Cerpen Noor Cholis Hakim
| (Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Umpamanya aku sejumput garam yang melebur pada air laut, rasa-rasanya tubuhku akan terurai—bebas berlayar ke manapun bahkan dengan mudah untuk melintasi pagar laut. Pada hari ini aku merasakan kalimat itu semakin dekat dengan hidupku. Ketika air laut berjalan menjamah kedua telapak kakiku, beradu dengan pasir yang mempertahankan lekatnya pada diriku. Aku dapat melihat masa depan yang lebih lebar; jauh di luar tembok yang membatasi mimpiku selama ini. Lantas aku perlahan melipat kedua kakiku, bertemu di sela-sela lutut dan membiarkan tubuhku tenggelam dalam kenyamanan bersila di tepi laut. Deburan ombak masih menghampiriku—menembus basah celanaku—seolah mengucapkan salam perpisahan atas kepergianku sebentar lagi yang akan meninggalkan pemukiman kecil di pesisir pantai ini, tempat aku lahir dan besar. Hanya satu doa yang kulangitkan dalam benakku saat ini, semoga perantauan menyambutku dengan baik; selembut basuhan air yang senantiasa menyapaku di tepi laut ini; sehening pasir yang melekat dan memelukku tanpa adanya pinta.
Pemukiman kecil pesisir ini baru menghadapi sebuah kemalangan.Tanpa ada angin dan hujan, bahkan gemuruh angin ribut, para nelayan harus memilih untuk merenung di kediamannya masing-masing. Bukan tanpa alasan mereka tidak pergi melaut selama beberapa pekan ini. Kalaupun itu karena cuaca yang tidak ramah, seperti yang aku bilang tadi: bukan. Melainkan karena kabar duka yang menimpa sebuah keluarga. Seorang remaja perempuan baru saja meratapi nasibnya yang harus hidup sebatang kara selepas nasib buruk menerpanya sebagai seorang anak yatim piatu.
Seisi pemukiman membicarakan kemalangan tersebut. Sebagian warga menaruh iba pada hidup perempuan itu, selayaknya perasaan mereka bisa mengembalikan kehadiran orang tuanya. Sebagian warga lainnya meminta perempuan tersebut untuk tabah dan berhenti berduka, bahkan untuk menyuarakan kesedihannya saja di pemukiman pesisir ini dibatasi. Sedangkan sisanya—kebanyakan ibu-ibu—meminta suaminya untuk menetap di rumah karena takut terkena karma akibat melanggar pamali sebelum tujuh hari orang meninggal, tetapi orang di sekitarnya sudah berlayar jauh dari kediaman. Aku bisa menangkap sedikit di lubuk terdalam hati para ibu tersebut, kemungkinan takut kehilangan suaminya saat berlayar menangkap ikan karena dua orang yang baru meninggal tersebut meregang nyawa dan ditemukan tewas di kedalaman laut. Manusia-manusia yang masih berpegang teguh pada pamali itu pasti meyakini bahwa dua orang itu mengakhiri hidupnya dengan menenggelamkan diri.
Empat pekan yang lalu semenjak pemerintah membangun pagar laut berjarak beberapa kilometer dari pesisir—setelah berdebat panjang dengan penduduk setempat yang suaranya tidak sampai ke tepi telinga mereka—banyak sosok ayah yang harus meratapi hasil tangkapan ikannya sudah tidak seberapa. Memang untuk sepekan pertama setelah pembangunan tersebut, tangkapan ikan masih berjumlah kiloan dan para ibu tersenyum sumringah, tidak sabar mengelola hasil tangkapan tersebut menjadi produk siap makan yang bisa diperjualbelikan untuk wisatawan seperti kerupuk ikan, ikan asin, ikan asap, dan hasil olahan paling terkenal di daerah kami yakni terasi. Sementara sisanya akan diberikan kepada pengepul ikan yang menjadi tangan kedua untuk menjualnya ke orang-orang di kota.
