Suara kereta terdengar jauh di telinga Rani yang sedang berjalan
terburu-buru menuju gerbong stasiun berikutnya, takut ketinggalan dan tidak
kebagian tempat di kereta. Pagi jam 6 ini, orang-orang mengenakan jas
berdesakan untuk menuju ke tempat kerja mereka. Hari ini adalah hari pertamanya
bekerja sebagai jurnalis. Ia tidak ingin hari pertama kerjanya berantakan
karena kecerobohannya yang telat bangun tidur. Padahal sehari sebelumnya, ia
sudah mempersiapkan alarm ponselnya dengan suara nyaring, menyetrika seragam
dengan rapi, dan menyiapkan bekal makan siang yang disimpan di kulkas.
Namun, karena kebiasaan buruknya begadang membaca buku, akhirnya ia tetap
lelah meskipun sudah berusaha mempersiapkan segalanya. Setelah menaiki kereta
dan menunggu 15 menit menuju kantornya, Rani melihat beranda ponselnya yang
dipenuhi berita-berita terbaru. Ada satu judul artikel yang membuatnya teringat
pada masalah yang terjadi di lingkungan keluarganya. Tanpa pikir panjang, ia
langsung mengklik artikel berjudul: “Kenapa Pagar Laut Masih Sengkarut, Siapa
'Tuhan' di Balik Kasus Itu?” Matanya dengan jeli membaca tiap kata dan kalimat
dalam artikel tersebut.
Masalah pagar laut ini selalu menjadi duri bagi keluarganya. Mata
pencaharian orang tuanya sebagai nelayan membuatnya teringat akan masa-masa
sulit saat mereka berjuang mencari ikan. Pagar laut yang membentang sepanjang
30 km jelas menghalangi ruang gerak nelayan. Mungkin bagi masyarakat perkotaan
pagar laut terlihat bermanfaat karena mencegah abrasi dan erosi, tapi bagi
nelayan, itu adalah penghalang hidup.
Rani menghela napas setelah membaca kalimat dari artikel tersebut yang
seakan mewakili suara hatinya. Ia bertanya-tanya dalam hati, “Apakah pemerintah
tidak pernah memikirkan nasib kami yang hidup bergantung pada laut? ”Apa
gunanya membangun pagar laut sepanjang ini jika ujung-ujungnya hanya
menyengsarakan nelayan kecil? Rani hanya bisa menatap layar ponselnya dengan
pandangan sayu, mengingat tujuan utamanya bekerja sebagai jurnalis: untuk
membantu keluarganya.
Setibanya di kantor, Rani disambut oleh seorang perempuan yang mengenakan
seragam rapi, rambut hitamnya dikuncir kuda. Perempuan itu tersenyum hangat dan
memperkenalkan diri, “Halo, perkenalkan, aku Naya. Aku yang bakal menemani kamu
selama di kantor dan mengajakmu berkeliling serta berkenalan dengan rekan kerja
lainnya,” ucapnya riang sambil menjabat tangan Rani.
Rani membalasnya dengan senyum hangat. Naya mengajak Rani berkeliling
kantor, memperkenalkan rekan kerja, hingga akhirnya menunjukkan tempat
duduknya. Rani menghela nafas lega, akhirnya ia bisa duduk santai setelah
seharian berjuang mengejar waktu dan beradaptasi dengan lingkungan baru. Hari
pertama pun berakhir, ia pulang ke kosannya yang hanya berjarak 30 menit
perjalanan. Sesampainya, Rani segera bersiap-siap: mandi, makan, lalu berbaring
di kasur untuk berbincang dengan ibunya lewat telepon.
“Bu, Rani kangen rumah. Di sini kota rame banget. Pagi-pagi saja
orang-orang sudah rebutan naik kereta, belum lagi makanannya mahal. Enakan
masakan ibu deh,” keluh Rani.
“Iya, Nak. Tapi kan namanya juga kerja di kota besar. Gimana hari pertama
di kantor?” tanya ibunya.
“Alhamdulillah baik, Bu. Semoga aja rekan-rekan kerjanya baik juga,” jawab
Rani.
“Iya, Nak, Ibu selalu doakan yang terbaik buat kamu. Tapi tolong doakan
ayah ya, sekarang susah dapat ikan. Tangkapan makin hari makin sedikit,” ucap
ibunya lirih.
Rani tercekat. Baru
hari pertama kerja, ia sudah gelisah memikirkan kondisi keluarganya di rumah.
Ia hanya bisa membantu dari jauh dengan doa, dan berharap gajinya nanti cukup
untuk sedikit meringankan beban orang tuanya.
Keesokan harinya, Rani berangkat ke kantor tanpa tergesa-gesa. Ia sudah
mempersiapkan segalanya sejak semalam. Sampai di kantor, belum sempat ia
meletakkan tas, suara panggilan terdengar:
“Rani, Pak Arman mau ketemu sama kamu di ruang redaksi,” ujar Naya.
