Delilah
"Delilah, jangan lupa setelah pulang sekolah mampir dulu ke pasar
ambil duit," ucap Ibu dengan suara yang terdengar lelah. "Iya, Bu,
nanti aku ke sana," jawabku, berusaha menyembunyikan beban yang terasa
semakin berat.
Rutinitas ini, mengantar titipan kue-kue basah buatan Ibu ke pasar, telah
menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupku selama enam bulan terakhir. Setiap
pagi, sebelum berangkat sekolah, aku membantu Ibu menyiapkan kue-kue itu.
Sorenya, setelah bel sekolah berbunyi, aku bergegas ke pasar, mengantarkan
titipan dan mengambil uang hasil penjualan.
Bapakku, seorang nelayan yang gigih, selalu menjadi sumber kekuatan bagi
keluarga kami. Namun, sejak pagar laut itu muncul, segalanya berubah. Laut yang
dulu ramah, kini seolah menolak memberikan rezekinya. Hasil tangkapan Bapak
menurun drastis, dari puluhan kilogram ikan setiap hari, menjadi hanya beberapa
kilogram saja.
"Laut ini seperti menangis, Delilah," kata Bapak suatu malam,
menatap laut yang gelap dari beranda rumah kami. "Dulu, aku merasa laut
adalah sahabatku, tapi sekarang..." Suaranya terhenti, menyiratkan
kepedihan yang mendalam.
Aku mengerti perasaan Bapak. Laut bukan hanya sumber penghidupan, tetapi
juga bagian dari identitasnya, warisan dari generasi ke generasi. Pagar laut
itu telah merampas bukan hanya mata pencaharian, tetapi juga jati diri Bapak
sebagai seorang nelayan.
Sejak penghasilan Bapak menurun, keluargaku harus berhemat. Uang sekolah
adik-adikku, Danyi dan Darla, seringkali tertunda pembayarannya. Ibu terpaksa
memutar otak, mencari cara untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kue-kue
buatannya menjadi andalan, meskipun hasilnya tidak seberapa.
Di sekolah, aku berusaha tetap fokus pada pelajaran. Namun, pikiran tentang
keluarga selalu menghantui. Aku seringkali melamun, membayangkan wajah lelah
Bapak dan Ibu, serta senyum polos adik-adikku. Aku ingin membantu mereka,
meringankan beban yang mereka pikul.
Sadelih
Namaku Sadelih, anak kepala desa. Sejak kecil, aku terbiasa hidup
berkecukupan, bahkan mewah. Ayahku, selain menjadi kepala desa, juga memiliki
beberapa bisnis yang cukup sukses. Aku selalu mendapatkan apa yang kuinginkan,
tanpa perlu bersusah payah.
"Lih, katanya Bapakmu dicari polisi terus ya?" tanya Uleng, bocah
asli Bugis, memecah keheningan kelas. "Iya, dari awal tahun rumahmu rame
terus sama wartawan, katanya bapakmu kabur-kaburan," celetuk yang lainnya,
menambah panas suasana.
"Ngawur! Bapakku rapat terus di kantor kecamatan atau di kabupaten. Ya
wajar sibuk, namanya juga kepala desa kan?" jawabku, Sadelih, tak
bosan-bosan membela Bapak. Pertanyaan-pertanyaan serupa terus menghujani, dari
teman-teman, guru, bahkan kepala sekolah. Semua tentang keterlibatan Bapak dengan
pagar laut sepanjang 60 kilometer yang mencengkeram pesisir desa kami.
Dengan bantuan
beberapa orang kepercayaan ayahku, dibangunlah pagar laut ilegal, mengklaim
bahwa itu adalah proyek pemerintah untuk melindungi ekosistem laut. Tentu saja,
para nelayan tidak percaya. Mereka marah, protes, dan menuntut keadilan. Tapi,
Bapakku tidak peduli. Bapak punya kekuasaan, uang, dan koneksi.
Awalnya, pagar itu hanya 30 kilometer, memicu protes dan ketidaksetujuan.
Namun, proyek itu terus meluas, menggandakan panjangnya. Keluhan dan kerusuhan
dari para nelayan semakin menjadi-jadi, hidup mereka kian sengsara akibat hasil
tangkapan yang merosot tajam. Sementara itu, keluargaku hidup semakin makmur,
Bapak tak henti-hentinya membeli barang mewah.
Jujur, awalnya aku tak peduli. Tindakan curang Bapak, membiarkan
oknum-oknum egois beraksi, tak mengusikku. Tapi, lama-kelamaan, aku melihat
sendiri dampaknya. Teman-teman kelasku, yang mayoritas anak nelayan, menderita.