Namun, setelah dua pekan berselang para nelayan harus memutar otak untuk pergi melintasi aral melintang tersebut demi tetap bertahan hidup. Beberapa pergi berlayar mencari jalur untuk keluar dari pagar laut tersebut, sementara beberapa lainnya yang tidak punya kapal dengan kelengkapan memadai untuk melakukan pelayaran jarak jauh memilih menetap dan beralih mata pencaharian. Aku mendapati para ayah tersebut membantu pengepul ikan yang setiap dua hari sekali datang ke daerah kami untuk mengangkut kotak gudang ikan beku yang akan dibawa ke kota. Ayah dari perempuan sebatang kara itu bukan termasuk keduanya. Konon katanya, lelaki paruh baya itu tetap berlayar di dalam area pagar pantai untuk mengail sisa-sisa ikan yang mungkin masih ada. Sementara istrinya pergi mengasong untuk menawarkan jasa cuci gosok kepada warga setempat. Meskipun warga setempat tidak terlalu membutuhkan jasa tersebut, tetapi nyatanya mereka menggunakan bantuan wanita itu dan memberi upah secukupnya sebagai kepanjangtanganan dari pertolongan Tuhan konon katanya.
Lantas bagaimana dengan masa depan anak dari sepasang suami istri tersebut—yang hanya untuk bertahan hidup di hari esok saja harus mengais semua lubang untuk mencari recehan uang lebih dulu? Warga setempat membicarakan keangkuhan remaja perempuan itu pada masanya—sebelum konflik pagar laut ini muncul.
Martha namanya. Parasnya rupawan elok, tingginya semampai, rambutnya hitam legam, hidungnya menukik tajam indah, dan alisnya terukir cantik seperti angka satu pada kalender jawa. Sudah dua kali pria dari kota, anak dari pengepul-pengepul ikan langganan, datang untuk melamar gadis tersebut. Namun Martha selalu menolaknya dengan alibi karena hidupnya masih lama untuk membayangkan bahwa setiap hari dalam sisa usianya terikat dengan orang lain. Lantas warga setempat segera menggunjing gadis itu tepat setelah dia menolak lamaran pria kedua. Mereka menganggapnya sebagai pamali dan akan ada bala yang menimpa keluarga tersebut. Boleh jadi tidak ada lagi lelaki yang menghendakinya—itu bala bagi Martha yang menolak dua lamaran sebelumnya, sedangkan untuk kedua orang tuanya yang mewajarkan hal tersebut akan mendapatkan kemalangan lainnya. Itu yang dipercayai oleh warga setempat, seolah melayangkan sumpah serapah pada keluarga Martha dengan kedok pamali turun temurun.
Kemudian saat memasuki musim gagal panen tersebut, ketika ikan-ikan sudah tidak lagi dapat dikail pada area yang tertutup pagar laut itu, konon katanya terdengar perdebatan sengit di kediaman mereka. Terdengar suara Martha dan kedua orang tuanya yang beradu mulut—tidak biasanya dibesar-besarkan hingga terdengar sampai bingkai pintu rumah tetangga. Selintas yang dapat ditangkap adalah Martha kembali dijodohkan dengan juragan pengepul ikan yang usianya berkisar lima belas tahun dari usia Martha. Akibat tabiat Martha yang selalu menolak perjodohan dan memilih hidupnya sendiri, beberapa kali suara tamparan berlabuh di pipi Martha dari sang ayah. Sementara sang ibu terdengar merengek seperti seekor tiram yang kesakitan saat menghasilkan mutiara—memohon kepada anaknya sebagai satu-satunya harapan yang bisa menyelamatkan hidup mereka. Hingga debur ombak sangat keras di luar, melenyapkan suara perdebatan sengit yang sempat bertamu di ruang-ruang bilik kediaman para tetangga. Tidak ada yang tahu apakah Martha menerima tawaran tersebut atau sebaliknya.
Beberapa pekan kemudian kejadian itu menimpa Martha. Kemalangan terbesar bagi seorang anak ketika mendapati jasad kedua orang tuanya terseret arus yang membawa mereka berlabuh ke tepi laut dengan kondisi mengenaskan. Jasadnya menggelembung seperti sudah berhari-hari melebur bersama kedalaman laut. Satu hal yang menurut penduduk setempat menjadi anugerah bagi Martha adalah laut masih sangat baik bisa membawa jasad kedua orang tua tersebut untuk bersua dengannya—mungkin ini salah satu hal baik dari adanya pagar pantai itu. Akan tetapi itu tidak mengubah apapun. Kemalangan tetaplah sebuah kemalangan.
