Cerpen Ni Made Yuliantari
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Satu pasang mata tengah menatap ke arah seorang laki-laki yang sedang duduk di sampingnya. Ia sedikit cemberut. Bukan tanpa alasan, laki-laki di sampingnya ini sangat sibuk dengan dunianya sendiri. Satu katapun tak keluar dari mulutnya. Jelas keduanya bukanlah sepasang kekasih, melainkan sekedar teman sekelas. Saat ini, siswa di kelas tersebut tengah sibuk berdiskusi dengan teman sekelompoknya. Kala itu, Bu Rumi selaku guru IPS memberikan tugas kelompok kepada siswanya terkait pembuatan makalah. Tema yang diberikannya juga bebas. Satu kelompok terdiri dari dua anggota.
Kelompok tersebut dibagi berdasarkan hasil undian, jadi bukan semata-mata dipilih sesuai dengan kehendak siswa. Nasib kurang beruntung tengah dialami oleh Rania. Ia harus satu kelompok dengan salah satu siswa yang sudah dikenal dengan sifat kakunya. Laki-laki itu memang sangat jarang mengeluarkan suara. Ia lebih sering sibuk dengan dunianya sendiri. Lebih tepatnya, menyibukkan diri dengan kegiatan menggambar. Rafzi namanya. Waktu istirahat selalu ia gunakan untuk menggambar. Tapi jangan salah, Rafzi juga merupakan murid yang cukup cerdas. Maka dari itu, kerja kelompok saat ini, ia hanya mengandalkan otaknya saja tanpa memedulikan Rania yang sudah duduk di sampingnya.
“Egois,” ucap Rania begitu pelan.
Sontak perkataan Rania membuat Rafzi langsung menatap ke arahnya. Pergerakan tangannya terhenti. Sedetik kemudian, ia kembali sibuk menulis. Dirinya tak peduli dengan ucapan yang dikeluarkan oleh temannya. Bagi Rafzi, menjawab itu hanya membuang-buang waktu. Cukup lama sibuk menulis, Rafzi akhirnya menggeser buku tulisnya ke arah Rania. Struktur makalah telah ada di hadapan Rania saat ini—lengkap dengan pembagian tugas kelompok. Ia mematung. Rupanya laki-laki tersebut sibuk hanya karena membuat pembagian tugas kelompok.
“Bagian sampul sama kata pengantar gue serahin ke lo. Bagian daftar isi, biar gue yang ngerjain nanti. Bagian Bab pendahuluan, Bab pembahasan, dan penutup, kita kerjain bareng-bareng,” jelas Rafzi sembari menunjuk bagan yang telah ia buat.
“Lo bisa pilih judul yang udah gue siapin,” lanjut Rafzi.
“Kesenjangan sosial dalam dunia pendidikan, pengaruh negara Indonesia dengan wilayah strategisnya, keberlanjutan ekosistem dengan keberadaan pagar laut.” Rania membaca setiap judul tersebut.
“Gue tertarik sama judul yang ketiga,” ujar Rania.
Suara dering terdengar di seluruh penjuru sekolah. Jam pelajaran telah berakhir. Sudah waktunya mereka mengistirahatkan tubuh mereka, mungkin tidak dengan Rania.
“Anak-anak, sebelum Ibu mengakhiri pelajaran hari ini, Ibu mau sedikit menambahkan untuk tugas kelompoknya, nanti pada makalah yang kalian buat, harap dilampirkan beberapa gambar pendukung. Gambar boleh dicari diinternet atau dari kalian langsung. Tugas dikumpulkan pada pertemuan selanjutnya.”
Rania menatap Rafzi. “Jadi kita ngerjainnya di mana? Di rumah gue atau di rumah lo?”
