Saturday, March 1, 2025

Cerpen Lomba | Naufal Daffa Syaputra | Gelombang Kehidupan di Balik Pagar Laut

Cerpen Naufal Daffa Syaputra




(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


Deru angin mengibasi rambut kering dengan tatapan yang masih sayu di kala cahaya fajar yang hangat mulai menyapa dengan sinar keemasan yang melukis langit dari kegelapan.


“huft… gini amat ya dul tiap pagi nangkep ikan terus tapi duitnya cuman segitu-gitu aja, mana gua belum bayar sekolah anak gua lagi,” keluh hati dari kibo. “huaaa, boo bo mau gimana lagi ijazah aja cuma sampe SMP yakali bisa jadi PNS terus dapet gaji gede,” jawab adul sambil meregangkan badannya. “iyaa sih dul,tapi gimana ya dul minggu depan udah harus dibayar kalo ga anak gua ga bisa ikut ujian,” “euumm… coba minta ke juragan siapa tau dikasih”, “yah dul lu tau sendiri juragan kita gimana,” “yaudah lah bo ga usah terlalu di pikirin banyakin doa aja siapa tau tuhan lu masih dengerin lu yang penuh dosa ini, hahaha,” “sialan lu dul, hahaha”, kedua sahabat ini lantas tertawa lepas, lalu melemparkan jangkar yang besar ke tengah laut, seolah membebaskan diri mereka dari segala beban yang ada. 


Pagi yang cerah ini dengan dengkuran ombak yang berdebur lembut membuat hati menjadi riang karena tangkapan dua nelayan yang penuh dengan ikan. Mereka tersenyum lebar, penuh kebahagiaan, sambil menarik jaring yang berisi ikan-ikan segar yang melompat-lompat kegirangan. Angin laut yang melambai-lambai menambah suasana menjadi lebih ceria, seolah langit turut merayakan hasil tangkapan mereka. Sesekali, mereka berbincang dengan tertawa ringan, merencanakan apa yang akan mereka lakukan dengan hasil laut yang melimpah hari ini. “WOY DUL BANYAK BANGET INI IKAAN”,teriak kibo kepada rekannya. “IYA BO MAKAN KENYANG INI KITA HAHAHA”,sahut adul yang sedang membantu kibo menarik jaring. “duul duul, makanan mulu yang lu pikirin”, “yaa kapan lagi lu bisa makan enak, jarang-jarang ini”. Perbincangan singkat diakhiri dengan canda tawa yang dilihat oleh sang surya yang sudah berada di atas kepala. 


Setelah selesai menangkap ikan dan menyetorkan semua hasil tangkap hari ini, kibo melihat juragannya yang baru datang dengan mobil yang mewah. Kibo dengan sigap langsung menyapa dan memberi senyuman sebagai formalitas. Setelah menyapa Kibo dengan ragu-ragu bertanya ke juragannya, “juragan, maaf boleh berbincang sebentar? ada yang saya ingin sampaikan”, “ohh boleh, kenapa bo?”, jawab juragan yang langsung menyuruh kibo untuk ke pinggir jalan. “juragan, eee… anak saya minggu depan udah harus bayar sekolah, tapi… uang dari hasil kerja saya hanya cukup buat makan sehari-hari dan untuk biaya listrik”, kibo menelan ludah yang sudah menumpuk di mulutnya, lalu dengan ragu-ragu memberikan pertanyaan pamungkasnya. “boleh ga juragan kalau saya minjem uang untuk bayar sekolah anak saya?”. Kibo menundukkan kepala, menunggu jawaban dengan hati yang berdebar-debar. Juragan terdiam, menatap Kibo dengan raut wajah yang sulit dibaca. Suara hiruk pikuk pasar semakin keras, tapi suasana di sekitar mereka terasa hening, seolah dunia menunggu jawaban dari juragan.