Dari situlah beragam hingar bingar terbangun di dalam derasnya pikiran penduduk setempat yang menerka-nerka alasan kematian dari kedua orang tua Martha. Menurut kebanyakan dari mereka adalah boleh jadi karena Martha kembali menolak lamaran dari juragan pengepul ikan di kota itu dan pupus sudah harapan kedua orang tuanya untuk memberikan perut yang kenyang bagi keluarga mereka setiap harinya. Lantas satu-satunya jalan keluar adalah dengan mengakhiri hidup—jauh di kedalaman laut yang damai dan sunyi.
Bagi manusia yang masih memegang teguh pada pamali sebagai aral melintang. Tidak ada yang sepemikiran denganku bahwasannya boleh jadi kematian kedua orang tua tersebut kala itu ada pada tangan Martha yang sudah muak dan marah dengan perjodohan yang terus mengikat hidupnya. Ditambah dengan gunjingan warga tentangnya yang melayangkan sumpah serapah bahwa kelak dirinya akan menjadi perawan tua dan membuat malu keluarga. Entah apapun yang ada di pikiran Martha, tetapi hal tersebut sangat besar kemungkinannya. Boleh jadi bukan gelondongan kayu yang memperkuat pagar laut bagi Martha, tetapi keberadaan kedua orang tuanya yang terus membatasi diri Martha adalah pagar laut untuk hidupnya.
Akan tetapi manusia tetaplah manusia. Seberapa kejam penduduk setempat menggunjing Martha, mereka masih menunjukkan rasa iba. Aku tidak tahu pasti bagaimana bentuk rasa iba itu sejatinya pada hati mereka terhadap Martha—entah hanya untuk memenuhi standar berkabung yang ada di masyarakat dengan melayat ke rumah duka membawa baki-baki berisikan beras atau mereka bersungguh-sungguh dalam menjalani masa berkabung itu untuk menemani Martha. Tidak ada yang tahu, karena bagaimanapun manusia itu selalu abu-abu, tidak akan pernah sejernih mutiara yang diasah dalam perihnya karang.
Selang beberapa hari setelah penemuan jasad tersebut, aku mendengar bahwa Martha akan pergi ke kota untuk merantau. Namun sebelum kepergiannya, dia menawarkan kepada orang terkaya di pemukiman tersebut untuk membeli rumahnya. Aku hanya memutuskan menutup telinga dari gunjingan penduduk setempat yang mungkin saja sudah berganti topik pembicaraan dari masa kabung ke pembahasan soal Martha yang kembali melanggar pamali.
Aku memutuskan beranjak dari tempat dudukku dan mengabaikan segala gunjingan warga tentang Martha. Pada titik ini, aku akan meninggalkan pemukiman tempatku besar selama ini—melintasi pagar laut yang terbangun kokoh di depan sana. Aku mengebas pasir-pasir yang menempel di celana. Lalu pergi menuju rumah untuk terakhir kalinya sebelum berpindah tangan kepada orang lain yang memberiku uang untuk modal bertahan hidup di kota kelak. Langkah terakhir sebelum benar-benar meninggalkan tempat ini, aku memutuskan untuk membereskan beras-beras yang memenuhi ruang tamu sejak beberapa hari lalu dari para tetangga. Aku masukkan beras-beras itu ke dalam karung dan memutuskan untuk meninggalkannya sebagai bentuk terima kasih kepada pemilik berikutnya. Dan, selesai. Belum terbayang bagaimana hidupku di perantauan kelak; tanpa pagar laut yang memastikan keamananku. Boleh jadi akan ada tsunami atau pasang surut. Namun, tidak ada alasan lagi untuk menetap di pemukiman ini. Bahkan setinggi apapun pagar laut yang berdiri angkuh di depan sana bisa kutembus dengan mudah.
Karena aku Martha—sejumput garam yang terurai untuk melintasi pagar laut ini.