Cerpen Nanda Winar Sagita
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Arus bawah laut, membawa belulang dalam bisikan
— T.S Eliot, The Wasteland
Dia adalah seorang lelaki tua yang mencintai aroma laut melebihi rasa cinta kepada nasibnya sendiri. Dia tidak pernah menikah, dan itu membuatnya punya banyak waktu luang untuk menumpahkan seluruh perasaannya pada samudra. Pernah suatu masa, ketika usianya masih muda, dia mendengar kisah yang dituturkan dengan bijak oleh kakeknya tentang kapal Portugis yang tenggelam di lepas pantai Sumatra. Kapal itu dinahkodai oleh penjelajah masyhur bernama Afonso de Albuquerque. Setelah menaklukkan Kesultanan Malaka, Afonso memutuskan untuk mengangkut tumpukan harta karun yang dijarah dari istana Sultan untuk dibawa ke Portugal. Namun dalam pelayaran pulang, Flor de Mar, nama kapalnya, terjebak dalam badai dahsyat dan karam di lautan yang tidak jauh dari wilayah kekuasaan Kesultanan Pasai. Lebih dari 400 awak kapal tenggelam bersama muatan emas yang konon disimpan dalam ratusan peti besi. Afonso dan beberapa bahariawan memang berhasil menepi dengan menggunakan rakit darurat; tapi Flor de Mar dan segala harta yang ada di dalamnya tenggelam ke dasar lautan dan abadi sebagai legenda.
Beberapa pekan setelah kecelakaan tersebut, Sultan Ahmad V, penguasai Pasai saat itu, memerintahkan pasukannya untuk mencari titik lokasi tenggelamnya kapal Flor de Mar. Dia mengirim lima belas kapal yang berpencar di sepanjang jalur pelayaran menuju Malaka. Masing-masing kapal membawa dua belas penyelam andal yang terlatih untuk menahan napas panjang di dalam air. Mereka, para penyelam itu, memang sudah terlatih untuk bertahan di dalam air; karena mereka adalah orang-orang terpilih yang dipersiapkan Sultan untuk mencari kerang mutiara ke dasar lautan. Setelah melakukan pencarian selama dua bulan dalam hitungan kalender Hijriah, lokasi kapal itu memang berhasil ditemukan. Namun sialnya, tidak ada yang mampu untuk mengangkat satu peti pun untuk dibawa ke daratan. Bahkan setelah peti itu diikat dengan rantai dari besi yang ditempati di Lamuri dan ditarik oleh kapal milik Sultan, peti itu tetap tidak bisa untuk diangkat.
Bukan hanya para penyelam, perlahan Sultan pun mulai kewalahan. Maka dari itu dia memutuskan untuk menandai lokasi kapal itu dengan membuat pagar yang dibuat dari bambu. Lantaran kedalaman lautan itu sama dengan panjang dua kapal, sebagaimana yang diukur oleh para penyelam, maka bambu yang dijadikan pagar harus disambung menggunakan teknik yang nyaris tidak masuk akal: ujung bambu yang lebih kecil dimasukkan ke dalam pangkal bambu yang lebih besar; sehingga untuk satu pagar saja dibutuhkan sekitar dua puluh lima batang. Para penyelam berusaha menancapkan bambu itu ke dasar lautan dan menahannya dengan jangkar, dan dibantu dengan dorongan dari para bahariawan yang berada di dek kapal. Setelah berbulan-bulan berlalu, bahkan ada tiga penyelam yang meninggal karena kehabisan napas, barulah pagar itu selesai
Namun nahas memang tidak bisa terelakkan, hanya berselang dua hari dari selesainya pagar itu terjadi perang saudara. Sultan Ahmad V dianggap lalai dalam mengurus rakyat karena terlalu fokus pada bangkai kapal yang karam itu, sehingga keponakannya yang kemudian menjadi Sultan Zainal Abidin IV berhasil merebut takhta dan memenjarakan pamannya hingga mangkat. Sejak saat itu, Sultan tidak memperbolehkan seorang pun untuk pergi ke titik tenggelamnya kapal Flor de Mar; dan sejak saat itu pula jejak pagar yang dibangun oleh Sultan Ahmad V menghilang seiring dengan kekejaman putaran waktu.
Begitulah kisah itu berakhir, sekaligus mengawali kehidupan baru bagi lelaki itu hingga dia tidak punya waktu untuk mencintai perempuan. Dia memang tinggal di sebuah kampung di pinggiran kota Lhokseumawe; dan sampai usia tua merenggut imajinasi masa mudanya dia tidak pernah sekalipun meninggalkan kampung kecil itu. Hari-hari yang dia lalui adalah hari-hari melaut bersama sampan kecilnya untuk mencari ikan di tengah lautan untuk dijual ke pasar pagi, begitulah yang orang yakini. Tapi sebenarnya hari-hari yang dia lalui bersama sampan kecilnya bukan hanya sekadar mencari ikan. Cerita memang punya daya magis untuk mengubah hidup seseorang; dan sambilan menjaring ikan dengan pukat, tanpa ada yang tahu, terkadang dia juga menyelam ke dasar lautan untuk mencari lokasi tenggelamnya kapal Flor de Mar di lepas pantai Lhokseumawe. Itu terjadi di sepanjang musim, nyaris di seumur hidupnya.
***
“Kakek kenapa tidak menikah?” Setelah bertahun-tahun memendam rasa penasaran dan rasa takut menyinggung perasaan Lelaki Tua itu, Miswari akhirnya memberanikan diri untuk bertanya. Saat itu dia dan Lelaki Tua itu sedang duduk santai di beranda masjid, sesaat setelah salat magrib.