Akhirnya, juragan membuka mulut, suara berat terdengar dari tenggorokannya. "Kibo," katanya pelan, "Aku paham kamu sedang kesulitan, tapi... aku nggak bisa memberikan uang untukmu. Kamu tahu, aku juga punya banyak pengeluaran yang harus dipikirkan." Kibo merasa dunia seakan runtuh seketika. "Jadi, tidak bisa, juragan?" tanyanya dengan suara yang hampir tak terdengar, berusaha menahan rasa kecewa yang semakin mendalam. Juragan menggelengkan kepala. "Maaf, Kibo. Aku paham ini penting untuk anakmu, tapi aku nggak bisa membantu dengan uang. Bisnis ini sulit, dan aku juga nggak punya banyak cadangan." Kibo memandang ke tanah, bibirnya bergetar menahan perasaan yang meluap. "Tapi... saya benar-benar butuh, juragan. Anak saya bisa dikeluarkan dari sekolah kalau nggak bayar tepat waktu. Ini satu-satunya harapan saya," kata Kibo, suaranya hampir pecah. Juragan menatapnya dengan rasa kasihan, namun tidak bisa berbuat banyak. "Aku mengerti, Kibo, tapi kita semua punya batasan. Kalau aku bantu kamu, siapa yang akan bantu aku nanti? Aku harus jaga bisnis ini, dan aku nggak bisa menjanjikan sesuatu yang aku sendiri nggak mampu." Kibo hanya terdiam. Hatinya terasa sesak, namun ia berusaha menahan air matanya. "Baiklah, juragan. Terima kasih sudah mendengarkan," ucap Kibo pelan, sebelum berbalik dan berjalan menjauh. 


Dengan suasana hati yang sesak ditambah perang berkecamuk di kepalanya seakan semua ini ingin membunuh Kibo. “ehh… mas udah pulang, kok mukanya lesuh gitu mas, ada apa?.” sapa istrinya yang kaget akan keadaan suaminya yang baru saja menginjak kaki dirumahnya. Kibo hanya menggelengkan kepala, berusaha menahan napas yang terasa sesak di dada. Ia tidak langsung menjawab, hanya berdiri di pintu sambil menatap lantai, seolah tidak mampu menemukan kata-kata yang tepat. Istrinya, Siti, yang melihat perubahan di wajah Kibo, langsung mendekat dan memegang tangannya dengan lembut. “Ada apa, Mas? Kok kelihatan banget murungnya? Jangan-jangan... ada masalah di tempat kerja?” tanya Siti dengan nada khawatir. Kibo mengangkat wajahnya, mencoba tersenyum, meskipun itu hanya senyum yang terpaksa ia paksakan. “Enggak, Sit. Cuma... cuma capek aja. Biasa lah,” jawab Kibo, suaranya terdengar sedikit serak.


Namun, Siti bisa merasakan ada yang tidak beres. Ia menatap suaminya dengan cermat, mencoba membaca ekspresi yang tersirat. "Mas, kamu nggak bisa bohong sama saya. Kalau ada masalah, ceritainlah. Kita kan sama-sama di sini," ujarnya lembut, mencoba meredakan ketegangan yang semakin menyelimuti rumah mereka. Kibo menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan semua perasaannya. "Sit... Tadi, saya sudah minta bantuan ke juragan. Saya tanya apakah bisa minjem uang buat bayar sekolah anak kita minggu depan. Tapi... dia nggak bisa bantu, Sit." Suara Kibo hampir pecah di akhir kalimat, dan ia merasa begitu hancur.


Siti terdiam sejenak, merasa sakit mendengar penuturan suaminya. Wajahnya seketika berubah, dan tangan Kibo yang tadi dipegangnya pun kini ia rengkuh lebih erat. “Mas, saya tahu ini berat. Tapi kita nggak boleh menyerah begitu saja. Kita pasti bisa cari jalan keluar, Mas,” ujar Siti, suaranya terdengar penuh keyakinan. Kibo menunduk, air mata yang sejak tadi ia tahan kini mulai menetes. “Saya nggak tahu lagi, Sit... Saya sudah berusaha keras, tapi... saya cuma bisa bayar makan, bayar listrik. Saya nggak bisa bayar sekolah anak kita. Saya takut dia nggak bisa lanjut sekolah,” ucapnya, suara penuh kepedihan. Siti menatap suaminya dalam diam, mencoba menenangkan diri. Setelah beberapa saat, ia berkata dengan tegas, “Mas, kita harus berjuang. Mungkin juragan nggak bisa bantu sekarang, tapi kita masih punya banyak cara lain. Saya bisa cari pekerjaan tambahan, atau kita bisa jual beberapa barang di rumah yang nggak terlalu penting. Yang penting, kita nggak boleh putus asa.”


