Saturday, March 15, 2025

Cerpen Lomba | Nayla Zabrina Prasetyo | Jurnalis di Balik Suara Laut

 

Suara kereta terdengar jauh di telinga Rani yang sedang berjalan terburu-buru menuju gerbong stasiun berikutnya, takut ketinggalan dan tidak kebagian tempat di kereta. Pagi jam 6 ini, orang-orang mengenakan jas berdesakan untuk menuju ke tempat kerja mereka. Hari ini adalah hari pertamanya bekerja sebagai jurnalis. Ia tidak ingin hari pertama kerjanya berantakan karena kecerobohannya yang telat bangun tidur. Padahal sehari sebelumnya, ia sudah mempersiapkan alarm ponselnya dengan suara nyaring, menyetrika seragam dengan rapi, dan menyiapkan bekal makan siang yang disimpan di kulkas.

Namun, karena kebiasaan buruknya begadang membaca buku, akhirnya ia tetap lelah meskipun sudah berusaha mempersiapkan segalanya. Setelah menaiki kereta dan menunggu 15 menit menuju kantornya, Rani melihat beranda ponselnya yang dipenuhi berita-berita terbaru. Ada satu judul artikel yang membuatnya teringat pada masalah yang terjadi di lingkungan keluarganya. Tanpa pikir panjang, ia langsung mengklik artikel berjudul: “Kenapa Pagar Laut Masih Sengkarut, Siapa 'Tuhan' di Balik Kasus Itu?” Matanya dengan jeli membaca tiap kata dan kalimat dalam artikel tersebut.

Masalah pagar laut ini selalu menjadi duri bagi keluarganya. Mata pencaharian orang tuanya sebagai nelayan membuatnya teringat akan masa-masa sulit saat mereka berjuang mencari ikan. Pagar laut yang membentang sepanjang 30 km jelas menghalangi ruang gerak nelayan. Mungkin bagi masyarakat perkotaan pagar laut terlihat bermanfaat karena mencegah abrasi dan erosi, tapi bagi nelayan, itu adalah penghalang hidup.

Rani menghela napas setelah membaca kalimat dari artikel tersebut yang seakan mewakili suara hatinya. Ia bertanya-tanya dalam hati, “Apakah pemerintah tidak pernah memikirkan nasib kami yang hidup bergantung pada laut? ”Apa gunanya membangun pagar laut sepanjang ini jika ujung-ujungnya hanya menyengsarakan nelayan kecil? Rani hanya bisa menatap layar ponselnya dengan pandangan sayu, mengingat tujuan utamanya bekerja sebagai jurnalis: untuk membantu keluarganya.

Setibanya di kantor, Rani disambut oleh seorang perempuan yang mengenakan seragam rapi, rambut hitamnya dikuncir kuda. Perempuan itu tersenyum hangat dan memperkenalkan diri, “Halo, perkenalkan, aku Naya. Aku yang bakal menemani kamu selama di kantor dan mengajakmu berkeliling serta berkenalan dengan rekan kerja lainnya,” ucapnya riang sambil menjabat tangan Rani.

Rani membalasnya dengan senyum hangat. Naya mengajak Rani berkeliling kantor, memperkenalkan rekan kerja, hingga akhirnya menunjukkan tempat duduknya. Rani menghela nafas lega, akhirnya ia bisa duduk santai setelah seharian berjuang mengejar waktu dan beradaptasi dengan lingkungan baru. Hari pertama pun berakhir, ia pulang ke kosannya yang hanya berjarak 30 menit perjalanan. Sesampainya, Rani segera bersiap-siap: mandi, makan, lalu berbaring di kasur untuk berbincang dengan ibunya lewat telepon.

“Bu, Rani kangen rumah. Di sini kota rame banget. Pagi-pagi saja orang-orang sudah rebutan naik kereta, belum lagi makanannya mahal. Enakan masakan ibu deh,” keluh Rani.

“Iya, Nak. Tapi kan namanya juga kerja di kota besar. Gimana hari pertama di kantor?” tanya ibunya.

“Alhamdulillah baik, Bu. Semoga aja rekan-rekan kerjanya baik juga,” jawab Rani.

“Iya, Nak, Ibu selalu doakan yang terbaik buat kamu. Tapi tolong doakan ayah ya, sekarang susah dapat ikan. Tangkapan makin hari makin sedikit,” ucap ibunya lirih.

            Rani tercekat. Baru hari pertama kerja, ia sudah gelisah memikirkan kondisi keluarganya di rumah. Ia hanya bisa membantu dari jauh dengan doa, dan berharap gajinya nanti cukup untuk sedikit meringankan beban orang tuanya.

Keesokan harinya, Rani berangkat ke kantor tanpa tergesa-gesa. Ia sudah mempersiapkan segalanya sejak semalam. Sampai di kantor, belum sempat ia meletakkan tas, suara panggilan terdengar:

“Rani, Pak Arman mau ketemu sama kamu di ruang redaksi,” ujar Naya.

