Cerpen Nayla Rizky Azizah
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Di ujung desa pesisir yang terlupakan, terdapat sebuah pagar tinggi yang membentang sepanjang garis pantai. Pagar itu tidak terbuat dari kayu, batu, atau besi seperti yang biasa terlihat, melainkan dari tiang-tiang besar yang menancap kokoh di laut, seakan menantang cakrawala. Orang-orang di desa menyebutnya "Pagar Laut," sebuah batas yang memisahkan daratan dari rahasia samudra.
Pagar itu dibangun beberapa tahun lalu oleh perusahaan besar dengan dalih melindungi pesisir dari abrasi dan mendukung proyek reklamasi. Namun bagi nelayan seperti Kakek Ranu, pagar tersebut adalah simbol perampasan ruang hidup mereka. Ombak yang dulu menjadi sahabat kini dibatasi oleh tiang-tiang besi yang merusak ekosistem laut.
"Kenapa harus ada pagar di laut?" tanya Aksa kepada kakeknya, seorang nelayan tua yang telah bertahun-tahun menjelajahi ombak.
Kakek Ranu menghela napas, pandangannya menatap jauh ke cakrawala yang dihiasi semburat jingga senja. "Pagar itu bukan hanya untuk melindungi kita dari badai atau menjaga ikan-ikan tetap di sini, Nak. Tapi juga untuk mengingatkan bahwa ada batas yang tak boleh kita lewati. Laut punya takdirnya sendiri. Tapi sekarang, batas itu bukan lagi dari alam, melainkan dari mereka yang ingin menjadikan laut milik mereka sendiri."
Aksa tidak pernah benar-benar memahami jawaban itu. Baginya, laut adalah kebebasan. Ombak yang tak henti menari dan angin yang membawa aroma asin adalah simfoni yang memanggilnya untuk berlayar lebih jauh, melampaui batas pagar itu.
Setiap pagi, Aksa akan berdiri di tepian pantai, memandang pagar laut dengan tatapan penuh rasa penasaran. Ia ingin tahu apa yang ada di balik pagar itu. Apakah laut akan berubah menjadi lebih biru? Apakah ada pulau tersembunyi yang penuh dengan harta karun? Pertanyaan- pertanyaan itu terus menghantui pikirannya.
Kakek Ranu sering mengingatkan Aksa untuk tidak terlalu dekat dengan pagar laut. "Tak ada yang tahu apa yang menunggu di balik pagar itu," katanya dengan nada serius. Namun semakin banyak larangan yang diberikan, semakin besar hasrat Aksa untuk menantang pagar laut.
Suatu malam, ketika bulan purnama menggantung rendah di langit, Aksa memutuskan untuk menantang takdir yang dikatakan kakeknya. Dengan perahu kecil yang sudah lama tertambat di dermaga, ia mendayung menuju pagar laut. Ombak bergelora seolah mencoba menahannya, tapi tekad Aksa lebih kuat dari amarah laut.
"Aku tidak percaya ada batas yang tak boleh dilampaui," gumamnya sambil terus mendayung.
Sesampainya di depan pagar laut, Aksa tertegun. Di balik pagar itu, laut tampak berbeda, tenang namun penuh misteri. Cahaya bulan memantulkan bayangan tiang-tiang pagar yang menjulang seperti penjaga tak kasatmata.
Dengan hati yang berdebar, Aksa melompati pagar itu. Ia merasa bebas, seolah telah menaklukkan dunia. Namun kebebasan itu hanya bertahan sekejap. Tiba-tiba angin berubah menjadi dingin dan menusuk. Ombak yang semula tenang mendadak menggila, menggulung perahunya hingga terbalik.
"Tolong!" teriak Aksa, suaranya tenggelam oleh deburan ombak.
Dalam kegelapan yang mencekam, Aksa melihat bayangan samar seseorang mendekatinya. Seorang perempuan dengan rambut panjang berkilau seperti mutiara laut. Wajahnya cantik namun penuh kesedihan.
"Kenapa kau melanggar pagar laut?" tanyanya dengan suara yang lembut namun tegas. "Aku hanya ingin tahu apa yang ada di baliknya," jawab Aksa terengah-engah.
Perempuan itu menggeleng pelan. "Tak semua misteri harus kau ungkapkan. Laut punya simfoni yang indah, tapi juga punya takdir yang keras. Pagar itu ada untuk melindungi, bukan membatasi. Tapi kini pagar itu adalah simbol ketidakadilan. Laut bukan milik mereka yang memasang pagar. Laut adalah milik semua."
Dengan gerakan tangan yang anggun, perempuan itu membawa Aksa kembali ke perahunya yang telah terbalik. Ombak yang semula mengamuk kini mereda. Angin kembali hangat, seolah menyelimuti Aksa dengan rasa aman.
"Siapa kau?" tanya Aksa setelah mereka berhasil kembali ke perahu.