Kibo terdiam, merasa sedikit lega mendengar kata-kata istrinya. Meskipun beban masih terasa berat, ada secercah harapan yang muncul di hatinya. “Tapi... kita nggak punya banyak waktu, Sit. Anak kita harus bayar tepat waktu, kalau nggak…,” “Saya tahu, Mas. Tapi kita harus tetap coba. Kita harus percaya, kita bisa melalui ini bersama. Kalau kita berusaha, pasti ada jalan,” jawab Siti, menggenggam tangan Kibo dengan erat, memberi kekuatan. Kibo mengangguk perlahan, dan meskipun beban hidup masih terasa begitu berat, ia merasa sedikit lebih ringan. Ia tahu bahwa bersama Siti, mereka akan terus berjuang, apa pun yang terjadi. Mereka masih memiliki satu sama lain, dan itu lebih dari cukup untuk terus melangkah maju, meskipun jalan yang harus mereka tempuh penuh dengan tantangan.


Keesokan harinya Kibo menjalani hari-harinya seperti biasa, menjadi nelayan bayaran. Tetapi di suasana yang hening ini kibo melihat hal janggal di pantai ini. “woyy Dul itu apaan dah?,” sambil menunjuk ke arah barat, “lah iya bo itu kok kaya kayu ngebentuk pager gitu dah” Adul yang sedang melamun tiba-tiba kaget dengan teriakan Kibo yang menggema di telinganya. “kalo dipagerin kayak gini kita lewat mana Dul?, kok tiba-tiba banget ada pager dari kayu gini,” “iyadah, kalo kayak gini kita ga bisa nangkep ikan lagi ini Bo,” Kibo dan Adul terdiam di tempat mereka, memandang pagar kayu yang tiba-tiba saja muncul di sepanjang laut. Mereka tak bisa mempercayai mata mereka. Di tempat yang biasanya hanya dihiasi ikan-ikan yang sedang menari dan deburan ombak, kini ada sesuatu yang aneh, pagar kayu yang menjulang tinggi, membentang dari barat hingga ke timur, seolah menghalangi seluruh jalur pantai yang biasa mereka lewati untuk mencari ikan. “Ngapain coba orang bikin pagar kayak gini di pantai? Ini tempat nelayan, bukan tempat buat bangun rumah,” Kibo menggerutu, wajahnya penuh rasa bingung. Adul mengangguk setuju. “Iya, Bo. Kalau kayak gini, kita nggak bisa lewat lagi. Semua jalur kita buat nangkep ikan jadi tertutup.” Ia melirik ke arah laut yang tampak begitu luas di balik pagar, yang seharusnya jadi sumber kehidupan mereka, namun kini terhalang oleh pagar kayu yang tak jelas tujuannya itu.


Kibo menggaruk kepala, bingung dan kesal. “Kita harus cari tahu siapa yang bikin ini dan kenapa. Kalau begini terus, bisa-bisa kita nggak bisa kerja lagi.” Tanpa banyak berpikir, Kibo memutuskan untuk mendekati pagar tersebut. Selama perjalanan mendekati ujung Kibo melihat beberapa orang yang sedang memasang pagar laut di ujung mata. Kibo dan Adul semakin dekat dengan pagar kayu itu, dan semakin jelas bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Ketika mereka melangkah lebih jauh, mereka melihat sekelompok orang yang tampaknya sedang bekerja keras memasang pagar laut di ujung pantai. Ada sekitar sepuluh orang yang tampak sibuk menata kayu-kayu besar. “Bo, itu... mereka bukan penduduk sini, ya?” tanya Adul, suara penuh kecurigaan. Kibo mengerutkan kening, matanya terus mengamati kelompok orang itu. Mereka mengenakan pakaian lusuh, seperti para pekerja yang datang dari luar daerah. Meskipun tampak biasa saja, ada yang aneh dalam cara mereka bekerja. Mereka seolah-olah tidak memperhatikan keadaan sekitar, seperti terlalu fokus pada tugas mereka. “Iya, Dul, kayaknya mereka bukan orang sini. Dan cara mereka kerja... kayak ada yang disembunyikan,” jawab Kibo pelan, sambil terus mengawasi gerak-gerik mereka.


