Saturday, March 15, 2025

Cerpen Lomba | Najwa Syahida karimah | Garam Di Pembuluh Darah

                                  

Delilah

"Delilah, jangan lupa setelah pulang sekolah mampir dulu ke pasar ambil duit," ucap Ibu dengan suara yang terdengar lelah. "Iya, Bu, nanti aku ke sana," jawabku, berusaha menyembunyikan beban yang terasa semakin berat.

Rutinitas ini, mengantar titipan kue-kue basah buatan Ibu ke pasar, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupku selama enam bulan terakhir. Setiap pagi, sebelum berangkat sekolah, aku membantu Ibu menyiapkan kue-kue itu. Sorenya, setelah bel sekolah berbunyi, aku bergegas ke pasar, mengantarkan titipan dan mengambil uang hasil penjualan.

Bapakku, seorang nelayan yang gigih, selalu menjadi sumber kekuatan bagi keluarga kami. Namun, sejak pagar laut itu muncul, segalanya berubah. Laut yang dulu ramah, kini seolah menolak memberikan rezekinya. Hasil tangkapan Bapak menurun drastis, dari puluhan kilogram ikan setiap hari, menjadi hanya beberapa kilogram saja.

"Laut ini seperti menangis, Delilah," kata Bapak suatu malam, menatap laut yang gelap dari beranda rumah kami. "Dulu, aku merasa laut adalah sahabatku, tapi sekarang..." Suaranya terhenti, menyiratkan kepedihan yang mendalam.

Aku mengerti perasaan Bapak. Laut bukan hanya sumber penghidupan, tetapi juga bagian dari identitasnya, warisan dari generasi ke generasi. Pagar laut itu telah merampas bukan hanya mata pencaharian, tetapi juga jati diri Bapak sebagai seorang nelayan.

Sejak penghasilan Bapak menurun, keluargaku harus berhemat. Uang sekolah adik-adikku, Danyi dan Darla, seringkali tertunda pembayarannya. Ibu terpaksa memutar otak, mencari cara untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kue-kue buatannya menjadi andalan, meskipun hasilnya tidak seberapa.

Di sekolah, aku berusaha tetap fokus pada pelajaran. Namun, pikiran tentang keluarga selalu menghantui. Aku seringkali melamun, membayangkan wajah lelah Bapak dan Ibu, serta senyum polos adik-adikku. Aku ingin membantu mereka, meringankan beban yang mereka pikul.

 

Sadelih

Namaku Sadelih, anak kepala desa. Sejak kecil, aku terbiasa hidup berkecukupan, bahkan mewah. Ayahku, selain menjadi kepala desa, juga memiliki beberapa bisnis yang cukup sukses. Aku selalu mendapatkan apa yang kuinginkan, tanpa perlu bersusah payah.

"Lih, katanya Bapakmu dicari polisi terus ya?" tanya Uleng, bocah asli Bugis, memecah keheningan kelas. "Iya, dari awal tahun rumahmu rame terus sama wartawan, katanya bapakmu kabur-kaburan," celetuk yang lainnya, menambah panas suasana.

"Ngawur! Bapakku rapat terus di kantor kecamatan atau di kabupaten. Ya wajar sibuk, namanya juga kepala desa kan?" jawabku, Sadelih, tak bosan-bosan membela Bapak. Pertanyaan-pertanyaan serupa terus menghujani, dari teman-teman, guru, bahkan kepala sekolah. Semua tentang keterlibatan Bapak dengan pagar laut sepanjang 60 kilometer yang mencengkeram pesisir desa kami.

Dengan bantuan beberapa orang kepercayaan ayahku, dibangunlah pagar laut ilegal, mengklaim bahwa itu adalah proyek pemerintah untuk melindungi ekosistem laut. Tentu saja, para nelayan tidak percaya. Mereka marah, protes, dan menuntut keadilan. Tapi, Bapakku tidak peduli. Bapak punya kekuasaan, uang, dan koneksi.

Awalnya, pagar itu hanya 30 kilometer, memicu protes dan ketidaksetujuan. Namun, proyek itu terus meluas, menggandakan panjangnya. Keluhan dan kerusuhan dari para nelayan semakin menjadi-jadi, hidup mereka kian sengsara akibat hasil tangkapan yang merosot tajam. Sementara itu, keluargaku hidup semakin makmur, Bapak tak henti-hentinya membeli barang mewah.

Jujur, awalnya aku tak peduli. Tindakan curang Bapak, membiarkan oknum-oknum egois beraksi, tak mengusikku. Tapi, lama-kelamaan, aku melihat sendiri dampaknya. Teman-teman kelasku, yang mayoritas anak nelayan, menderita. Aku dan keluargaku makan dari uang yang diragukan kehalalannya.

