Thursday, March 13, 2025

Cerpen Lomba | Naila Nuzulur Rohmah | Beratnya Sebuah Kejujuran

Cerpen Naila Nuzulur Rohmah 



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)  


Ombak berdebur pelan di tepi pantai, membawa aroma asin yang khas. Di bawah rindangnya pohon kelapa, dua gadis kecil duduk sambil menggambar di pasir dengan ranting kayu.


"Lina, kalau sudah besar nanti, kamu mau jadi apa?" tanya Riri, kakaknya, sambil tersenyum.


Lina mengerutkan kening, berpikir sejenak. "Aku ingin punya toko yang besar seperti Ayah dan Ibu!


Di sebuah desa pinggir pantai, tumbuhlah dua anak yang bernama Riri dan Lina. Mereka dilahirkan dari pasangan Pak Budi dan Bu Sita. Pak Budi adalah orang yang terkenal sangat ramah dan baik hati. Tetapi beliau orangnya sangat keras kepala. Bu Sita adalah orang yang suka berbohong.


Pak Budi dan istrinya mempunyai sebuah toko peralatan nelayan yang besar. Awal-awal mereka buka, toko selalu ramai. Tak lama kemudian, toko mereka semakin sepi. Ibu Sita menyadari bahwa toko mereka mulai sepi, lalu Bu Sita pun mencari tahu mengapa toko mereka sepi. Dan ternyata penyebab toko mereka sepi adalah munculnya toko baru milik orang lain yang harganya lebih murah. Di samping itu, barang-barang di toko Pak Budi kualitasnya lebih jelek, cepat rusak, dan berkarat.


Akhinya Pak Budi dan Bu Sita Menyusun rencana jahat. Mereka akan memalsukan barang dagangan mereka yang sudah lama belum terjual, dengan mengubah penampilannya sedemikian rupa, sehingga terlihat seperti barang yang masih baru. Mereka akan membeli barang dengan kualitas yang buruk, tapi akan diganti dengan merek yang terkenal. Mereka hanya memikirkan bagaimana bisa mendapatkan keuntungan yang besar. Di sisi lain, mereka tidak memikirkan nasib para pembeli atau pelanggan.


Di suatu hari ketika Bu Sita sedang mengganti merek dagangannya, tiba-tiba Lina lewat dan melihat perbuatan jahat yang dilakukan ibunya. Bu Sita pun terkejut dan gugup seperti orang yang ketahuan mencuri. Lina tahu yang dilakukan ibunya adalah sebuah kesalahan. Lalu Lina bergegas mencari kakaknya untuk memberi tahu kejahatan yang dilakukan orang tuanya.


Lina pun bercerita kepada kakaknya, Riri, atas apa yang dia ketahui tentang kejahatan yang dilakukan oleh orang tuanya.


Riri langsung menanggapi cerita adiknya, lalu mereka berdua berencana untuk mengingatkan orang tuanya agar menghentikan kegiatan pemalsuan merek dagangannya tersebut. Karena di samping merugikan para pembeli, perbuatan itu juga termasuk melanggar hukum.


Ketika makan malam, Riri dan Lina berusaha memanfaatkan waktu tersebut untuk berbicara dengan orang tuanya.


“Bu, Riri ingin bertanya.”


“Tanya apa, Kak?”


“Kenapa Ibu mengganti merek dagangan di toko kita, Bu?” tanya Riri.


“Kamu tidak perlu tahu. Itu urusan orang tua. Yang penting kita dapat untung banyak.” jawab Bu Sita.


“Tapi, Bu, bukankah memalsukan merek itu melanggar hukum, Bu?”


“Kalau nggak ada yang tahu kan aman..”


Perbincangan antara Bu Sita dan Riri mulai memanas. Pak Budi datang, Bu Sita dan Riri pun terdiam. Setelah selang beberapa saat Pak Budi berkata,


“Ada apa dengan kalian, kok tidak seperti biasanya? Makan diam-diaman seperti orang yang sedang bermusuhan.” ucap Pak Budi.


“Tidak ada apa-apa.” jawab Bu Sita, mencoba menutup-nutupi, takut merusak selera makan suaminya.


Setelah mereka selesai makan malam, Bu Sita segera mengadukan Riri kepada Pak Budi. Dengan nada kesal, ia berkata, “Pak, anak kita ini semakin besar semakin banyak tingkah! Dia berani mempertanyakan cara kita berdagang!”  


Pak Budi mengerutkan kening. “Maksudnya?”  


“Dia menuduh kita berbuat curang, Pak! Katanya mengganti merek dagangan itu perbuatan melanggar hukum!”  