Salah seorang dari kelompok itu tampak menoleh ke arah Kibo dan Adul, namun hanya sebentar. Pandangan mereka bertemu, dan Kibo merasa ada sesuatu yang aneh. Laki-laki itu terlihat seperti berusaha tidak memperlihatkan rasa curiga, tapi sorot matanya mengatakan lain. “Apa yang mereka bikin, ya?” gumam Kibo, mencoba mengingatkan dirinya sendiri agar tetap tenang. “Kenapa mereka harus bikin pagar panjang begini?.” Mereka berdua berhenti beberapa jarak dari para pekerja tersebut,  “Jangan sampai ada yang tahu,”suara seorang pria terdengar serak dan penuh tekanan. “Kita harus selesai sebelum mereka datang ke sini. Kalau mereka tahu, kita bisa berhadapan dengan masalah besar.”


Kibo menatap Adul, keduanya saling bertukar pandang. “Mereka ngomong apa tuh, Dul? Kayaknya mereka nyembunyiin sesuatu” bisik Kibo, hatinya semakin diliputi rasa cemas. Adul mengangguk, wajahnya penuh kecurigaan. “Iya, mereka pasti nggak mau orang tahu apa yang mereka kerjakan. Mungkin ada sesuatu yang nggak boleh diketahui orang-orang di sini.” Karena rasa penasaran yang tinggi akhirnya Adul memberanikan diri untuk bertanya ke salah satu petugas yang sedang memasang kayu-kayu. “punten mas.” Orang yang sedang fokus dengan pekerjaannya buyar karena suara dari Adul. “ohh iya bang kenapa?,” “ini mas mau nanya, kok ini dipagerin kenapa ya?” Tanya Adul. “waduu.. gatau gua bang, gua mah disini cuman kerja doang,” jawab pegawai dengan muka cemas.  Adul merasa ada yang tidak beres dengan jawaban pegawai itu. Wajah pria itu tampak sedikit cemas, dan matanya bergerak cepat ke sekitar seolah mencari sesuatu atau seseorang. Kibo yang berdiri tak jauh dari Adul, juga mulai merasakan ada sesuatu yang aneh. Mereka berdua tidak puas dengan jawaban yang diberikan.


Adul mencoba untuk tenang, meskipun perasaan ingin tahu semakin menggelora. “Jadi, kamu nggak tahu siapa yang nyuruh kalian untuk bikin pagar ini?” tanya Adul dengan nada lebih santai, mencoba membuka percakapan lebih jauh. Pegawai itu terlihat gelisah, seolah ingin menghindari pertanyaan lebih lanjut. “Ah, gua cuman disuruh kerja aja, Bang. Dari orang yang ngasih proyek ini. Mereka cuma bilang, jangan nanya macam-macam,” jawab pria itu, suaranya terdengar terburu-buru. Kibo mendekat sedikit, memandang pria itu dengan serius. “Tapi kenapa pagar ini tiba-tiba dibangun? Bukannya ini pantai biasa? Kita semua nelayan di sini, nggak ada yang tahu apa-apa tentang proyek ini,” kata Kibo, mencoba memberi tekanan tanpa terlihat terlalu agresif. Pria itu tampak semakin gelisah, tangannya bergetar saat memegang palu yang digunakan untuk memasang kayu. Ia menatap ke arah Kibo dan Adul, lalu mengalihkan pandangannya. “Gua... gua nggak tahu, Bang. Gue cuma disuruh kerja, yang jelas dari pihak yang ngasih proyek. Kalau lo mau tanya lebih jauh, lebih baik lo tanya ke bos gua aja.” 