  Dengan langkah mantap, Rani menuju ruang redaksi, hatinya berdebar. Ini mungkin awal perjuangan panjangnya untuk mengangkat suara nelayan seperti ayahnya.

Setelah berbincang panjang dengan Pak Arman, ia diberi tugas untuk menulis liputan investigasi tentang proyek pagar laut yang kontroversial. Ia tak menyangka, ini adalah kesempatan nyata untuk mengungkap ketidakadilan yang dialami para nelayan di kampung halamannya.

Beberapa hari kemudian, Rani memutuskan untuk pulang ke desa. Ia bertemu dengan Pak Iman, nelayan tua yang selama ini vokal menolak proyek tersebut. Pak Iman bercerita tentang bagaimana kapal-kapal besar dari perusahaan tambang mulai bermunculan setelah pagar laut dibangun. Mereka mengeruk hasil laut, sementara nelayan kecil semakin terhimpit.

Ketika Rani mulai menyusun laporannya, ia menemukan dokumen rahasia yang mengindikasikan ada kesepakatan diam-diam antara pejabat daerah dan perusahaan tambang. Fakta ini membuatnya semakin bersemangat untuk mengungkap kebenaran.

Namun, ketegangan memuncak saat Pak Iman tiba-tiba ditangkap karena memancing di zona larangan. Rani dan para pemuda desa tak tinggal diam. Mereka menggalang aksi protes dan menerobos pagar laut untuk merekam aktivitas kapal tambang yang merusak ekosistem laut.

Video mereka viral di media sosial. Tekanan publik memuncak, namun intimidasi datang bertubi-tubi. Rani bahkan sempat menerima ancaman anonim yang menyuruhnya berhenti menulis tentang kasus ini. Tapi tekadnya sudah bulat.

Liputan investigasi Rani akhirnya diterbitkan. Berkat dukungan masyarakat dan pemberitaan yang meluas, proyek pagar laut dihentikan, pejabat korup diselidiki, dan Pak Iman dibebaskan.

Setelah itu, organisasi lingkungan turun tangan membantu memulihkan ekosistem laut yang rusak. Mereka bekerja sama dengan nelayan untuk mengembangkan teknologi sederhana, seperti keramba jaring apung dan rehabilitasi terumbu karang. Rani terus mengawal perkembangan ini, menulis laporan lanjutan tentang kebangkitan desa nelayan.

Akhirnya, berkat kerja keras dan keberanian mereka, pemerintah mengumumkan kebijakan baru yang lebih berpihak kepada nelayan. Desa Rani pun mulai bangkit. Para nelayan kini bekerja sama dengan organisasi lingkungan untuk membangun pagar laut alami dari terumbu karang dan mangrove, simbol perjuangan mereka menjaga laut dengan tangan sendiri.

Rani kembali ke kota dengan kebanggaan. Ia menyadari bahwa suara kecil seorang jurnalis bisa membawa perubahan besar. Dan di desa kecil itu, laut yang dulu terkekang kini kembali bebas, berkat perjuangan rakyatnya sendiri.

Kini, setiap kali Rani menatap layar komputernya di kantor, ia tersenyum. Ia tahu, ini baru permulaan. Masih banyak suara-suara yang harus ia bantu lantangkan, dan ia siap melangkah lebih jauh demi keadilan yang lebih luas.

Sementara itu, di desa, para pemuda mulai aktif mendokumentasikan kondisi laut mereka. Mereka membuat film pendek yang menceritakan perjalanan perjuangan mereka melawan pagar laut. Film ini menarik perhatian berbagai komunitas lingkungan, memperkuat dukungan terhadap gerakan mereka.

Di sisi lain, pemerintah mulai membuka ruang diskusi dengan para nelayan. Mereka mencari solusi bersama agar kepentingan lingkungan dan kesejahteraan nelayan dapat berjalan berdampingan. Rani pun berjanji akan terus mengawal perkembangan ini, memastikan perubahan yang telah diperjuangkan tidak kembali diputarbalikkan oleh kepentingan segelintir orang. Di tengah kesibukannya sebagai jurnalis, Rani selalu berusaha menyempatkan diri pulang ke desa setiap kali ada kesempatan. Ia merasa bahwa meskipun hidupnya kini di kota, hatinya tetap ada di sana, di antara para nelayan yang sudah lama mengenalnya.

Setiap kali pulang, ia tak hanya sekadar bertemu keluarga, tetapi juga berbagi cerita dan pengalaman tentang dunia jurnalisme yang kini dijalaninya. Ia mengajarkan mereka cara-cara baru untuk menyuarakan keluhan mereka, bagaimana teknologi dan media bisa menjadi alat untuk memperjuangkan hak mereka. Meskipun langkah kecil, ia berharap bisa memberi mereka harapan, karena bagi Rani, perjuangan ini bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk orang-orang yang ia cintai.