Saturday, March 15, 2025

Cerpen Lomba | Novi Oktavia | Suara dari Pesisir

Cerpen Novi Oktavia



 | (Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


Ombak kecil berkejaran, menyentuh perahu kayu ayah yang goyah di tengah laut, terhalang barisan bambu yang membentang jauh. Aku menatap garis pantai di sana yang semakin berubah. Dahulu, laut ini luas dan terbuka untuk siapa saja. Kini, ada banyak bambu tertancap rapat ke dasar laut, membentuk dinding-dinding tinggi yang sulit dilewati. Perahu motor saja sulit, apalagi perahu yang lebih besar, seakan lautan yang seharusnya milik semua orang, kini terasa seperti penjara tanpa jeruji, menjadi wilayah kekuasaan miliki pribadi.


Aku duduk di bagian belakang perahu, memegang ember berisi jala kosong, sedangkan ayah masih menggulung jaring jala lainnya yang hampir kosong—lagi-lagi hanya ikan berukuran tak seberapa yang terjerat. Tiba-tiba, perahu berguncang keras. Aku hampir terjungkal ke belakang.


“Astaghfirullah! Apaan itu?” seruku panik.


Ayah buru-buru mellihat ke belakang, ke arah baling-baling mesin tempel yang kini berhenti berputar. Suara mesin yang biasanya menggeram, kini sunyi. Kami terombang- ambing.


“Bambu sialan!” geram Ayah, suaranya bergetar marah. “Kayaknya ada bambu yang tenggelam kena ombak, kita nabrak ujungnya,” muka Ayah merah padam.


Aku menunduk melihat air laut. Benar saja, di bawah perahu kami ada batang bambu panjang patah yang mengapung, ujungnya tajam seperti tombak. Pasti bagian bawahnya tersangkut di baling-baling, membuat mesinnya macet.


“Terus gimana, Yah? Kita nggak bisa jalan?” tanyaku, mencoba menahan panik.


Ayah mengatuk pelan sambil memeriksa mesinnya. “Nggak bisa, baling-balingnya patah. Perahunya harus ditarik.” Ayah mengeluarkan ponselnya dan mulai menelfon seseorang.


Aku hanya bisa menggigit bibir, menatap langit yang terik. Telfon yang dituju Ayah belum kunjung ada yang menjawab.


Sepuluh menit kemudian, samar-samar terlihat perahu lain yang lebih besar datang mendekat. Suara mesinnya semakin terdengar, mendekat ke arah kami.


“Udin! aduh kamu di sini rupanya,” seru Ayah lega.


Udin, adik ayah, bersama dua orang lainnya yang juga sesama nelayan, menambatkan perahunya ke sisi kami.


“Aduh, kamu ditefon gak diangkat,” keluh Ayah. “Tolong tarik perahuku, ya. Nggak bisa jalan. Bambu sialan itu buat baling-balingku patah!”

 

“Oalaa, hape ku mati! Oke-oke bentar.” Pak Udin menatap batang bambu itu dengan ekspresi muram, kepalanya geleng-geleng. “Pegang tali ini,” katanya sambil melemparkan seutas tali tambang ke Ayah.


Ayah menangkapnya, lalu Pak udin pindah ke perahu kami, membantu untuk mengaitkannya ke bagian depan perahu kami.


Dua orang yang ada di perahunya Pak udin mulai menyalakan mesinnya, menarik kami perlahan menuju pantai. Kali ini mengambil jalur yang lebih jauh, memutari pagar bambu.


“Udah banyak yang kena kayak gini, tapi ya gimana? Kita nggak bisa buat apa-apa.


Kemarin Farid protes ke Kades malah ada yang nganncam,” gumam Pak udin.


Aku merinding mendengar itu. Aku baru saja melihat dengan mata kepala sendiri bagaimna pagar laut ini benar-benar merugikan. Aku menggigit bibir, lalu meraih ponselku diam-diam, mulai merekam video pagar bambu itu—dan mungkin, jika nanti aku unggah ke media sosial, orang-orang akan mulai memperhatikan masalah ini.


“Diancam gimana?” tanya Ayah dengan nada khawatir.


“Lewat telepon! Ada yang bilang, ‘Sudahlah, nelayan nggak usah ikut campur. Ini urusan orang berada.’” Muka Pak Udin merengut.


Hening. Mereka berdua saling diam, menggerutu dalam hati. Tatapannya jauh ke arah pantai yang sudah semakin dekat.


Sampai di pantai, banyak orang berkerumun, berisik sekali. Kami segera turun dari perahu, mendekat ke arah mereka, mencoba mencari tahu keadaan. Ada satu lelaki paruh baya sedang diamuk massa, dipaksa duduk jongkok diantara nelayan-nelayan lain yang melingkarinya. Pak Udin menyibak kerumunan yang berdesakan di depan, wajahnya penuh keseriusan.


“Ada apa heh?” Pak Udin menatap ke bawah, ke lelaki yang jongkok itu, kemudian mentapi satu-satu nelayan yang ia kenali.