Kibo dan Adul saling pandang lagi, keduanya merasa semakin curiga. “Bos kamu siapa? Bisa kita ketemu sama dia?” tanya Kibo, sambil mencoba menenangkan suasana agar tidak terlihat terlalu mencurigakan. Pria itu menelan ludah dan menggeleng pelan. “Gua nggak tahu pasti di mana dia sekarang, Bang. Tapi yang jelas, dia nggak mau ada yang tahu banyak soal ini. Gue cuma... takut kalau ada yang salah,” jawab pria itu dengan suara rendah, seolah berbicara untuk dirinya sendiri. Kibo merasa semakin kesal dengan sikap pria itu. "Kalau begitu, kamu nggak bantu kita, dong?” ujarnya dengan nada kecewa. Pria itu terlihat semakin cemas, lalu akhirnya menunduk. "Gua cuman kerja, Bang. Jangan sampai gua kena masalah. Lo mendingan pergi aja, biar gua bisa kerja.” Setelah melihat respons itu, Kibo dan Adul sadar bahwa mereka tidak akan mendapatkan informasi lebih lanjut dari pria ini. “Oke, kalau begitu, kita pergi dulu. Tapi ingat, kalau ada yang nggak beres di sini, kita bakal cari tahu lebih lanjut,” kata Kibo, memberi peringatan yang jelas.


Mereka berdua kemudian membanting kemudi untuk balik ke pesisir pantai, tetapi hati mereka semakin gelisah. Sesuatu yang lebih besar pasti sedang terjadi di balik pagar kayu ini. Kibo merasa bahwa proyek ini bukan hanya soal pembangunan pagar biasa, ada yang lebih dari itu, dan mereka harus lebih berhati-hati dalam menyelidikinya. “Bo, ada yang nggak beres. Kita harus cari tahu siapa yang punya proyek ini, dan kenapa mereka nggak mau orang tahu,” kata Adul, suaranya dipenuhi tekad. Kibo mengangguk pelan. “Iya, Dul. Kita harus tahu apa yang sebenarnya mereka sembunyikan. Kalau sampai ini merugikan kita, kita nggak bisa diam aja.”


Sesampainya di pesisir pantai dia langsung bergegas ke tempat dia menyetorkan hasil tangkapnya. Disana dia melihat juragan yang baru sampai ke tempat dia berjualan ikan-ikan miliknya, tanpa berpikir panjang Kibo dan Adul langsung menghampiri juragan. “Maaf juragan hari ini kita ga dapet satupun ikan.” Adul membuka topik pembicaraan dengan muka yang melas. “loh kok iso kalian ga dapet ikan sama sekali, padahal kemarin kalian hasil tangkapannya melebihi target?.” Tanya juragan dengan muka yang penuh dengan tanda tanya. “eee… anu juragan, itu jalur untuk nelayan biasa ditutup” Juragan tampak terkejut mendengar pernyataan Adul. Wajahnya mengernyit, dan matanya tampak tajam menatap Kibo dan Adul, seolah menunggu penjelasan lebih lanjut. “Ditutup? Maksud kalian gimana?” tanya juragan, suara penuh keheranan dan rasa ingin tahu yang mulai muncul.


Kibo mengangguk pelan, matanya tetap terfokus pada juragan. “Iya, juragan. Di pantai barat sana, tiba-tiba ada pagar kayu yang dibangun panjang banget. Semua jalur yang biasa kita lewati untuk menangkap ikan sekarang tertutup,” jelas Kibo dengan cemas. “Kami nggak bisa lewat lagi, dan kita nggak tahu siapa yang bikin itu atau kenapa.”


Hari mulai berganti bulan, dan proyek pagar yang misterius itu semakin menutup ruang hidup para nelayan. Kibo, seperti banyak nelayan lainnya, merasakan dampak besar dari penutupan jalur laut yang biasa mereka gunakan untuk mencari nafkah. Beberapa hari terakhir, dia hanya bisa duduk di rumah, menatap laut yang kini sepi dan terpencil. Tidak ada ikan yang bisa ditangkap, dan uang yang masuk semakin sedikit. Setiap pagi, ia bangun dengan perasaan kosong, menatap istrinya, Siti, yang masih berusaha untuk tetap ceria meski keadaan semakin sulit.


“Mas, gimana hari ini? Ada kabar baik?” tanya Siti dengan penuh harap. Namun Kibo hanya bisa menggelengkan kepala, tubuhnya lemas, dan hatinya semakin terasa berat. “Tidak ada, Ti. Semua masih sama. Pagar itu masih ada di sana, menghalangi kita," jawab Kibo dengan suara yang hampir tak terdengar. Siti hanya bisa menatap suaminya, berusaha untuk tidak meneteskan air mata. Ia tahu Kibo sudah berusaha keras, tapi keadaan yang semakin sulit membuat semuanya terasa semakin tak ada harapan. Anak mereka yang sedang duduk di bangku sekolah juga semakin cemas, karena biaya sekolah yang harus segera dibayar. Kibo sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa.


