Saturday, March 15, 2025

Cerpen Lomba - Nalsavaa - Demi Laut yang Bapak Cinta

 



Sejak kecil, Mansur sudah terbiasa bangun dini hari. Ia memiliki aktivitas favorit pada waktu tersebut yakni menyambut bapak pulang. Mansur akan menunggu sambil mengerjakan tugas dari sekolah sampai ia mendengar suara-suara penanda kepulangan kelompok nelayan dari laut. Kemudian ia akan keluar dan menjumpai bapak yang berwajah lelah. Mencium tangan bapak sekaligus berpamitan sebelum berangkat sekolah dan membiarkan bapak beristirahat sedangkan ia lanjut membantu ibu dengan kegiatan rumah tangga.

Dulu Mansur bertanya-tanya kenapa kebanyakan orang tua dari teman-temannya bekerja di pagi hari. Meskipun begitu, ia juga menemukan beberapa teman yang ditinggal kerja di malam hari sepertinya. Kata bapak karena profesi setiap orang berbeda dan profesi bapak termasuk minoritas pekerja malam di kampung mereka. Maka Mansur semakin bertanya-tanya seberapa banyak seharusnya profesi yang bekerja di malam hari dan pergi ke laut. Apakah laut menjadi ramai seperti daratan di siang hari?

“Warga kampung kita memang mayoritas bekerja di siang hari seperti bapak Wahyu yang seorang petani garam dan bapak Susi yang pengrajin terkenal. Tapi di kampung sebelah banyak yang berprofesi seperti bapak, pergi melaut di malam hari. Meski begitu laut tetap tidak ramai, laut itu luas dan kami berpencar,” jelas bapak.

Mansur menganggukkan kepala ketika bapak menyebut dirinya adalah anak yang spesial karena profesi bapak yang jarang di kampung mereka. Mansur memang tidak tahu seberapa banyak penduduk di kampung-kampung sebelah yang pergi melaut, tapi ia berpendapat bahwa laut pasti lebih luas karena mereka tidak sampai dipenuhi oleh manusia.

Ketika Mansur disibukkan dengan berbagai ujian tahun akhir Sekolah Dasar, ia sempat absen beberapa bulan tidak menunggu bapak pulang dari laut. Ia bangun ketika matahari sudah cukup terik, hanya punya waktu untuk mandi cepat dan sarapan tanpa bisa berpamitan pada bapak. Sering kali pula ia tidak bertemu bapak saat pulang sekolah karena bapak sudah berangkat ke laut. Ia pun hanya bisa bertemu bapak setidaknya satu kali seminggu ketika bapak sedang libur. Sampai suatu hari terjadi badai yang membuatnya khawatir dengan keadaan bapak di laut. Saat ia melihat bapak berjalan menuju rumah, Mansur baru bisa menghela napas lega dan segera menghambur ke pelukan bapak. Sayangnya wajah bapak tidak menyiratkan perasaan cita setelah sampai di rumah.

“Kami kehilangan bapak Isa. Kami benar-benar sudah berusaha supaya tidak ada yang terjatuh ke laut,” ucap bapak lemas dengan mata berkaca-kaca.

Hari itu, Mansur mengira ia akan merasa tenang ketika melihat bapak pulang dengan selamat. Akan tetapi Mansur tidak bisa sepenuhnya merasa lega sebab kampung dilingkupi rasa duka akan kehilangan bapak Isa. Bahkan Mansur tidak tega melihat Isa terus menangis memanggil nama bapaknya. Sejak saat itu Mansur bertekad untuk selalu menyambut bapak pulang dari laut.

***

“Bapak kenapa tidak berangkat ke laut hari ini?” tanya Mansur saat melihat bapak ikut ada di meja makan. Seingat Mansur hari ini belum hari libur para nelayan.

“Tidak apa. Bapak sedang ambil jadwal cuti untuk menghabiskan waktu bersama kalian. Bagaimana kabarmu, Mansur? Sekolahmu aman?” jawab bapak yang dilanjutkan dengan bertanya.

Malam itu Mansur menghabiskan waktu bersama bapak. Saling bercerita mengenai kehidupan masing-masing, Mansur dengan kegiatan di sekolah dan bapak dengan profesinya di laut. Mansur bisa melihat dari kedua mata bapak bagaimana ia berbinar-binar menceritakan perjalanannya setiap hari. Dari bapaklah Mansur bisa mengetahui bagaimana lautan di waktu malam, betapa senangnya ketika mereka menangkap ikan yang banyak, dan bagaimana mereka harus menelan rasa lelah ketika cuaca buruk maupun ikan yang ditangkap tidak seberapa. Mansur kagum atas kerja keras bapak.

Waktu yang dulunya jarang Mansur habiskan bersama bapak karena waktu aktivitas mereka yang berbeda menjadi terbayarkan. Namun Mansur menyadari bahwa bapak semakin sering berada di rumah. Ketika Mansur pulang dari sekolah, bapak asyik minum kopi bersama bapak-bapak kampung lain di saung pos ronda, atau duduk di teras rumah membaca koran, kadang sibuk merakit atau memperbaiki peralatan rumah. Berangsur-angsur intensitas Mansur melihat bapak lebih banyak dengan alasan yang sama bahwa bapak sedang mengambil cuti.

Suatu pagi ketika Mansur membantu ibu memasak di dapur, ia menanyakan perihal bapak. “Sebenarnya kenapa bapak sudah jarang ke laut?”

“Bukannya bapak bilang cuti ke Mansur?” ibu justru bertanya kepada Mansur alih-alih menjawab.

“Iya. Tapi memang boleh ya sering cuti begitu?” tanya Mansur lagi.