“Dia tadi pasang bambu itu di sebelah timur, Din. Aku tau dia. Pas balik, aku cegat dia disini dan aku Tanya lah, kenapa? disuruh siapa? gak jawab dia,” tukas Pak Darim, dia tetangga sebelah rumahku.


Aku perlahan memahami situasi panas ini. Aku ambil ponselku dari saku celana, perlahan mulai merekam video dengan sembunyi sembunyi.


“Aku gatau siapa yang suruh aku, banyak yang ajak, kok. Aku cuma ikut teman,” jawab lelaki yang jongkok itu, sambil mengusap wajah yang penuh keringat dan garam laut. Matanya penuh dengan kecemasan.


“Berdiri,” gumam Pak Udin dengan nada rendah. “Dibayar berapa?” tanyanya

 

“Seratus ribu per hari” timpal lelaki itu.


Orang-orang diam mendengar jawaban itu. Saling menggerutu dalam hati, itu upah yang lumayan, dibanding dengan melaut dengan tangkapan ikan yang sedikit dan oleh-olehnya adalah badan pegal. Tapi ini bukan perbuatan benar, melanggar aturan. Orang-orang itu adalah suruhan, pasti ada orang yang berkuasa atas ini.


Pak Udin meminta orang-orang bubar, sedangkan lelaki itu masih tak boleh pergi, ditarik ke rumah Pak Kades, meminta kejelasan dan ... entah, mungkin tindakk lanjut. Dua orang yang tadi bersama kami di laut, masih tetap ikut.


Belum sampai rumah pak kades yang ada di ujung dusun, Balai desa di dekat perjalanan kami terlihat ramai orang. Kami mampir melihat. Pak Kades ada di tengah-tengah sana.


Salah satu bapak-bapak di dekat Pak Kades mengepalkan tangannya. “Kita nggak bisa diam saja, Pak Kades. Ini bukan cuma tentang ikan, ini tentang hidup kita. Kalau kita diam, pagar itu akan terus berdiri. Bensin juga dibeli pakai uang, Loh, Pak. Masa iya kita harus muterin pager itu selamanya?” suaranya lantang, terdengar sampai kejauhan.


Pak Kades menatapnya lekat-lekat. “Kita gak bisa ngelakuin apa-apa, Pak,” suaranya juga ikut meninggi.


Aku menggeleng heran. Bagaimana bisa, ribuan bambu yang terpasang di laut itu bisa berdiri berbulan-bulan, tidak ada petinggi yang ikut campur menanggpi keseriusan ini. Sedang kami di sini merasa kesusahan, berulang kali mengajukan gugatan, tapi belum ada tanggapan. Keributan ini semakin memanas, satu persatu warga juga mengeluhkan hal yang sama, saling berteriak, mengusulkan ide, dan segalanya, berharap ekonomi kehidupan kembali seperti saat pagar laut itu belum ada. Aku tahu ini akan berlangsung lama, percuma, tidak ada aparat atau pejabat yang bisa membantu. Aku pulang ke rumah, mengingat punya rekaman video tadi dan segera mengeditnya.


Tidak pakai lama dan pikir panjang, aku unggah video itu ke semua sosmed. Aku tidak berharap banyak, aku hanya ingin orang-orang tahu keadaan kami di sini, yang sedang mencemaskan banyak hal. Salah satunya ialah akankah kami dapat ikan besok? Semoga bambu itu tidak beranak pinak hingga jadi jutaan jumlahnya.


---


Keesokan harinya, pintu rumahku diketuk beberapa orang berkalungkan kamera. Aku melongo sebentar, bertanya ada apa? Salah satu dari mereka menjelaskan bahwa telah melihat videoku, jumlah penonton terbilang sangat banyak dalam waktu kurang dari satu hari unggahan, dan ... aku baru saja mengetahuinya.

 

Mereka memintaku untuk ke Balai Desa, dan aku mengiyakan. Ayah juga ikut mengekor di belakang kami.


Aku sedikit terkejut, telah ada wartawan, warga, hingga pejabat daerah tumpah ruah di Balai Desa. Ternyata, Pemerintah akhirnya turun tangan. Di luar sana, orang-orang dari berbagai penjuru—bahkan yang jauh dan tak pernah menginjakkan kaki di desa ini— menyaksikan video yang kuunggah. Suara kami yang selama ini tenggelam akhirnya menggema. Mereka ikut bersuara, mendesak keadilan yang berbulan-bulan dirampas dari kami.


---


Pembongkaran mulai dilakukan sedikit demi sedikit, sidang juga satu persatu digelar dan ditayangkan di televisi. Kepala Desa yang salama ini bungkan akhirnya dijadikan tersangka. Namun, banyak yang yakin bahwa ia hanyalah boneka. Ada dalang besar di balik ini semua.


Aku dan ayah berdiri di tepi pantai, memandangi truk-truk bulldozer amfibi dari anggota angkatan laut yang sedang mencabuti dan mengangkat satu persatu bambu itu. Tatapan ayah tajam, ada juga sendu di sana. Ia tahu, perlawanan ini tak akan berakhir dalam satu hari. Tapi selama nelayan masih bisa berbicara, selama mereka masih bisa melawan, mereka tak akan membiarkan laut dijadikan milik segelintir orang berkuasa.