"Aku adalah penjaga pagar laut," jawab perempuan itu. "Ingatlah, Aksa, kebebasan sejati bukan berarti melampaui batas, tetapi memahami dan menghormatinya. Dan sekarang tugasmu adalah menyuarakan mereka yang telah kehilangan kebebasan karena pagar ini."
Setelah berkata demikian, perempuan itu menghilang dalam deburan ombak. Aksa hanya bisa terpaku, meresapi pesan yang baru saja ia terima.
Ketika fajar menyingsing, Aksa berhasil kembali ke dermaga. Kakek Ranu telah menunggunya dengan wajah penuh kekhawatiran.
"Kau baik-baik saja, Nak?" tanyanya.
Aksa mengangguk. "Aku bertemu dengan penjaga pagar laut, Kek. Dia menyelamatkanku dan memberiku pesan penting."
Kakek Ranu tersenyum samar. "Akhirnya kau mengerti, ya? Laut memang punya simfoni yang indah, tapi juga takdir yang harus dihormati. Tapi sekarang, kita harus berjuang untuk mengambil kembali kebebasan yang telah direnggut pagar itu."
Sejak hari itu, Aksa tidak hanya menjadi nelayan biasa. Bersama Kakek Ranu dan masyarakat desa, ia memimpin perlawanan untuk menuntut penghapusan pagar laut yang merampas hak mereka. Mereka menggandeng aktivis lingkungan dan media untuk menyuarakan ketidakadilan yang terjadi.
Mereka mengadakan aksi damai di depan kantor pemerintahan kabupaten, membawa poster- poster yang menuntut penghapusan pagar laut. "Laut untuk Rakyat, Bukan Korporasi!" adalah salah satu slogan yang menggema di udara.
Awalnya, suara mereka tak digubris. Namun, dengan semakin banyaknya pemberitaan media dan dukungan dari berbagai komunitas lingkungan, pemerintah akhirnya memanggil perwakilan desa untuk berdiskusi. Aksa yang kini dikenal sebagai juru bicara masyarakat dengan gagah menghadiri pertemuan itu.
"Laut adalah sumber kehidupan kami," kata Aksa tegas di hadapan para pejabat dan perwakilan perusahaan. "Pagar yang kalian bangun telah merusak ekosistem, menghancurkan mata pencaharian kami, dan mengambil kebebasan kami. Kami menuntut agar pagar itu dihancurkan dan laut dikembalikan kepada rakyat."
Setelah melalui berbagai negosiasi yang panjang dan melelahkan, akhirnya keputusan yang ditunggu-tunggu tiba. Pagar laut yang selama ini menjadi simbol ketidakadilan dihancurkan. Laut kembali menjadi milik semua orang, dan ekosistem yang sempat rusak perlahan pulih.
Aksa berdiri di tepi pantai, mendengarkan simfoni laut yang kembali bebas. Kakek Ranu berdiri di sampingnya, senyum puas terpancar di wajahnya.
Kakek Ranu menepuk bahu Aksa. "Kau telah melakukan hal yang luar biasa, Nak. Tapi ingat, perjuangan tidak pernah benar-benar berakhir. Kita harus terus menjaga laut ini agar tidak ada lagi pagar yang merenggut kebebasan kita."
Aksa mengangguk mantap. "Aku berjanji akan melanjutkan perjuangan ini, Kek. Simfoni laut ini harus tetap abadi untuk generasi selanjutnya."
Seiring dengan janji tersebut, masyarakat desa memulai ritual baru setiap bulan purnama untuk merayakan kebebasan laut mereka. Mereka menyalakan lentera di pantai, simbol harapan dan penjagaan atas laut yang telah menjadi rumah mereka selama bertahun-tahun.
Dalam ritual pertama itu, Aksa berbicara kepada anak-anak desa yang berkumpul. "Ingatlah, laut ini adalah milik kita semua. Jika ada yang mencoba merampasnya lagi, kalian harus berani berdiri dan bersuara. Kita adalah penjaga laut, dan tanggung jawab ini tidak akan pernah berakhir."
Malam itu, suara gelak tawa dan nyanyian anak-anak bergema di sepanjang pantai. Lentera- lentera terbang tinggi, membawa pesan perjuangan mereka ke langit.
"Kebebasan sejati adalah ketika manusia dan alam bisa hidup dalam harmoni," kata Aksa dengan suara penuh kemenangan.
Simfoni di batas laut terus bergema, membawa pesan bahwa perjuangan untuk keadilan akan selalu menemukan jalannya.
Hari itu, desa pesisir tidak hanya merayakan kebebasan dari pagar laut, tetapi juga kebangkitan semangat mereka sebagai penjaga laut yang sejati. Angin berbisik lembut, membawa pesan bahwa perjuangan mereka telah ditulis dalam sejarah, sebuah simfoni di batas laut yang akan terus menggema selamanya.