Thursday, March 13, 2025

Cerpen Lomba | Nakhlah Abiyyu Fakhri Subagiyo | Pemberontak

Cerpen Nakhlah Abiyyu Fakhri Subagiyo 



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)  


Disuatu desa yang tenteram, desa yang dekat Dengan pantai, ada seorang anak yang bernama kemay. Kemay merupakan anak dari seorang nelayan yang tinggal di pesisir pantai. Kemay adalah anak Yang sangat berbakti, Ia selalu membantu sang Ayah mencari ikan untuk dijual ke pasar. Sang ayah pun juga merupakan sosok ayah yang sangat baik, Ia selalu berusaha membahagiakan kemay dan Ibu nya. 


Pada siang hari kemay merasa bosan, karena sang ayah dan ibu nya pergi mencari ikan tanpa nya, “ Ayah dan Ibu mencari ikan dulu ya may” kata mereka. Dengan muka sedih kemay menjawab, “Aku ga diajak yah, bu” . Ayah dan Ibu kemay hanya tersenyum. Bukan karena alasan tertentu ayah dan ibu kemay meninggalkan kemay sendiri dirumah. Justru mereka khawatir sesuatu yang buruk terjadi pada kemay. Kemay pun merasa bosan dirumah sendirian, Ia hanya mondar mandir tidak tau arah tujuan.Setelah beberapa saat kemay pun berniat untuk bermain bersama teman dari desa sebelah yang bernama chima. Chima juga merupakan anak dari seorang nelayan.


“ah, bosen banget niii, oh iya da si chima, kayak nya tu bocah nganggur dirumah, samperin ahh”. Setelah sampai rumah chima kemay pun menggil nya dengan sangat keras, “CHIMAAAA, CHIMAA, INI KEEMAAAYYYY”. Chima pun keluar rumah sambil menutup kuping nya, “KEEMAAAYYY berisik bener, Gw lagi nyantai ini, malah lu ganggu, ada apa gerangan si kawan manggil manggil, tumben tumbenan, biasanya lu bantu bapak lu nyari ikan”. “Gw ditinggal Chim Ama ibu bapak gw, kata nya biar mereka aja yang nyari ikan”, kata kemay sambil menunduk. “Aih aih aihhhh bilang geh may, kalau gitu gw ajak lu jalan jalan keliling pantai deh, sekalian kita nikmati keindahan pantai desa gw”, Chima merujuk kemay agar tidak sedih lagi. “Widiiih boleh juga ide lu ayo lah kita coba keling pantai desa lu, bosen juga gw ngeliat pantai di desa gw gitu gitu aja, siapa tau pantai desa lu ada putri duyung”. Mereka pun tertawa sambil berjalan menikmati keindahan pantai.


Mereka berdua mengelilingi pantai dari ujung ke ujung sambil tertawa, “May, May ada ada aja tingkah lu, Lu kira disini ada putri duyung, kalo ada juga gak mau ngeliat lu May, AHAHAHAHA”. Di saat mereka sedang bercanda, seketika mereka berdua pun berhenti terdiam melihat ke arah pantai. 


“ Chim, Chim bentar dah, itu apaan Chim kayu kayu bertebaran di tengah laut”. Kemay kebingungan. “ wahh kaga tau gw May, baru liat juga ini gw, tar gw tanya bapak gw dulu lah”, Chima pun ikut penasaran.” Ah, udah ah gausah dipikirin, ayo kita lanjut keliling pantai” seru kemaay, tak ingin melanjutkan rasa penasaran nya. Kemay dan chima pun melanjutkan kegiatan nya mengelilingi pantai. maghrib pun tiba kemay dan chima lekas kembali ke rumah masing masing, untuk melaksanakan shalat serta menjamu ayah dan ibu nya yang baru balik sehabis mencari ikan. “gw balik ya chim, mau ketemu bapak sam ibu gw”. “gw juga deh, dadah may”.