“Boleh, memang siapa yang mau melarang?” jawab ibu. Dan Mansur memilih untuk tidak bertanya-tanya lagi.

***

Mansur ingat dulu ia pernah diajak bapak ke laut. Ketika bapak libur, bapak mengajaknya menuju tempat pemberhentian kelompok nelayan kampungnya untuk menangkap ikan. Tidak banyak yang tersisa dari ingatan Mansur tentang hal itu sebab kejadiannya sudah lama sekali. Dan mendadak hari itu Mansur ingin ikut bapak untuk melihat laut sekaligus berniat menemaninya bekerja.

“Bapak bisa membawamu jalan-jalan dengan perahu tapi tidak dengan ikut bapak bekerja,” jawab bapak.

“Kenapa? Bapak bilang akan mengajakku bekerja ketika aku sudah cukup besar. Bukankah sekarang adalah waktu yang tepat karena aku sudah hampir lulus sekolah.”

“Karena itu kau harus makin fokus belajar.” Bagi Mansur, bapak sedang menolaknya secara halus meski Mansur tidak mengerti kenapa bapak tidak ingin Mansur ikut. Ia bertanya-tanya apakah bapak sudah mulai tidak sanggup pergi ke laut karena usianya yang tidak lagi semuda dulu.

Butuh lebih dari satu kali untuk Mansur bisa mendapatkan jawaban selain penolakan dari bapak. Barulah beberapa hari kemudian bapak menceritakannya.

“Ada satu kepercayaan yang entah dari mana dipercayai oleh banyak orang di kampung-kampung daerah ini. Ketika pagar laut dibangun, maka pemerintah sedang melindungi warga dari kekejaman laut.”

“Tapi bukannya laut adalah tempat bapak bekerja? Atau ini karena kejadian bapak Isa yang menghilang?” tanya Mansur.

Bapak menggeleng. “Dari pantai mungkin laut nampak indah, tenang. Namun tentu kau mengingat bagaimana dahsyatnya saat badai di mana bapak Isa menghilang. Itu tidak lain adalah salah satu faktor dari rintangan para nelayan. Tentu akan ada saat di mana kami pulang membawa berkilo-kilo ikan dan tangkapan laut, pun saat di mana kami membawa hasil tangkapan apa adanya. Sama halnya ada saat pula di mana kami membawa kurang dari jumlah anggota ketika berangkat.”

“Konon, pagar laut akan muncul di saat laut benar-benar dalam keadaan genting. Seiring berjalannya waktu, ia akan hilang dan kami para nelayan bisa melaut lagi. Kepercayaan itu kuat sekali dipegang oleh kampung kita, itulah mengapa tidak banyak warga kampung ini yang berprofesi sebagai nelayan karena merasa pekerjaan ini tidak memberi jaminan kehidupan.”

“Lalu kenapa bapak tetap memilih jadi nelayan?” tanya Mansur.

Meskipun bapak mengangkat bahu, bapak tetap memberi jawaban, “Bagaimanapun bapak senang berada di laut.”

“Beberapa waktu yang lalu, bapak diajak oleh beberapa warga kampung sebelah untuk ikut menangkap ikan. Dikarenakan teman-teman sekelompok bapak di kampung ini tidak ada yang mau pergi, bapak pun setuju ikut bersama mereka. Dengan mata kepala bapak sendiri, pagar laut itu terlihat dan bapak bertanya-tanya seberapa menyeramkannya berada di luar pagar laut tersebut. Namun di saat itu pula pertanyaan bapak terjawab bahwa pagar laut itu bukan ditujukan untuk melindungi, akan tetapi justru membatasi kami.”

“Kepercayaan yang warga kampung ini pegang tidaklah benar. Pagar laut itu dibangun oleh orang-orang yang tidak tahu berterima kasih. Entah apa niat nyata mereka, namun mereka membatasi pekerjaan nelayan, mereka mengganggu arus laut dan membuat keruh perairan. Padahal bagaimana mereka akan mendapat ikan dan makanan laut jika kami para nelayan tidak bekerja?”

“Apakah bapak bertemu dengan orang-orang tersebut?” sela Mansur.

Bapak menggeleng. “Tidak ada siapa-siapa di sana. Tetapi, tidak bisa dipungkiri bapak kecewa akan pembangunan pagar tersebut. Apalagi dengan kepercayaan warga kampung kita yang entah dari mana cikal bakalnya. Rasanya bapak ditipu habis-habisan. Mungkin begitulah cara laut memberitahu bapak sehingga bapak masih terus berkeinginan pergi ke laut sampai menemukan jawaban.”

“Tidakkah bapak berusaha untuk mencari cara agar pagar itu hilang?” Mansur kembali bertanya.

Mansur bisa mendengar suara hela napas bapak. “Siapa pula kita ini berani bersuara. Lagi pula memangnya warga lain akan percaya dengan pernyataan asing yang akan kita lontarkan? Bapak sudah berusaha memberitahu pak Idris soal ini dan sepertinya ia menganggap bapak kerasukan karena nekat ikut warga sebelah melaut. Mungkin jika bapak bersuara, orang-orang akan semakin percaya bahwa bapak gila.”

Mansur menggeleng. Mansur selalu percaya kepada bapak. “Biar aku yang bilang supaya bapak tidak kena tuduh.”

Namun bapak justru menggeleng. “Fokus saja kau belajar. Kejar impianmu. Jangan seperti bapak, kau harus berpendidikan. Bantulah bapak dengan menjadi orang luar biasa di masa depan. Jangan sampai kau jadi luar binasa setelah susah-susah bapak sekolahkan.”

Mansur mengangguk. Demi laut yang bapak cinta, Mansur akan menjadi berotak untuk mendestruksi kepercayaan konyol yang menyebar.