Dulu,
laut adalah mantra yang tak pernah selesai diucapkan. Ombaknya berbisik kepada
angin, buihnya bercerita kepada karang. Nelayan-nelayan tua percaya, laut itu
hidup ia mendengar, ia bicara, dan ia menyimpan dendam. Namun kini, suara itu
menghilang, tenggelam di antara pagar-pagar bambu yang tumbuh seperti barisan
nisan di permukaan air. Laut yang dulu memeluk siapa pun yang datang kini
terikat seperti burung dalam sangkar emas.
Konon,
ini untuk kebaikan. Tapi kebaikan bagi siapa?
Pasung
di Atas Air
Karmin
sudah tua, tapi laut di matanya tak pernah pudar. Ia duduk di ujung perahunya,
menatap batas yang kini lebih nyata dari sekadar garis cakrawala.
Dulu,
batas laut hanyalah ilusi yang diputuskan oleh angin. Sekarang, batas itu bisa
disentuh, diukur, diperhitungkan keuntungannya.
Ia
meludah ke air, melihat riaknya perlahan melebur.
"Kita
dipaksa percaya bahwa laut ini milik kita, tapi kita bahkan tak bisa
melewatinya tanpa izin," gumamnya.
Darto
mendayung perahunya mendekat. "Aku mendengar kabar, mereka akan
memperpanjang pagar itu lebih jauh lagi."
Karmin
tertawa kecil. "Kau tahu apa bedanya tembok di daratan dan pagar di
laut?"
Darto
menggeleng.
Karmin
memejamkan mata. "Tembok di darat mengurung mereka yang ada di dalam. Tapi
pagar di laut? Ia mengusir mereka yang seharusnya tinggal di sana."
Dan
di seberang pagar itu, ada orang-orang yang tidak pernah tahu bagaimana rasanya
kehilangan sesuatu yang tak pernah mereka sentuh.
Meja
yang Tidak Pernah Basah
Di
kota, jauh dari bau garam dan suara perahu yang dipahat dengan tangan, ada
ruangan-ruangan yang sejuk. Di dalamnya, ada orang-orang yang tak pernah
melihat laut lebih dari sekadar angka di atas kertas.
"Pagar
ini adalah investasi," kata seorang pria dalam jas mahal. "Dengan
ini, kita bisa mengendalikan kawasan pesisir, mendatangkan investor, dan
mengembangkan wilayah."
"Tapi
nelayan-nelayan itu mulai resah," kata seorang asisten muda, suaranya
ragu.
Pria
berjas itu tersenyum kecil. "Resah itu biasa. Mereka akan terbiasa."
Begitulah
cara dunia bekerja. Jika sesuatu menghalangi kepentingan, buat mereka terbiasa.
Mereka
tidak tahu bahwa laut adalah halaman depan rumah bagi orang-orang yang
menggantungkan hidup padanya. Bagi mereka, laut hanyalah angka, statistik,
potensi ekonomi.
Bagi
Karmin, laut adalah nafas. Dan kini, mereka mencoba merenggutnya.
Ombak
yang Tak Bisa Tidur
Malam
itu, Karmin duduk di tepi dermaga, menatap laut yang gelap. Di kejauhan,
pagar-pagar bambu itu berdiri kaku, membelah perairan seperti pisau yang
membelah daging.
"Apa
kau masih percaya bahwa laut ini akan selalu menjadi milik kita?" tanya
Darto, duduk di sampingnya.
Karmin
terkekeh, getir. "Laut tidak bisa dimiliki, To. Tapi manusia selalu ingin
mengurung sesuatu yang tak bisa mereka genggam."
Darto
mengembuskan napas panjang. "Aku tidak bisa membiarkan ini terus terjadi.
Kita harus melakukan sesuatu."
Di
dermaga, para nelayan berkumpul. Mata mereka kosong, tapi dada mereka penuh.
"Apa
kau pikir laut akan marah jika kita merobohkan pagar itu?"
