangnya pagar di lautan yang
kembali membuatnya bingung, pada akhirnya
proyek tersebut menyulitkan nelayan.
“Lautan itu bukan sekedar
air, nak,” kata kakeknya
suatu malam setelah menonton
berita yang membahas soal pagar di lautan dengan kontroversi milik perusahaan
swasta atau konglomerat negeri ini. “Lautan itu simbol dari sesuatu yang lebih
besar— perlawanan. Perjuangan untuk melawan sesuatu yang tidak adil.” Lina
terdiam, tidak sepenuhnya mengerti. Namun kalimat
kakeknya kembali menciptakan rasa penasaran yang ingin diketahuinya lebih lanjut. Laut sebagai simbol perlawanan.
Kata-kata
itu menghantui Lina sepanjang malam. Apa
yang dimaksud kakeknya dengan perlawanan? Kenapa laut yang luas itu menjadi
simbol perlawanan? Bukankah laut hanya sebuah ruang kosong? Namun, seiring
berjalannya waktu, Lina mulai memahami bahwa yang dimaksud kakeknya bukanlah
laut itu sendiri, tetapi apa yang terjadi di baliknya—tentang mereka yang
berusaha menguasai alam demi keuntungan pribadi, tanpa memedulikan nasib
orang-orang yang hidup di pesisir.
Lina
mulai menyelidiki lebih jauh. Ia membaca artikel tentang dampak reklamasi
pantai, tentang bagaimana proyek-proyek besar ini meminggirkan mereka yang
telah tinggal di pesisir selama bertahun-tahun. Lautan yang dulu mereka
andalkan sebagai sumber kehidupan kini terancam dengan proyek-proyek yang merusak ekosistemnya. Mereka, yang selama ini bergantung pada laut untuk hidup,
kini dipaksa untuk menelan kenyataan bahwa laut yang mereka cintai akan dirusak
dan terganggu ekosistemnya demi pembangunan. Seiring berjalannya waktu, Lina
akhirnya mendalami bidang penyelidikan nya setelah
terus menggali informasi yang dahulu tak disukainya. Bahwa negeri ini dipenuhi
pagar-pagar yang diciptakan untuk mengekang kebebasan. Pagar-pagar itu
seringkali tersembunyi, namun dampaknya nyata. Pagar laut, yang awalnya sebagai
sekedar batas antara pihak berlawanan yang tak ingin wilayahnya terbagi.
Padahal, sumber daya negeri ini milik bersama jika tanpa adanya kejelasan dan perizinan yang baik dan benar. Kini terlihatlah perbedaanya, ia adalah batas antara mereka yang memiliki
kekuasaan dan mereka yang terpinggirkan. Pagar itu tidak terlihat jelas, tetapi
dampaknya sangat nyata bagi mereka yang berusaha bertahan hidup di tanah dengan
ketergantungan penghasilan demi hidup dari sumber daya alam yang kini terancam.
Lina merasa sedih sekaligus geram dengan beragam
kondisi tidak menguntungkan di negerinya ini jika
ia bandingkan dengan negara lainnya.
Ia tidak bisa tinggal diam melihat ketidakadilan ini. Ia tahu bahwa
banyak orang di luar sana yang merasa terperangkap oleh sistem, oleh kebijakan yang tidak memihak
pada mereka yang membutuhkannya disaat mereka kehilangan arah tak tentu akibat ulah yang berkuasa. Tapi ia juga tak tahu, seperti
yang dikatakan kakeknya, bahwa perlawanan itu tidak akan pernah berhenti. Laut
dan segala sumber daya bumi tidak akan pernah diam, dan begitu juga dengan
mereka yang memperjuangkan hak-hak mereka.
Siang itu, dikala teman sekolahnya sedang duduk di ruang kelas, Lina mendengar
perbincangan antara teman-temannya tentang protes yang akan dilakukan
oleh kelompok masyarakat pesisir yang menentang reklamasi. Lina merasa hati
kecilnya tergerak. “Ini saatnya,” pikirnya. “Aku harus ikut terlibat. Aku harus
berbuat sesuatu.”
Lina
segera menghubungi teman-temannya, yang selama ini juga memiliki ketertarikan
dan menginginkan keterlibatan secara langsung dalam aksi nyata yang sama
tentang isu lingkungan dan keadilan sosial. Mereka kemudian memutuskan untuk
ikut dalam aksi tersebut, meski mereka tahu ini bukanlah hal yang mudah.
Mereka tidak hanya menghadapi perlawanan dari pihak yang berkuasa, tetapi juga menghadapi ketidakpedulian
dari sebagian besar masyarakat yang tidak merasa terdampak oleh proyek-proyek
besar itu.
Malam sebelum
aksi dimulai, Lina duduk di pinggir pantai,
memandangi laut yang luas. Pikirannya pun kacau. “Apakah suara kami akan didengar? Apakah kami bisa benar-benar bisa mendobrak pagar yang
tak terlihat ini?” pikirnya dalam hati. Namun, saat melihat ombak yang terus
menghantam pantai, ia merasa ada kekuatan
yang luar biasa. Laut tidak pernah berhenti,
meskipun ada batasan
yang mencoba menghalanginya.
Ombak itu terus datang, menggulung apa saja yang ada di depannya. “Kami juga
seperti ombak,” bisik Lina pada dirinya sendiri. “Kami tidak akan berhenti.
Kami harus melawan.”
Hari
yang mereka nantikan pun tiba, Lina dan teman-temannya bergabung dengan ribuan
orang yang berkumpul untuk menyuarakan penolakan terhadap reklamasi. Aksi itu
penuh dengan semangat, meskipun penuh risiko.
Mereka berbaris di sepanjang pantai,
membawa spanduk dan poster yang berisi
pesan tentang perlindungan lingkungan dan hak-hak masyarakat pesisir. Mereka melawan,
bukan hanya untuk diri mereka
sendiri, tetapi untuk mereka yang suaranya selama ini tidak pernah terdengar.
Aksi itu menjadi sorotan
media, dan meskipun
mereka belum berhasil
menghentikan proyek reklamasi, perlawanan mereka menjadi
simbol bahwa suara-suara mereka yang terpinggirkan tidak akan pernah hilang
begitu saja. Pagar Laut yang dahulu tampak kokoh kini mulai retak, sedikit demi
sedikit.
Bertahun-tahun kemudian, Lina duduk kembali
di samping kakeknya,
menonton berita. Kali ini, berita tentang perlawanan mereka yang
akhirnya membawa perubahan. Proyek reklamasi yang semula dijalankan dengan
gegabah akhirnya dihentikan, dan mereka yang selama ini terpinggirkan
mendapatkan hak mereka kembali. Lina tersenyum, ikut serta merasa bangga. walau
ia tak tahu apa yang akan terjadi
selanjutnya dan dikemudian hari saat mereka
yang berkuasa pada akhirnya akan terus
melihat peluang dan kesempatan untuk mengambil hak yang terpinggirkan.
Pagar Laut itu akhirnya
runtuh, bukan hanya karena perlawanan mereka, tetapi karena keberanian untuk terus berjuang meski segala hal tampak mustahil. Seperti
ombak yang tak pernah berhenti, perjuangan mereka juga tak pernah berhenti.
“Lautan tidak
pernah diam, Kakek,” kata Lina sambil
tersenyum. “Dan begitu
juga dengan kami.”