Miswari adalah cucu dari adik kandung Lelaki Tua itu, dan hanya Miswari satu-satunya orang yang peduli pada kesunyian yang dilaluinya selama bertahun-tahun. Dia memang tidak pernah mengharap iba pada siapa pun, tapi soal Miswari lain cerita.
“Kau tahu, kan?” kata Lelaki Tua itu, “Nabi Isa tidak menikah.”
“Tapi kata guru ngajiku beliau mati muda, Kek,” kata Miswari, “lagi pula, kakek juga bukan nabi.”
“Hahaha,” Lelaki Tua itu tergelak, “itu yang aku suka darimu. Tapi apa kau benar-benar ingin tahu alasanku tetap begini?”
“Aku dengar kakek tidak pernah mau bercerita tentang masalah itu kepada siapa pun,” kata Miswari. “Bahkan kepada nenekku, adik kandung kakek sendiri.”
“Sudah seharusnya begitu,” kata Lelaki Tua itu. “Begini, Nak, sebenarnya aku jatuh cinta pada Flor de Mar.”
“Flor de Mar?” kata Miswari heran. “Nama perempuan itu bukan seperti orang Aceh, Kek?”
“Memang bukan,” kata Lelaki Tua itu. “Lagi pula itu bukan nama perempuan, melainkan nama kapal.”
“Kapal?” Miswari masih bertahan dalam keheranannya.
“Ya, Kapal,” kata Lelaki Tua itu. “Kapal yang sudah tenggelam sejak berabad-abad lalu; dan kau tahu, lokasinya tidak jauh dari sini.”
“Aku belum pernah dengar, Kek,” kata Miswari.
“Gurumu tidak pernah mengajarkan itu di sekolah?”
“Tidak ada kisah yang menarik di buku pelajaran sekolah,” kata Miswari, “jadi sepertinya kakek harus menceritakan kisah yang tidak pernah aku dapatkan selama belajar di sana.”
“Dengarkan baik-baik,” kata Lelaki Tua itu memulai cerita agungnya tentang riwayat Flor de Mar. Lantas dia menuturkan kisah yang sama persis seperti kisah yang dulu dia dengar dari kakeknya sendiri; tapi dengan sedikit tambahan tentang rencananya untuk menaklukkan Flor de Mar.
***
Lelaki Tua itu sudah menghilang sejak tiga hari silam. Kata orang-orang di desa itu dia terakhir kali terlihat pada suatu gerimis di kala senja ketika hendak pergi melaut. Sampannya memang sudah tua, setua dirinya, dan para kerabatnya juga sudah memperingatkan agar dia tidak melaut dengan sampan itu lagi. Tapi Lelaki Tua itu memang terkenal keras kepala. Jangankan masalah sampan, ihwal pernikahan pun dia sempat membungkam lawan bicaranya dengan kata-kata yang kerap menyakitkan hati.
Para aparatur kampung sudah memanggil Tim SAR untuk mencarinya ke tengah lautan, tapi hasilnya nihil. Tidak ada jejak, tidak ada tanda-tanda dia bakal ditemukan. Lantaran putus asa, pada hari ke tujuh setelah menghilang Pak Geuchik mengumumkan berita kematian lewat toa masjid. Untuk sementara semua orang berduka, tapi setelah itu dengan cepat dia telah dilupakan oleh kebanyakan orang di sana.
Hanya Miswari yang tahu kejadian sebenarnya, tapi dia sudah berjanji untuk tidak menceritakan apa pun kepada siapa pun. Tepat setelah salat magrib di beranda masjid itu, Lelaki Tua itu mengatakan kalau dia sudah tahu lokasi tenggelamnya kapal Flor de Mar. Demi mencari lokasi kapal itu, sejak muda dia telah mengorbankan waktu dan tenaga untuk menyelam ke dasar lautan, sampai-sampai dia kehilangan hasrat untuk menikahi perempuan. Namun sekitar dua pekan sebelum percakapannya dengan Miswari, dia berhasil menemukan bangkai Flor de Mar dengan menyelami kedalaman yang hanya diketahui oleh Tuhan.
Lelaki Tua itu bilang dia punya rencana untuk memberi tanda tenggelamnya kapal itu dengan memagari lautan, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Sultan Ahmad V. Namun usianya sudah terlalu tua untuk melakukan hal itu sendiri, dan kalau dia mengajak orang lain maka konsekuensinya adalah sebuah kehancuran. Dia paham betul makna keserakahan, dan dia tidak ingin orang-orang di kampungnya bertengkar hanya demi memperebutkan harta karun itu. Di sisi lain dia juga tidak mau Pemerintah campur tangan dan mengeklaim kepemilikan ribuan kilo emas yang tersimpan di perut Flor de Mar. Maka dari itu dia akan berusaha menikahi Flor de Mar dengan menceburkan diri di lokasi tenggelamnya kapal itu tanpa ada niat untuk kembali.
Mulanya Miswari menganggap ocehan Lelaki Tua itu hanya gurauan, tapi ketika dia menghilang segalanya terasa nyata. Berkat cerita yang dia dengar, sekaligus perjuangan si Lelaki Tua yang berhasil menaklukkan cinta sejatinya, diam-diam dia juga tertarik untuk menemukan lokasi tenggelamnya kapal Flor de Mar. Barangkali dia yang paling lama berduka atas hilangnya sosok Lelaki Tua itu, tapi di sisi lain dia pula yang paling ikhlas. Ketika mendengar pengumuman berita kematian yang lamat-lamat menggema dari toa masjid, dia cuma bisa bergumam:
“Selamat, Kek,” katanya, “setidaknya kau telah menikahi Flor de Mar.”
Takengon, 10 Februari 2024