Darto
tertawa kecil. "Laut tidak bisa marah. Ia hanya menunggu. Dan ketika
saatnya tiba, ia akan menelan siapa saja yang lupa siapa dirinya."
Perahu-perahu
kecil meluncur di atas air seperti bayangan. Di tangan mereka, bukan senjata,
hanya tali dan gergaji kecil. Mereka bukan penjahat, hanya orang-orang yang
ingin lautnya kembali.
Satu
per satu, bambu-bambu itu mulai roboh. Tali-tali yang mengikatnya terpotong,
dan laut seakan menariknya kembali ke dalam pelukannya.
Namun
kebebasan tidak pernah datang tanpa harga.
Sebelum
fajar menyingsing, suara motor perahu besar terdengar. Lampu-lampu senter
menyorot wajah-wajah yang kini membeku.
"Mereka
datang," bisik Darto.
Dan
malam itu, laut menjadi saksi bagi suara yang dibungkam.
Hukum
yang Tidak Mengenal Ombak
Pagi
itu, Karmin dan beberapa nelayan lain duduk di kursi yang bukan untuk mereka.
Di hadapan mereka, bukan laut, melainkan meja panjang yang dipenuhi orang-orang
yang hanya melihat mereka sebagai masalah yang harus diselesaikan.
"Kalian
merusak properti negara," kata seorang pria dengan suara datar.
"Negara
yang mana?" Karmin menatap tajam. "Negara yang berdiri di atas tanah
ini, atau negara yang hanya hidup di dalam ruangan ini?"
"Tindakan
kalian melanggar hukum," pria itu tidak peduli. "Ada konsekuensi yang
harus diterima."
Karmin
tersenyum. "Dulu, penjajah datang dengan senjata. Sekarang, mereka datang
dengan hukum."
Pria
itu tertawa kecil. "Kalian terlalu emosional. Ini semua demi
pembangunan."
"Pembangunan
untuk siapa?" Darto menyela.
Pria
itu terdiam sejenak, lalu menjawab, "Untuk semua orang."
Karmin
tahu bahwa tidak ada gunanya berbicara dengan mereka yang mengukur laut dengan
angka, bukan dengan kehidupan.
Dan
begitu palu diketukkan, suara laut semakin menjauh.
Laut
yang Menunggu
Pagar
itu kembali berdiri. Kali ini lebih kuat, lebih tinggi. Karmin tak lagi bisa
melaut. Perahunya dijual, jaringnya ditinggalkan. Di tepi dermaga, ia duduk
dengan Bayu, cucunya yang masih menunggu.
"Ayah
bilang laut ini milik kita," kata Bayu, menatap pagar itu dengan bingung.
Karmin
tersenyum pahit. "Dulu, iya."
Bayu
mengerutkan kening. "Kalau begitu, kenapa kita tidak bisa pergi ke
sana?"
Karmin
menatap jauh ke horizon. "Karena dunia ini tidak dibuat untuk mereka yang menggantungkan
hidup pada sesuatu yang tak bisa dibeli."
Bayu
tidak mengerti. Tapi suatu hari nanti, ia akan mengerti.
Dan
saat hari itu tiba, ombak yang mereka kubur hari ini akan bangkit kembali.
Karena
laut, tak peduli seberapa lama ia dibungkam, selalu punya cara untuk berbicara
kembali.
Di
suatu tempat, di balik meja-meja tinggi, ada mereka yang tertawa, percaya bahwa
pagar itu akan tetap berdiri dan di suatu tempat lain, di desa yang semakin
sunyi, ada nelayan yang menatap laut dengan tatapan yang belum padam.
Dan
di laut itu sendiri, ombak terus berbisik, menyimpan dendam yang hanya bisa
dibalas oleh waktu.
Mantra
yang mereka coba hapus tidak akan pernah benar-benar hilang.
Karena
laut tidak pernah lupa. Ia hanya menunggu saat yang tepat untuk berbicara lagi.