Pak Budi memandang Riri dengan tatapan tajam. “Dengar, Riri! Ini bukan urusan anak-anak! Kamu tidak tahu betapa sulitnya mencari nafkah. Kalau kamu tidak bisa membantu, jangan ikut campur!” suaranya meninggi.  


“Tapi Ayah, Riri hanya ingin Ayah dan Ibu berdagang dengan jujur. Kalau kita menipu, Allah pasti tidak ridha. Bagaimana kalau nanti Allah menghukum kita?” suara Riri bergetar, tapi ia tetap berani menatap mata ayahnya.  


Pak Budi menghela napas kasar. “Cukup! Jangan bicarakan ini lagi!”  


Melihat situasi semakin tegang, Lina menarik tangan kakaknya, mengajaknya pergi ke kamar. Malam itu, mereka berdua berdoa, memohon agar Allah memberikan hidayah kepada orang tua mereka.  


Hari demi hari berlalu…


Toko Pak Budi dan Bu Sita memang sempat ramai kembali karena barang dagangan mereka terlihat bagus. Namun, perlahan-lahan pelanggan mulai kecewa. Alat-alat nelayan yang mereka jual ternyata cepat rusak. Jaring sobek dalam beberapa kali pakai, pisau berkarat, dan tali pancing putus sebelum sempat digunakan.  


“Pak Budi! Saya beli jaring di sini minggu lalu, baru dipakai sekali sudah sobek! Ini bukan kualitas bagus seperti yang Bapak bilang!” seru seorang nelayan dengan wajah kesal.  


“Saya juga! Pisau yang saya beli malah jadi tumpul dalam sehari!” tambah pelanggan lain.  


Keluhan demi keluhan terus berdatangan. Orang-orang mulai kehilangan kepercayaan. Dalam waktu singkat, toko Pak Budi benar-benar sepi. Tak ada satu pun pelanggan yang datang. Utang semakin menumpuk, modal semakin menipis.  


Sampai akhirnya, musibah besar terjadi. Suatu malam, hujan deras mengguyur desa. Angin kencang menerpa toko mereka, menyebabkan sebagian atapnya roboh. Rak-rak barang jatuh berantakan, membuat banyak peralatan dagangan rusak tak bisa dijual lagi. Pak Budi dan Bu Sita hanya bisa duduk lemas di tengah toko yang porak-poranda.  


Di saat itulah, Pak Budi menyadari kesalahannya. Ia menunduk, wajahnya dipenuhi rasa bersalah. “Mungkin ini hukuman dari Allah… Aku terlalu serakah.”  


Bu Sita terisak. “Apa yang harus kita lakukan sekarang, Pak?”  


Saat itulah, Riri dan Lina mendekati orang tuanya. Dengan lembut, Riri berkata, “Ayah, Ibu, selama ini kami selalu mendoakan agar Ayah dan Ibu diberi petunjuk. Jangan bersedih… Allah masih memberi kesempatan untuk memperbaiki semuanya.”  


Pak Budi menatap anak-anaknya. Air mata menetes di pipinya. Dengan suara lirih, ia berucap, “Ayah menyesal, Nak… Kami sudah salah.”  


Malam itu, Pak Budi dan Bu Sita berdua salat dan memohon ampun kepada Allah. Mereka berjanji untuk memulai segalanya dari awal dengan kejujuran.  


Beberapa bulan kemudian…


Pak Budi dan Bu Sita membuka kembali toko mereka, kali ini dengan barang-barang berkualitas dan harga yang jujur. Meskipun awalnya sulit, perlahan-lahan kepercayaan pelanggan mulai kembali. Toko mereka semakin ramai, lebih dari sebelumnya.  


“Ini rezeki dari Allah karena kita berdagang dengan jujur,” ujar Pak Budi suatu hari sambil tersenyum kepada anak-anaknya.  


Riri dan Lina saling menatap, ikut tersenyum bahagia. Doa mereka akhirnya dikabulkan.


Kejujuran adalah kunci utama dalam mencari rezeki. Sebesar apa pun keuntungan yang diperoleh dari kecurangan, ia tidak akan bertahan lama dan justru akan membawa keburukan di kemudian hari. Sebaliknya, meskipun berdagang dengan jujur terasa sulit pada awalnya, kepercayaan dan keberkahan akan datang dengan sendirinya. Jangan pernah ragu untuk berbuat baik dan mengingatkan keluarga dalam kebaikan, karena doa yang tulus dan kesabaran akan selalu membawa perubahan yang lebih baik.

***