Mereka berdua pun kembali kerumah masing masing. Sesampai nya dirumah kemay melihat ayah dan ibu nya yang balik dengan muka yang murung, “ASSALAMUALAIKUMM yah, bu”, “ waalaikumsalam may”, jawab kedua orang tua kemay sambil menunjukan raut muke sedih mereka. “Ayah sama Ibu kenapa kok muka nya sedih”, kemay melihat ikan yanga dibawa mereka berdua sangat sedikit, “Ouuu pasti karena bawa pulang ikan sedikit yaaa, aku bilang juga apa makanya ajak aku, kalau aku dijak pasti ikan yang didapatkan juga banyak”, ucap kemay tidak tahu kondisi asli nya. “Gak gitu mayy, ini ada yang janggal ini kok hari ini ikan sedikit banget yaa” ayah kemay kebinggungan”. Kemay oun teringan dengan kayu kayu yang tersusun di pantai desa chima. “yah tadi kan aku main sama chima aku melihat ada banayak sekali kayu kayu yang tersusun di pantai. “HAHH, Dimana itu!” sang Ayah terkejut mendengar nya. “Di desa chima yah, kenapa emang kok sampe kayak gitu reaksi nya ayah”, kemay kebinggungan tak tahu apa yang menyebab kan ayah nya terkejut. “Kayaknya itu pagar laut may, kalo itu beneran pagar laut, wahh harus ayah kasih tau nelayan yang lain nii”, ayah kemay mera kesal dibuatnya.” Pagar laut apaan yah, terus ngaruh buruk nya ke kita dan nelayan lain apa”. “Pagar laut itu  struktur fisik berupa pagar yang dibangun di wilayah laut atau pesisir oleh individu atau kelompok tertentu. Dan itu berpengaruh sekali untuk kita para nelayan, karena mengganggu habitat asli mereka di lautan” . Kemay baru mengetahui nya dan ingin memberi tahu kepada chima,”wahhh kalau gitu besok aku kerumah chima pengen ngasih tau dia. “yaudah nanti bareng may ayah juga pengen liat pagar laut nya, sekalian ajak ayah nya chima. 


Esok hari nya kemay,chima dan kedua ayah mereka ke lokasi kemay dan chima melihat pagar laut. “waduhhhh bener ini pagar laut, yakan pak” , “wahhh iya nihh, kita laporin lah ke pihak yang bertanggung jawab” ayah kemay dan ayah chima berniat melaporkan pagar laut tersebut ke pihak berwajib. Mereka berempat pun pergi ke tempat (APH) Aparat Penegak Hukum. Mereka berempat melaporkan pagar laut yang mereka lihat dipantai. “Wahh saya gak ikut ikutan ini pak mohon maaf, saya gak berani bertindak pak” ucap petuga APH. “MAKSUDNYA APAAN NII, NGEBAYAR BERAPA TU PERUSAHAAN KE LU, SAMPE BERANINYA LU NGEDALIMIN PARA NELAYAN”. Setelah pertemuan di kantor Aparat Penegak Hukum (APH) yang penuh kekecewaan, Kemay, Chima, dan kedua orang tua mereka kembali pulang dengan perasaan marah dan bingung. Ayah Kemay  terlihat lebih murung. Di sepanjang jalan pulang, dia jarang sekali bicara, hanya sesekali menatap ke depan dengan tatapan yang tajam.


Sesampainya di rumah, suasana terasa sepi dan hening. Kemay langsung masuk ke dalam rumah dan melihat kedua orang tuanya duduk bersama di meja makan. Wajah mereka jelas menunjukkan kelelahan dan kecemasan. Kemay merasa ada sesuatu yang sedang mengganggu pikiran mereka.


"May, kamu sudah tahu kan tentang apa yang terjadi?" tanya ayahnya, memecah kesunyian. "Pagar laut itu bukan sekadar kayu-kayu yang tergeletak begitu saja. Itu usaha untuk menguasai wilayah laut kita. Kalau dibiarkan, ini bisa menghancurkan hidup kita sebagai nelayan dan merusak ekosistem laut."


Kemay yang mendengarnya hanya bisa terdiam. Dia tidak menyangka kalau apa yang awalnya terlihat biasa itu ternyata merupakan ancaman besar bagi kehidupan mereka. Ayahnya melanjutkan, "Itu adalah tanda dari perusahaan besar yang ingin menguasai laut untuk kepentingan mereka sendiri. Mereka tidak peduli dengan kami, para nelayan kecil. Laut itu cuma dianggap sebagai sumber uang bagi mereka."


"Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang, Yah?" tanya Kemay, bingung.


Ayahnya menarik napas panjang. "Kita harus melawan, May. Kita nggak bisa cuma diam dan berharap orang lain yang akan menolong kita. Kita yang harus bertindak. Kita harus menghancurkan pagar laut itu."


Kemay terkejut mendengar kata-kata ayahnya. "Tapi, Yah, apakah itu aman? Bagaimana kalau kita malah ditangkap atau dihukum karena merusak barang orang?"


Ayahnya menatapnya dengan penuh keyakinan. "Kadang-kadang, kita harus berani bertindak, meskipun resikonya besar. Kita bukan orang jahat, kita cuma ingin mempertahankan hidup kita. Kalau kita nggak melawan, siapa lagi yang akan melakukannya?"


Kemay merasa ragu, tapi melihat tekad di wajah ayahnya, akhirnya ia mengangguk pelan. "Baiklah, kalau itu yang terbaik, aku ikut."