Di sinilah Rania sekarang. Di hadapannya terbentang lautan yang begitu luas. Lagi dan lagi ia tak percaya dengan kelakuan Rafzi. Dirinya tak menyangka bahwa temannya itu akan membawanya untuk melihat pagar laut secara langsung. Pagar laut ini berada di kawasan Tengger, yang lumayan jauh dari rumah mereka. Sekiranya perlu waktu 40 menit untuk sampai ke tempat itu. Hembusan angin yang begitu keras menerpa keduanya. Tak ada yang mengeluarkan suara. Mereka sama-sama terdiam.
“Raf, perasaan gambar pendukungnya boleh diambil dari internet, lo ngapain repot-repot ngajak gue kesini, cuma buat ngelihat pagar laut ini secara langsung? Atau jangan-jangan ... lo suka sama gue?”
Sontak Rafzi tertawa. “Enggak ada hubungannya gue ngajak lo kesini sama suka sama lo. Tapi setidaknya lo ada gambaran enggak terkait hal yang lo lihat sekarang?”
“Ada sih.” Rania mengangguk pelan.
“Itu tujuan gue ngajak lo kesini. Setidaknya pikiran lo jadi terbuka buat tugas kelompok sekarang. Kita mulai diskusi kita.”
Rafzi kembali mengeluarkan suara. Ia mulai menjelaskan kepada Rania bagian pendahuluan yang cocok dibahas pada makalah mereka. Laki-laki tersebut menjelaskan bagaimana fungsi-fungsi pagar laut disetiap negara berbeda-beda. Dimulai dengan pagar laut di Meksiko, pagar laut yang pernah dibangun di negara tersebut antara tahun 1993 dan 1994 bertujuan sebagai penghalang bagi para penyelundup dan penyeberang perbatasan ilegal. Dirinya juga menjelaskan pagar tersebut dirancang cukup lebar agar ikan dan satwa lainnya dapat menyeberangi perbatasan. Penjelasan tersebut terus berentet ke negara-negara lainnya.
Namun sebelum itu, ia juga menjelaskan tentang pengertian pagar laut secara umum. Dimana pagar laut adalah struktur penghalang yang dibuat di pesisir laut untuk melindungi wilayah pesisir dari ombak dan abrasi. Pagar laut ini dapat dibuat dari berbagai bahan, seperti bambu, paranet, dan karung pasir. Pagar laut di pasang dengan cara dianyam dan diberi pemberat agar tidak berubah posisi meski terhempas ombak.
Selesai itu, Rafzi menjelaskan ke topik permasalahannya sekarang. Selama Rafzi menjelaskan bagian pendahuluan, Rania hanya bisa mengangguk pelan. Tak lupa tangannya juga sibuk mencatat hal-hal penting melalui ponselnya. Tentu saja, ia juga menyempatkan untuk mengambil foto pagar laut tersebut. Entah mengapa, ia senang mendengarkan laki-laki tersebut menjelaskan. Rafzi juga mengatakan kepada Rania, bahwa pembangunan pagar laut yang tidak sesuai prosedur dapat menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan dan masyarakat.
“Jadi kesimpulannya, kita bakalan bahas apa di makalah kita?” Rafzi bertanya.
“Kesimpulannya, pertama kita harus bahas gimana tentang pagar laut disetiap daerah atau negara itu memiliki fungsi yang berbeda, terus kita bahas fungsi umum pagar laut itu sendiri. Dan tentu aja disetiap hal itu pasti ada sisi negatifnya. Salah satu contohnya kayak yang lo jelasin tadi, jadi di sini kita mulai fokus buat bahas permasalahan itu, gimana keberlanjutan ekosistem dengan keberadaan pagar laut secara ilegal ini. Dan terakhir dibagian penutup, kita fokus ke dalam penyelesaian masalah. Setelah tugas ini selesai, kita presentasi terus pulang.”
Rania menjelaskan panjang lebar. Tak lupa dengan gerakan tangannya yang dibuat secara otomatis. Matanya juga fokus menatap ke arah laut. Sontak hal tersebut membuat Rafzi tersenyum. Rupanya, ia juga suka mendengarkan Rania berbicara, meskipun sebelum itu dirinya hanya mendengarkan ocehan tidak jelas dari mulut gadis tersebut.