Delilah, seorang gadis yang menarik perhatianku, adalah salah satu dari mereka. Anak nelayan, ibunya bekerja sebagai ibu rumah tangga, dan dia memiliki dua adik yang terpaut jauh usianya. Di tengah kesulitan ekonomi, dia justru semakin rajin belajar, merebut peringkat pertama kelas yang sebelumnya selalu menjadi milikku.

"Delilah, kamu belajar di bimbingan belajar di mana?" tanyaku, mencoba mencairkan suasana. "Tidak, aku belajar sendiri," jawabnya singkat, tanpa menatapku. "Memangnya kau mau kuliah? Memangnya sanggup kau bayar uang kuliahmu?" tanyaku tanpa pikir panjang.

Tiba-tiba, Delilah bangkit, suaranya lantang, membuatku terkejut. "Omonganmu dijaga! Sudah cukup kalian menyusahkan hidup orang pinggiran seperti kami! Tak usah kau urusi mimpi-mimpi kami juga! Mana pernah kau bekerja keras untuk mendapatkan sesuatu, Sadelih? Semuanya bisa kau dapatkan berkat uang dari oknum-oknum pagar laut itu, yang membuat kami, keluarga nelayan, sengsara. Kau lihat saja, aku akan kuliah dengan sungguh-sungguh dan menuntaskan masalah pagar laut ini. Akan kucari keadilan untuk orang-orang seperti kami!"

Dia pergi, meninggalkan kelas yang terkejut, namun setuju dengan ucapannya. Kata-katanya menamparku, membuatku kesal, bingung, dan malu. Aku, anak kepala desa, yang selalu dihormati, kini merasa kecil dan hina.

Malam itu, aku tidak bisa tidur. Kata-kata Delilah terus terngiang di telingaku. Aku mulai merenungkan perbuatanku dan Bapak. Apakah benar kami telah merampas hak orang lain demi keuntungan pribadi? Apakah kami pantas hidup mewah di atas penderitaan orang lain?

Aku teringat mimpi burukku, lautan sampah, mayat-mayat ikan, dan tatapan penuh kebencian dari para nelayan. Aku merasa mual, seolah-olah mimpi itu adalah cerminan dari kenyataan yang kuhadapi.

 

Delilah

Di senja yang berawan, langkahku membawaku ke gubuk reyot Pak Hasan, sang tetua nelayan yang disegani di kampung kami. Matanya yang keriput, namun menyimpan lautan kebijaksanaan, menatapku dengan hangat. "Delilah, jangan biarkan ombak kesulitan ini menenggelamkan semangatmu," ucapnya, suaranya parau namun penuh kekuatan. "Ingatlah, laut ini punya nyawa, dia takkan selamanya meratap." Kata-kata itu bagai jangkar yang menahan perahuku dari badai keputusasaan.

Api semangat kembali berkobar dalam diriku. Aku mulai mengumpulkan serpihan informasi tentang pagar laut itu, mencari benang merah yang menghubungkan para dalang di baliknya. Bersama para nelayan dan aktivis lingkungan, kami membentuk lingkaran diskusi, merajut mimpi tentang laut yang kembali bernapas. Malam demi malam, aku menimba ilmu tentang hak-hak kami, tentang rapuhnya ekosistem laut, dan tentang kekuatan yang tersembunyi dalam persatuan.

Di tengah riuhnya perjuangan, impianku tentang bangku kuliah tak pernah pudar. Pendidikan adalah kompas yang akan menuntunku kembali ke kampung halaman, membawa perubahan bagi masyarakat nelayan. Tanpa diduga, di tengah jalan berliku itu, muncul Sadelih, si anak kepala desa yang dulu kubenci. Ia menawarkan diri, bukan hanya sebagai saksi, tetapi juga sebagai penyedia bukti tambahan yang tak ternilai.

Bersama Sadelih, kami merajut strategi, membongkar kebusukan yang tersembunyi di balik proyek pagar laut. Ayahnya, sang kepala desa, dan para komplotannya, kalang kabut saat aparat penegak hukum mulai mengendus jejak mereka. Pagar laut ilegal itu akhirnya tumbang, memberi jalan bagi laut untuk kembali bernapas lega. Kemenangan ini kami rayakan bersama, kemenangan atas keserakahan dan ketidakadilan. Aku dan Sadelih, dua insan yang dulunya berseberangan, kini melangkah bersama, menatap masa depan dengan tekad untuk membangun kampung halaman yang lebih baik.