Dengan langkah mantap, Rani menuju ruang redaksi, hatinya
berdebar. Ini mungkin awal perjuangan panjangnya untuk mengangkat suara nelayan
seperti ayahnya.
Setelah berbincang panjang dengan Pak Arman, ia diberi tugas untuk menulis
liputan investigasi tentang proyek pagar laut yang kontroversial. Ia tak
menyangka, ini adalah kesempatan nyata untuk mengungkap ketidakadilan yang
dialami para nelayan di kampung halamannya.
Beberapa hari kemudian, Rani memutuskan untuk pulang ke desa. Ia bertemu
dengan Pak Iman, nelayan tua yang selama ini vokal menolak proyek tersebut. Pak
Iman bercerita tentang bagaimana kapal-kapal besar dari perusahaan tambang
mulai bermunculan setelah pagar laut dibangun. Mereka mengeruk hasil laut,
sementara nelayan kecil semakin terhimpit.
Ketika Rani mulai menyusun laporannya, ia menemukan dokumen rahasia yang
mengindikasikan ada kesepakatan diam-diam antara pejabat daerah dan perusahaan
tambang. Fakta ini membuatnya semakin bersemangat untuk mengungkap kebenaran.
Namun, ketegangan memuncak saat Pak Iman tiba-tiba ditangkap karena
memancing di zona larangan. Rani dan para pemuda desa tak tinggal diam. Mereka
menggalang aksi protes dan menerobos pagar laut untuk merekam aktivitas kapal
tambang yang merusak ekosistem laut.
Video mereka viral di media sosial. Tekanan publik memuncak, namun
intimidasi datang bertubi-tubi. Rani bahkan sempat menerima ancaman anonim yang
menyuruhnya berhenti menulis tentang kasus ini. Tapi tekadnya sudah bulat.
Liputan investigasi Rani akhirnya diterbitkan. Berkat dukungan masyarakat
dan pemberitaan yang meluas, proyek pagar laut dihentikan, pejabat korup
diselidiki, dan Pak Iman dibebaskan.
Setelah itu, organisasi lingkungan turun tangan membantu memulihkan
ekosistem laut yang rusak. Mereka bekerja sama dengan nelayan untuk
mengembangkan teknologi sederhana, seperti keramba jaring apung dan
rehabilitasi terumbu karang. Rani terus mengawal perkembangan ini, menulis
laporan lanjutan tentang kebangkitan desa nelayan.
Akhirnya, berkat kerja keras dan keberanian mereka, pemerintah mengumumkan
kebijakan baru yang lebih berpihak kepada nelayan. Desa Rani pun mulai bangkit.
Para nelayan kini bekerja sama dengan organisasi lingkungan untuk membangun
pagar laut alami dari terumbu karang dan mangrove, simbol perjuangan mereka
menjaga laut dengan tangan sendiri.
Rani kembali ke kota dengan kebanggaan. Ia menyadari bahwa suara kecil
seorang jurnalis bisa membawa perubahan besar. Dan di desa kecil itu, laut yang
dulu terkekang kini kembali bebas, berkat perjuangan rakyatnya sendiri.
Kini, setiap kali Rani menatap layar komputernya di kantor, ia tersenyum.
Ia tahu, ini baru permulaan. Masih banyak suara-suara yang harus ia bantu
lantangkan, dan ia siap melangkah lebih jauh demi keadilan yang lebih luas.
Sementara itu, di desa, para pemuda mulai aktif mendokumentasikan kondisi
laut mereka. Mereka membuat film pendek yang menceritakan perjalanan perjuangan
mereka melawan pagar laut. Film ini menarik perhatian berbagai komunitas
lingkungan, memperkuat dukungan terhadap gerakan mereka.
Di sisi lain, pemerintah mulai membuka ruang diskusi dengan para nelayan.
Mereka mencari solusi bersama agar kepentingan lingkungan dan kesejahteraan
nelayan dapat berjalan berdampingan. Rani pun berjanji akan terus mengawal
perkembangan ini, memastikan perubahan yang telah diperjuangkan tidak kembali
diputarbalikkan oleh kepentingan segelintir orang. Di tengah kesibukannya
sebagai jurnalis, Rani selalu berusaha menyempatkan diri pulang ke desa setiap
kali ada kesempatan. Ia merasa bahwa meskipun hidupnya kini di kota, hatinya
tetap ada di sana, di antara para nelayan yang sudah lama mengenalnya.
Setiap kali pulang, ia tak hanya sekadar bertemu keluarga, tetapi juga
berbagi cerita dan pengalaman tentang dunia jurnalisme yang kini dijalaninya.
Ia mengajarkan mereka cara-cara baru untuk menyuarakan keluhan mereka,
bagaimana teknologi dan media bisa menjadi alat untuk memperjuangkan hak
mereka. Meskipun langkah kecil, ia berharap bisa memberi mereka harapan, karena
bagi Rani, perjuangan ini bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk
orang-orang yang ia cintai.