Di sebuah pagi yang mendung, Kibo akhirnya memutuskan untuk kembali pergi ke tempat di mana pagar itu dibangun. Ia ingin mencari tahu siapa yang bertanggung jawab atas semuanya. Namun, sesampainya di sana, ia mendapati hal yang lebih mengejutkan. Di laut ini terasa sunyi dan tidak ada kelanjutan maksud dari proyek ini. Yang ada hanyalah pagar kayu yang semakin menjulang tinggi, seperti tembok pemisah yang tidak bisa ditembus. Tidak ada yang bisa dia lakukan. Pagar itu bukan hanya menghalangi jalur tangkap ikan mereka, tetapi juga menghalangi hidup mereka.


Kibo pulang dengan langkah gontai, tidak ada lagi semangat yang tersisa di dalam dirinya. Ia merasa semakin terperosok dalam jurang keputusasaan. Tidak ada yang bisa ia lakukan untuk menyelamatkan masa depan anaknya. Tidak ada lagi harapan yang tampak di depan. Setibanya di rumah, Siti menyambutnya dengan senyum yang lemah, meskipun ia tahu dari wajah Kibo bahwa segala harapan telah sirna. “Mas, gimana? Ada perkembangan?” tanya Siti, meskipun ia sudah tahu jawabannya. Kibo menundukkan kepala, menahan air mata yang sudah tidak bisa lagi ia tahan. “Tidak ada, Sit. Tidak ada yang bisa kita lakukan. Aku sudah mencoba semuanya,” jawab Kibo pelan, suaranya penuh kepasrahan.


Hari-hari berlalu, dan meskipun mereka berdua berusaha untuk bertahan, keadaan semakin sulit. Kibo, yang dahulu begitu semangat bekerja, kini hanya bisa duduk di rumah, menunggu keajaiban yang tidak datang. Siti, yang selama ini setia mendampingi, juga merasa kehilangan harapan, tetapi ia tetap mencoba untuk tegar demi anak mereka. Namun, semakin lama mereka berjuang, semakin berat beban hidup yang mereka rasakan. Pada suatu pagi yang penuh dengan kesunyian, Kibo berjalan ke pinggir laut, tempat di mana ia dulu selalu melaut dan merasakan kebahagiaan. Laut yang luas dan tenang kini terasa jauh lebih sepi dan sunyi. Kibo berdiri di sana, memandang laut dengan tatapan kosong, tidak tahu lagi harus pergi ke mana. Ia merasa tidak ada lagi yang bisa ia lakukan untuk menyelamatkan keluarganya.


Dengan hati yang penuh kesedihan, Kibo mengingat kata-kata terakhir yang pernah ia ucapkan kepada Siti: “Aku tidak bisa lagi, Ti. Aku sudah habis. Tidak ada harapan lagi.”


Dan pada saat itu, dengan hati yang hancur, Kibo mengambil keputusan terakhirnya. Ia berjalan menuju laut, membiarkan ombak menyapu kaki dan tubuhnya, meninggalkan dunia yang tidak bisa lagi ia perjuangkan. Dalam keheningan itu, Kibo menghilang, seolah diserap oleh laut yang pernah menjadi sumber hidupnya. Siti yang menunggu di rumah merasa ada yang hilang, namun ia tak bisa lagi menemukan suaminya. Ia hanya bisa duduk termenung, memandang ke luar jendela, merasakan kehampaan yang begitu dalam. Kehidupan mereka yang penuh perjuangan berakhir tragis, dan tak ada yang pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik pagar kayu yang membatasi kehidupan mereka. Laut yang dulunya menjadi harapan, kini menjadi tempat perpisahan terakhir bagi seorang nelayan yang tak mampu lagi bertahan.


Akhirnya, Siti dan anak mereka hidup dengan kenangan akan perjuangan Kibo, berharap suatu saat mereka bisa melanjutkan hidup meskipun tanpa kehadiran sang ayah. Namun, setiap kali melihat laut, Siti hanya bisa mengingat Kibo dengan air mata yang tak pernah kering.