Saturday, March 15, 2025

Cerpen Lomba - Nuraisyah - Mantra yang Dihapus Ombak

 



Dulu, laut adalah mantra yang tak pernah selesai diucapkan. Ombaknya berbisik kepada angin, buihnya bercerita kepada karang. Nelayan-nelayan tua percaya, laut itu hidup ia mendengar, ia bicara, dan ia menyimpan dendam. Namun kini, suara itu menghilang, tenggelam di antara pagar-pagar bambu yang tumbuh seperti barisan nisan di permukaan air. Laut yang dulu memeluk siapa pun yang datang kini terikat seperti burung dalam sangkar emas.

Konon, ini untuk kebaikan. Tapi kebaikan bagi siapa?

 

Pasung di Atas Air

Karmin sudah tua, tapi laut di matanya tak pernah pudar. Ia duduk di ujung perahunya, menatap batas yang kini lebih nyata dari sekadar garis cakrawala.

Dulu, batas laut hanyalah ilusi yang diputuskan oleh angin. Sekarang, batas itu bisa disentuh, diukur, diperhitungkan keuntungannya.

Ia meludah ke air, melihat riaknya perlahan melebur.

"Kita dipaksa percaya bahwa laut ini milik kita, tapi kita bahkan tak bisa melewatinya tanpa izin," gumamnya.

Darto mendayung perahunya mendekat. "Aku mendengar kabar, mereka akan memperpanjang pagar itu lebih jauh lagi."

Karmin tertawa kecil. "Kau tahu apa bedanya tembok di daratan dan pagar di laut?"

Darto menggeleng.

Karmin memejamkan mata. "Tembok di darat mengurung mereka yang ada di dalam. Tapi pagar di laut? Ia mengusir mereka yang seharusnya tinggal di sana."

Dan di seberang pagar itu, ada orang-orang yang tidak pernah tahu bagaimana rasanya kehilangan sesuatu yang tak pernah mereka sentuh.

 

Meja yang Tidak Pernah Basah

Di kota, jauh dari bau garam dan suara perahu yang dipahat dengan tangan, ada ruangan-ruangan yang sejuk. Di dalamnya, ada orang-orang yang tak pernah melihat laut lebih dari sekadar angka di atas kertas.

"Pagar ini adalah investasi," kata seorang pria dalam jas mahal. "Dengan ini, kita bisa mengendalikan kawasan pesisir, mendatangkan investor, dan mengembangkan wilayah."

"Tapi nelayan-nelayan itu mulai resah," kata seorang asisten muda, suaranya ragu.

Pria berjas itu tersenyum kecil. "Resah itu biasa. Mereka akan terbiasa."

Begitulah cara dunia bekerja. Jika sesuatu menghalangi kepentingan, buat mereka terbiasa.

Mereka tidak tahu bahwa laut adalah halaman depan rumah bagi orang-orang yang menggantungkan hidup padanya. Bagi mereka, laut hanyalah angka, statistik, potensi ekonomi.

Bagi Karmin, laut adalah nafas. Dan kini, mereka mencoba merenggutnya.

 

Ombak yang Tak Bisa Tidur

Malam itu, Karmin duduk di tepi dermaga, menatap laut yang gelap. Di kejauhan, pagar-pagar bambu itu berdiri kaku, membelah perairan seperti pisau yang membelah daging.

"Apa kau masih percaya bahwa laut ini akan selalu menjadi milik kita?" tanya Darto, duduk di sampingnya.

Karmin terkekeh, getir. "Laut tidak bisa dimiliki, To. Tapi manusia selalu ingin mengurung sesuatu yang tak bisa mereka genggam."

Darto mengembuskan napas panjang. "Aku tidak bisa membiarkan ini terus terjadi. Kita harus melakukan sesuatu."

Di dermaga, para nelayan berkumpul. Mata mereka kosong, tapi dada mereka penuh.