Pagi keesokan harinya, setelah berbicara dengan Chima dan ayah mereka, mereka berempat berangkat lagi menuju lokasi pagar laut. Mereka sudah memutuskan untuk bertindak. Sesampainya disana, mereka melihat pagar laut yang semakin besar dan kokoh. Pagar itu nggak cuma terbuat dari kayu, tapi juga ada kawat berduri yang menghalangi jalan. Mereka semua merasa marah melihatnya.


"Ini jelas bukan pagar biasa. Ini tanda mereka ingin menguasai laut!" kata ayah Kemay dengan suara penuh amarah.


"Ayo, kita hancurkan!" seru ayah Chima yang sudah tidak sabar.


Dengan parang dan kapak seadanya, mereka mulai bekerja menghancurkan pagar itu. Pekerjaan mereka tidak mudah. Pagar yang dibangun dengan rapi itu susah untuk dihancurkan, tapi mereka nggak kenal lelah. Mereka terus bekerja dengan penuh semangat, sambil terus berdoa agar apa yang mereka lakukan ini bisa membawa perubahan.


Namun, ketika tengah malam tiba, terdengar suara kendaraan besar dari kejauhan. "Kita harus cepat! Mereka pasti datang untuk menghentikan kita!" seru Chima yang mulai panik. Mereka pun mempercepat pekerjaan mereka.


Tak lama kemudian, sebuah truk besar datang. Dari dalam truk itu, muncul beberapa orang yang mengenakan pakaian serba hitam dan membawa senjata. Mereka adalah petugas keamanan yang disewa oleh perusahaan yang membangun pagar laut tersebut.


"Apa yang kalian lakukan di sini?" salah satu petugas bertanya dengan nada mengancam. "Kalian tidak berhak menghancurkan properti kami."


Ayah Kemay, yang sudah siap dengan segala kemungkinan, berdiri tegak di depan mereka. "Kami berhak melindungi hidup kami sendiri. Kami nelayan, dan laut ini adalah sumber hidup kami. Kami tidak akan diam saja kalau ada yang mencoba menguasainya."


Petugas itu menatap mereka dengan tajam. "Kalian pikir bisa melawan perusahaan besar seperti kami? Kalian hanya nelayan kecil yang tidak berarti apa-apa."


Namun, ayah Kemay tidak gentar. "Kami mungkin nelayan kecil, tapi kami punya hak untuk hidup dengan damai. Dan kami nggak akan biarkan siapa pun merusak kehidupan kami. Kalau kalian nggak mau mendengarkan, kami akan terus berjuang!"


Pertengkaran semakin memanas, dan tanpa diduga, nelayan-nelayan lain dari desa-desa tetangga datang membantu. Mereka melihat apa yang sedang terjadi dan langsung bergegas bergabung. Mereka membawa senjata tradisional, seperti tombak dan golok, serta semangat yang membara.


Akhirnya, pertempuran kecil pun terjadi. Meskipun jumlah mereka lebih sedikit, para nelayan tak menyerah. Mereka melawan dengan segala yang mereka punya untuk melindungi laut yang mereka cintai. Beberapa petugas keamanan mundur, sementara yang lainnya berusaha bertahan. Dalam kekacauan itu, pagar laut yang mereka pertahankan akhirnya hancur.


Setelah beberapa jam pertempuran, suasana mulai tenang. Petugas keamanan mundur, sementara para nelayan merayakan kemenangan kecil mereka. Mereka berhasil menghancurkan pagar laut itu dan memberi pesan kuat kepada perusahaan yang berusaha menguasai wilayah mereka.


Kemay, yang sebelumnya hanya melihat ayahnya sebagai sosok yang tenang dan penuh kasih, kini merasa bangga. Ia menyadari betapa besar perjuangan yang harus dilakukan untuk mempertahankan hak hidup mereka. Meskipun masalah belum sepenuhnya selesai, mereka telah menunjukkan bahwa mereka tidak akan menyerah begitu saja.


Pagi hari setelah kejadian itu, ayah Kemay dan ayah Chima berkumpul dengan para nelayan lainnya. Mereka berbicara tentang langkah selanjutnya untuk melawan ancaman perusahaan besar yang ingin menguasai laut mereka. "Kita harus lebih siap menghadapi ini," kata ayah Kemay dengan suara tegas. "Kita harus bersatu, agar tak ada lagi yang berani merusak kehidupan kita."


Kemay dan Chima yang mendengarkan merasa semangat baru membara dalam diri mereka. Mereka tahu perjuangan mereka belum selesai. Mereka harus terus melawan, demi masa depan desa mereka dan generasi yang akan datang.


"Kalau kita nggak bertindak, siapa lagi yang akan melakukannya?" kata Kemay, menegaskan tekadnya. "Kita ini pemberontak, pemberontak untuk kebenaran dan keadilan."


Dan dengan semangat itu, mereka melangkah maju, siap menghadapi segala tantangan yang datang di masa depan.