“Raf, gue bener-bener kepanasan di sini. Bisa enggak sekarang kita pulang, terus lanjut ngerjain tugas kelompoknya di rumah gue?” lanjut Rania sembari mengibaskan tangannya ke arah wajah.
“Kita bisa mulai mewawancarai salah satu nelayan itu, gimana dampak pagar laut ini bagi mereka. Secara, lo sendiri tahu, pagar laut yang lo lihat saat ini, menurut masyarakat itu ilegal.” Rafzi menarik pelan tangan Rania untuk mengajaknya ke arah nelayan yang sedang beristirahat.
Sejenak Rania berpikir, ada yang berbeda dari temannya ini. Setahu Rania, Rafzi sangat jarang mengeluarkan suaranya di kelas. Sekarang ia tahu, bahwa laki-laki itu akan banyak mengeluarkan suara jika diajak berdiskusi terkait pelajaran. Banyak hal yang ditanyakan oleh keduanya. Di sela-sela itu juga, Rafzi meminta bantuan kepada nelayan itu untuk memotret mereka berdua sebagai dokumentasi untuk tugas mereka. Lalu Rafzi kembali bertanya untuk pertanyaan terakhir, hal apa yang paling merugikan nelayan tersebut terkait adanya pagar laut ini?
Pak Hartono, selaku nelayan tersebut menjelaskan begitu banyak dampak negatif dari bambu-bambu yang berdiri di atas dasar laut. Salah satunya, menurunnya hasil tangkapan ikan. Di sini baik habitat ikan dan nelayan benar-benar dirugikan. Di samping itu, sulitnya akses ke wilayah penangkapan ikan.
Sekiranya, sudah 6 bulan pagar laut itu telah berdiri. Menurut Pak Hartono, kasus ini sudah ditindaklanjuti oleh pihak yang berwajib. Kini ia dan para nelayan yang lain hanya tinggal menunggu keputusan selanjutnya. Meski banyak halangan, Pak Hartono tak pernah putus asa untuk mencari nafkah demi menghidupi keluarga kecilnya.
Hujan yang tiba-tiba turun menyebabkan wawancara tersebut harus terhenti. Rafzi cepat-cepat menarik tangan Rania untuk mengajaknya berteduh disebuah warung kecil yang dekat dengan keberadaan mereka. Kejadiannya begitu cepat, cuaca terik tadi berubah dalam hitungan detik. Pada akhirnya mereka harus menunggu hujan reda agar bisa pulang, karena Rafzi lupa menaruh jas hujan di motornya. Di warung, diskusi mereka masih tetap berlanjut. Tak lupa dengan mie kuah yang dipesankan oleh Rafzi.
Beruntung laki-laki tersebut membawa laptopnya. Selesai menikmati mie kuah, mereka mulai mengerjakan tugas kelompok. Sekiranya pukul 5 sore, hujan sudah mulai mereda. Diskusi tersebut harus berakhir. Mereka harus cepat-cepat pulang, sebelum hujan kembali turun.
Satu minggu telah berlalu, kini giliran Rafzi dan Rania mempresentasikan tugas yang telah mereka buat. Teman-temannya menyimak dengan baik tentang makalah yang mereka presentasikan. Usaha tak mengkhianati hasil, Rania dan Rafzi mendapatkan nilai paling tinggi di kelompok-kelompok yang lain. Percayalah, semenjak hari itu, Rafzi seperti mempunyai teman baru. Lambat laun mereka semakin dekat. Yang awalnya hanya diskusi terkait masalah pelajaran, kini topiknya semakin berkembang ke hal-hal lain. Bahkan tak jarang, teman sekelasnya mengira mereka berdua telah menjalin hubungan yang serius. Nyatanya, Rania dan Rafzi hanya menganggap hubungan mereka hanyalah sebatas sahabat.