Aku dan keluargaku makan dari uang yang diragukan kehalalannya.
Delilah, seorang gadis yang menarik perhatianku, adalah salah satu dari
mereka. Anak nelayan, ibunya bekerja sebagai ibu rumah tangga, dan dia memiliki
dua adik yang terpaut jauh usianya. Di tengah kesulitan ekonomi, dia justru
semakin rajin belajar, merebut peringkat pertama kelas yang sebelumnya selalu
menjadi milikku.
"Delilah, kamu belajar di bimbingan belajar di mana?" tanyaku,
mencoba mencairkan suasana. "Tidak, aku belajar sendiri," jawabnya
singkat, tanpa menatapku. "Memangnya kau mau kuliah? Memangnya sanggup kau
bayar uang kuliahmu?" tanyaku tanpa pikir panjang.
Tiba-tiba, Delilah bangkit, suaranya lantang, membuatku terkejut.
"Omonganmu dijaga! Sudah cukup kalian menyusahkan hidup orang pinggiran
seperti kami! Tak usah kau urusi mimpi-mimpi kami juga! Mana pernah kau bekerja
keras untuk mendapatkan sesuatu, Sadelih? Semuanya bisa kau dapatkan berkat
uang dari oknum-oknum pagar laut itu, yang membuat kami, keluarga nelayan,
sengsara. Kau lihat saja, aku akan kuliah dengan sungguh-sungguh dan menuntaskan
masalah pagar laut ini. Akan kucari keadilan untuk orang-orang seperti
kami!"
Dia pergi, meninggalkan kelas yang terkejut, namun setuju dengan ucapannya.
Kata-katanya menamparku, membuatku kesal, bingung, dan malu. Aku, anak kepala
desa, yang selalu dihormati, kini merasa kecil dan hina.
Malam itu, aku tidak bisa tidur. Kata-kata Delilah terus terngiang di
telingaku. Aku mulai merenungkan perbuatanku dan Bapak. Apakah benar kami telah
merampas hak orang lain demi keuntungan pribadi? Apakah kami pantas hidup mewah
di atas penderitaan orang lain?
Aku teringat mimpi
burukku, lautan sampah, mayat-mayat ikan, dan tatapan penuh kebencian dari para
nelayan. Aku merasa mual, seolah-olah mimpi itu adalah cerminan dari kenyataan
yang kuhadapi.
Delilah
Di senja yang berawan, langkahku membawaku ke gubuk reyot Pak Hasan, sang
tetua nelayan yang disegani di kampung kami. Matanya yang keriput, namun
menyimpan lautan kebijaksanaan, menatapku dengan hangat. "Delilah, jangan
biarkan ombak kesulitan ini menenggelamkan semangatmu," ucapnya, suaranya
parau namun penuh kekuatan. "Ingatlah, laut ini punya nyawa, dia takkan
selamanya meratap." Kata-kata itu bagai jangkar yang menahan perahuku dari
badai keputusasaan.
Api semangat kembali berkobar dalam diriku. Aku mulai mengumpulkan serpihan
informasi tentang pagar laut itu, mencari benang merah yang menghubungkan para
dalang di baliknya. Bersama para nelayan dan aktivis lingkungan, kami membentuk
lingkaran diskusi, merajut mimpi tentang laut yang kembali bernapas. Malam demi
malam, aku menimba ilmu tentang hak-hak kami, tentang rapuhnya ekosistem laut,
dan tentang kekuatan yang tersembunyi dalam persatuan.
Di tengah riuhnya perjuangan, impianku tentang bangku kuliah tak pernah
pudar. Pendidikan adalah kompas yang akan menuntunku kembali ke kampung
halaman, membawa perubahan bagi masyarakat nelayan. Tanpa diduga, di tengah
jalan berliku itu, muncul Sadelih, si anak kepala desa yang dulu kubenci. Ia
menawarkan diri, bukan hanya sebagai saksi, tetapi juga sebagai penyedia bukti
tambahan yang tak ternilai.
Bersama Sadelih, kami merajut strategi, membongkar kebusukan yang
tersembunyi di balik proyek pagar laut. Ayahnya, sang kepala desa, dan para
komplotannya, kalang kabut saat aparat penegak hukum mulai mengendus jejak mereka.
Pagar laut ilegal itu akhirnya tumbang, memberi jalan bagi laut untuk kembali
bernapas lega. Kemenangan ini kami rayakan bersama, kemenangan atas keserakahan
dan ketidakadilan. Aku dan Sadelih, dua insan yang dulunya berseberangan, kini
melangkah bersama, menatap masa depan dengan tekad untuk membangun kampung
halaman yang lebih baik.