"Apa kau pikir laut akan marah jika kita merobohkan pagar itu?"

Darto tertawa kecil. "Laut tidak bisa marah. Ia hanya menunggu. Dan ketika saatnya tiba, ia akan menelan siapa saja yang lupa siapa dirinya."

Perahu-perahu kecil meluncur di atas air seperti bayangan. Di tangan mereka, bukan senjata, hanya tali dan gergaji kecil. Mereka bukan penjahat, hanya orang-orang yang ingin lautnya kembali.

Satu per satu, bambu-bambu itu mulai roboh. Tali-tali yang mengikatnya terpotong, dan laut seakan menariknya kembali ke dalam pelukannya.

Namun kebebasan tidak pernah datang tanpa harga.

Sebelum fajar menyingsing, suara motor perahu besar terdengar. Lampu-lampu senter menyorot wajah-wajah yang kini membeku.

"Mereka datang," bisik Darto.

Dan malam itu, laut menjadi saksi bagi suara yang dibungkam.

 

Hukum yang Tidak Mengenal Ombak

Pagi itu, Karmin dan beberapa nelayan lain duduk di kursi yang bukan untuk mereka. Di hadapan mereka, bukan laut, melainkan meja panjang yang dipenuhi orang-orang yang hanya melihat mereka sebagai masalah yang harus diselesaikan.

"Kalian merusak properti negara," kata seorang pria dengan suara datar.

"Negara yang mana?" Karmin menatap tajam. "Negara yang berdiri di atas tanah ini, atau negara yang hanya hidup di dalam ruangan ini?"

"Tindakan kalian melanggar hukum," pria itu tidak peduli. "Ada konsekuensi yang harus diterima."

Karmin tersenyum. "Dulu, penjajah datang dengan senjata. Sekarang, mereka datang dengan hukum."

Pria itu tertawa kecil. "Kalian terlalu emosional. Ini semua demi pembangunan."

"Pembangunan untuk siapa?" Darto menyela.

Pria itu terdiam sejenak, lalu menjawab, "Untuk semua orang."

Karmin tahu bahwa tidak ada gunanya berbicara dengan mereka yang mengukur laut dengan angka, bukan dengan kehidupan.

Dan begitu palu diketukkan, suara laut semakin menjauh.

 

Laut yang Menunggu

Pagar itu kembali berdiri. Kali ini lebih kuat, lebih tinggi. Karmin tak lagi bisa melaut. Perahunya dijual, jaringnya ditinggalkan. Di tepi dermaga, ia duduk dengan Bayu, cucunya yang masih menunggu.

"Ayah bilang laut ini milik kita," kata Bayu, menatap pagar itu dengan bingung.

Karmin tersenyum pahit. "Dulu, iya."

Bayu mengerutkan kening. "Kalau begitu, kenapa kita tidak bisa pergi ke sana?"

Karmin menatap jauh ke horizon. "Karena dunia ini tidak dibuat untuk mereka yang menggantungkan hidup pada sesuatu yang tak bisa dibeli."

Bayu tidak mengerti. Tapi suatu hari nanti, ia akan mengerti.

Dan saat hari itu tiba, ombak yang mereka kubur hari ini akan bangkit kembali.

Karena laut, tak peduli seberapa lama ia dibungkam, selalu punya cara untuk berbicara kembali.

Di suatu tempat, di balik meja-meja tinggi, ada mereka yang tertawa, percaya bahwa pagar itu akan tetap berdiri dan di suatu tempat lain, di desa yang semakin sunyi, ada nelayan yang menatap laut dengan tatapan yang belum padam.

Dan di laut itu sendiri, ombak terus berbisik, menyimpan dendam yang hanya bisa dibalas oleh waktu.

Mantra yang mereka coba hapus tidak akan pernah benar-benar hilang.

Karena laut tidak pernah lupa. Ia hanya menunggu saat yang tepat untuk berbicara lagi.